Berbeda dengan ulasan anime atau ulasan-ulasan lain di KAORI, entri ini mencoba menghadirkan perspektif berbeda, membawakan situasi dan konteks dalam karya yang dibahas sehingga mampu memperkaya wawasan dan menambah pemahaman, bagi yang belum dan yang sudah menontonnya.


Nama Key terasa baru dan asing bagi penggemar anime yang masuk ke dunia ini setelah 2013, namun tidak jika mendengar Angel Beats, Charlotte, Little Busters!, atau Rewrite yang sedang tayang pada saat ulasan ini ditulis. Tetapi bagi mereka yang telah mengenal dunia anime setidaknya sebelum 2010, nama Key identik dengan nakige, permainan yang didesain untuk membangkitkan emosi dan rasa sedih pemainnya.

Bagi penggemar Key, setiap adaptasi anime dari permainan-permainan perusahaan ini menimbulkan pro-kontra. Mulai dari Kanon tahun 2002 sampai Rewrite tahun 2016, kritik, perdebatan, dan protes yang bising terus bergema di internet. Tetapi terlepas dari segala keriuhan itu, Planetarian kini mendapatkan gilirannya. Setelah 12 tahun dan disalip oleh Clannad dan Little Busters!, lima episode Planetarian hadir membangkitkan kerinduan akan cerita khas Key.

Tayang 7 Juli sampai 4 Agustus 2016 secara daring di platform Youku, setiap episode Planetarian menyimpan berbagai dimensi yang sangat dekat dengan penontonnya di dunia nyata.

Peringatan: sebagian dari isi tulisan di bawah ini mengandung spoiler, mohon membaca dengan kehati-hatian.

Karangan Bunga Sang Robot

Kuzuya (literally sang pemulung, diisi oleh Daisuke Ono) hidup di dunia post-apocalypse. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, perang nuklir terjadi yang menyebabkan dunia hancur dan tercemari radioaktif. Dalam dunia yang telah hancur ini, sisa-sisa populasi yang masih hidup berjuang untuk mempertahankan dirinya dan harus berlari menghindari robot yang senantiasa mengelilingi kota.

Dekat dengan basecamp sang pemulung, terdapat sebuah relik kota yang telah ditinggalkan. Sang pemulung masuk ke dalam pusat perbelanjaan dan menemukan sebuah robot yang menjaga ruang planetarium bernama Yumemi Hoshino (Keiko Suzuki). Seolah beku dalam waktu, Yumemi menyapa sang pemulung sebagai pengunjung ke-2.487.290 sekaligus sebagai pengunjung pertama setelah 29 tahun dan 81 hari.

Tanpa pengetahuan akan apa yang terjadi di luar planetarium, Yumemi mempersilakan sang pemulung untuk duduk, menyapanya sebagai seorang pelanggan. Tetapi sang pelanggan tidak bergeming. Terbiasa hidup di dunia yang keras, ia masih memendam kecurigaan akan Yumemi. Tetapi sisi keras sang pemulung perlahan akan berubah seiring hari demi hari yang ia lalui, ketika melihat dan mendengarkan cerita mengenai bintang dari Yumemi, ketika melihat betapa tulusnya Yumemi sampai akhir hayatnya.

Sang pemulung memiliki niat mulia. Ia ingin membawa Yumemi untuk keluar dari ruang planetarium yang gelap dan memperkenalkannya ke anak-anak di luar, agar mereka bisa mendengarkan cerita mengenai bintang, mengembalikan sedikit sisi kemanusiaan yang telah lama hilang. Tetapi Yumemi adalah robot yang sangat setia. Kesetiaannya melayani sang pelanggan adalah fragmen kecil dari dunia ideal yang ia inginkan, keinginan agar manusia dan robot bisa hidup berdampingan dalam penuh kedamaian.

“Bila surga benar-benar ada, aku berharap surga tidak disekat untuk manusia dan robot.”

Sisi kemanusiaan yang bertransenden dari sebuah robot. Yumemi menceritakan "teman barunya" yang bisa mengeluarkan air mata. (Key / David Production)
Sisi kemanusiaan yang bertransenden dari sebuah robot. Yumemi menceritakan “teman barunya” yang bisa mengeluarkan air mata. (Key / David Production)

Memperbaiki Sang Proyektor

Planetarian ditulis pada awal 2000-an dan dirilis pada tahun 2004. Secara teknis, novel visual aslinya tidak memberikan pilihan bagi pembacanya sehingga pembaca hanya bisa menikmati alurnya secara linear, tanpa kemungkinan ending selazimnya novel visual pada umumnya (Key menjualnya dengan brand Kinetic Novel).

Skrip novel visualnya ditulis oleh Yuuichi Suzumoto yang berperan banyak dalam dua dari “trilogi” novel visual Key sebelumnya, Air dan Clannad. Suzumoto sendiri terinspirasi oleh novel visual Kanon yang membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan Key/VisualArt’s. Raison d’etre dari Planetarian berasal dari ketiga trilogi tersebut.

Bagi yang belum pernah berinteraksi dengan trilogi Key, seluruh novel visual utama Key memiliki ciri-ciri yang mirip yaitu gaya penceritaan nakige, konten seksual yang sangat sedikit (dan meh), dan musik bergaya techno. Air berputar di kisah utama Misuzu Kamio yang memiliki ambisi untuk “terbang, lepas dari sangkar”. Kanon berputar di premis Ayu Tsukimiya yang memiliki janji masa kecil dengan sang protagonis Yuuichi Aizawa. Clannad berputar di pergulatan batin sang berandal Tomoya Okazaki dengan anak pemilik toko roti Nagisa Furukawa, dan menemukan kembali apa arti sebuah kehidupan. Lumrahnya, sang karakter utama akan dikisahkan mati (atau hidup kembali, tergantung perspektif.)

Planetarian memanfaatkan formula yang sama, menyajikan cerita yang menyentuh dalam balutan setting post-apocalypse namun tetap dekat dengan keseharian. Bagaimana sang pemulung berinteraksi dengan Yumemi, pengembangan karakter yang digarap secara perlahan dan mulus dalam waktu yang tidak terlalu lama, dan yang lebih penting: bagaimana momen perpisahan mereka berdua disajikan. Perpisahan antara sang pemulung dengan Yumemi seketika mengingatkan momen saat Yukito berpisah dengan Misuzu dan saat Tomoya berpisah dengan Nagisa.

Konten seksual bisa dikatakan tidak ada. Dengan cerita yang kuat dan perasaan “suci” dalam setiap hubungan antar karakternya, novel-novel Key tidak terlalu menarik dijadikan inspirasi untuk masturbasi (walau tetap saja banyak doujinshi-nya). Air dan Kanon bisa berjalan tanpa penggambaran hubungan seks dan Clannad memilih langsung mengaitkannya dengan pembentukan keluarga. Dalam Planetarian, konsep hubungan platonik yang sama kembali dilanjutkan.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah musik techno yang digawangi oleh Shinji Orito (I’ve Sound) dan Magome Togoshi (Key Sound Label). I’ve dengan mulus membawakan khazanah EDM ke dalam ranah kebudayaan anime. Grup yang dikenal dengan slogan low trance assembly ini berhasil mengemas nuansa ajep-ajep dengan gaya yang mudah diterima penggemar anime (dan mungkin, masyarakat penggemar J-Pop). Lagu-lagu I’ve bukan lagu denpa sebagaimana Mosaic.wav, tidak juga house music yang keras menghentak. Tori no Uta sang lagu andalan Lia dan mag mell yang dibawakan eufonius menjadi bukti. Dalam novel visual Planetarian, kedua orang ini menggarap bersama musik latarnya, namun tidak berpartisipasi dalam aransemen lagu penutup adaptasi animenya.

Saat robot sebagaimana jati dirinya sebagai sebuah robot, bertemu dengan robot yang "dimanusiakan". (Key / David Production)
Saat robot sebagaimana jati dirinya sebagai sebuah robot, bertemu dengan robot yang “dimanusiakan”. (Key / David Production)

Yumemi Sang Proyektor

Dunia post-apocalypse yang ditinggali sang pemulung dan Yumemi pernah sangat dekat dengan realita. Saat Planetarian ditulis tahun 2004, kenangan Perang Dingin baru perlahan-lahan terkubur oleh perang di Afghanistan dan Irak. Tetapi sampai runtuhnya Uni Soviet, dunia berada dalam bayang-bayang perang nuklir.

Pada tahun 1983, dunia nyaris kiamat. Blok Barat (bagi yang lupa atau tidak tahu, diisi oleh Amerika dan negara-negara Eropa Barat anggota NATO) bersiap menyelenggarakan latihan militer besar-besaran. Blok Timur (Uni Soviet, Jerman Timur, dan negara-negara komunis pada umumnya) tidak mengetahui dengan pasti apakah rencana latihan militer tersebut – yang kini dikenal dengan nama Able Archer – benar-benar serius atau tidak.

Kekhawatiran tersebut bisa dimaklumi sebab setelah berakhirnya Perang Dunia II, Amerika dan Uni Soviet menjadi lawan dalam segala hal. Ketegangan antar kedua negara terlihat sangat jelas dalam lomba persenjataan nuklir, di mana puncaknya terjadi saat Soviet meledakkan Tsar Bomba, bom atom dengan kemampuan ledak daya ledak 1.570 kali bom Hiroshima-Nagasaki dan “seperempat letusan gunung Krakatau.” Tingkat paranoid ini tercermin dalam “surat wasiat” yang disimpan dalam kabin kapal selam nuklir HMS Vanguard, yang mengizinkan kru kapal untuk menembakkan hulu ledak nuklir jika dan hanya jika karena alasan apapun, pemerintahan Inggris tidak lagi ada. Konsep ini dikenal dengan istilah Mutual Assured Destruction.

Dalam dunia tempat sang pemulung dan Yumemi hidup, mutual assured destruction dan akumulasi faktor-faktor lain membuat bumi tidak lagi layak ditinggali sejak 40 tahun yang lalu. Bila melihat konteks Jepang pasca perang dingin, ancaman nuklir Korea Utara terasa dan masih sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jepang hari ini.

Dimabuk Alkohol

Planetarian menyajikan dengan indah cerita tentang bintang-bintang di langit. Yumemi membawakan cerita mengenai Tanabata dan galaksi Bimasakti. Bersama dengan “temannya” Jena, Yumemi menceritakan tidak hanya mengenai asal usul kedua hal tersebut, namun bagaimana manusia menggunakan bintang sebagai penunjuk dan petunjuk sejak peradaban dimulai.

Langit kota yang gelap dalam suasana post-apocalypse membuat sang pemulung tidak memiliki hubungan emosional dengan langit, tetapi hal serupa juga terjadi saat ini. Polusi cahaya membuat sebagian besar bintang di langit tak lagi terlihat.

Kota-kota besar, baik Jakarta atau Medan, terang saat malam pada titik seseorang bisa membaca koran tanpa perlu bantuan penerangan tambahan. Polusi cahaya membuat sebagian besar masyarakat – termasuk sang penulis – tidak dapat melihat Bimasakti yang begitu indah. Langit yang kini berwarna abu-abu kekuningan pada malam hari tidak hanya membosankan dan mematikan kreativitas, namun juga berdampak buruk bagi kesehatan.

Sang pemulung yang lahir setelah dunia dihancurkan oleh termonuklir tidak sempat melihat langit dengan jelas. Cahaya siang hari pun hanya diisi dengan awan kelabu yang menurunkan hujan terus-menerus, bercampur dengan ekses-ekses radioaktif. Baginya, melihat langit walau hanya melalui planetarium membangkitkan pengalaman tersendiri.

Sebagaimana Immanuel Kant pernah berkata pada 1788, dua hal yang terus bertambah besar bila dipikirkan adalah langit yang penuh bintang di atas dan hukum moral di dalam nurani. Bintang di langit memberikan inspirasi bagi mereka yang mengetahui untuk merenungkan kebesaran dan keindahan alam raya.

Yumemi sebelum akhir hayatnya. (Key / David Production)
Yumemi sebelum akhir hayatnya. (Key / David Production)

Harapan Yumemi

Hubungan Yumemi dengan sang pemulung sangat unik. Tidak ada contoh lain yang lebih bisa menggambarkan hubungan mereka sebagaimana Chi / Elda dengan Hideki dalam Chobits. Dalam The Anime Machine, Lamarre menjelaskan dengan indah memburamnya perpisahan antara identitas gender dalam robot berbentuk perempuan dengan esensi teknis robot itu sendiri. Tetapi berbeda dengan Chobits di mana Lamarre melihat hubungan Chi-Hideki sebagai hubungan yang “seksual tanpa hasrat seksual,” hubungan Yumemi-sang pemulung adalah hubungan platonik. Sang pemulung tidak memandang Yumemi sebagai perempuan sedikitpun, namun memiliki hubungan emosional seolah-olah ia sedang (dan telah) berinteraksi dengan manusia nyata.

Bila momen Hideki menghidupkan Chi dengan menekan tombol di area privatnya menjadi momen dekonstruksi hubungan manusia-robot, maka dalam Planetarian timbul pertanyaan seperti ini: Yumemi jelas-jelas seorang robot, lengkap dengan mekaniknya, beroperasi dengan set instruksi yang jelas, serta kukuh menyapa sang pemulung sebagai sang pelanggan, lantas mengapa bisa timbul hubungan emosional? Mengapa sang pemulung begitu sedih kehilangan Yumemi di akhir? Mengapa “bos” sang pemulung di awal mewanti-wantinya untuk tidak mendekati Yumemi? Bagaimana menarik garis yang tegas antara kecintaan sang pemulung terhadap Yumemi dengan mimpi, semangat sang pemulung yang tersentuh hatinya setelah mendengarkan cerita langit dari Yumemi?

Yumemi adalah robot yang berhasil melewati tes Turing dan mampu menyajikan respon yang natural. Pada akhir hayatnya, Yumemi sebagai robot yang memiliki kecerdasan artifisial menunjukkan sejumlah interaksi antara dirinya dengan para pengunjung dan staf di kantor tempatnya dipekerjakan. Semua menganggap Yumemi seolah-olah seperti layaknya manusia. Chi dalam Chobits juga menunjukkan kemampuannya berinteraksi dengan natural. Hal ini menimbulkan paradoks jika kita merenungkan corgito ergo sum-nya Descartes. Mengapa dan bagaimana seorang manusia bisa membentuk afeksi terhadap robot, terlebih jika pengetahuannya artifisial dan sang robot tersebut mengulang-ulang gesture-nya untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah robot? Mencintai robot yang berusaha menunjukkan bahwa dirinya adalah robot?

Bagaimana dua hal yang berbeda namun berkaitan tersebut melebur menjadi sebuah kedekatan yang mengharukan pada akhir cerita, rasa-rasanya menjadi topik yang menarik untuk dibahas dan diteliti.

Kesimpulan

Dengan cerita yang menyentuh, Planetarian menjadi karya kecil yang dinantikan untuk diangkat menjadi anime oleh mereka yang telah memainkan novel visualnya. Bagi mereka yang hanya menikmati animenya saja, Planetarian akan memberi kesan mendalam, sekaligus mengingatkan penontonnya akan hal-hal kecil yang dekat dan terkadang tidak disadari oleh kesehariannya.

Menyaksikan Planetarian adalah mendengarkan sebuah cerita dan kesederhanaannya menjadi barang langka di tengah riuh rendahnya multiple frames of reference dan hypermediality yang mendominasi anime saat ini. Selamat datang kembali ke dunia Key atau selamat memasuki dunia Key bagi penggemar anime masa kini yang tidak sempat merasakan kebesaran trilogi Kanon, Air, dan Clannad.

KAORI Newsline | oleh Kevin W

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses