Kehidupan Seiyu di Jepang yang Tak Selalu Seindah di Anime

0
Kehidupan Seiyu di Jepang
© Kenjiro Hata/Sore ga Seiyu! Production Committee

“Menjadi seiyu adalah impian saya, tetapi kenyataannya jauh dari ekspektasi,” ujar Yumiko Shibata, seorang seiyu kawakan yang sudah berkiprah cukup lama di Jepang. Meskipun telah berkiprah dalam sejumlah anime hingga video game, penghasilannya di industri ini sangat minim, hingga ia harus bekerja di klub malam demi bertahan hidup.

Penghasilan Minim di Tengah Popularitas Anime

Industri anime Jepang telah mengalami pertumbuhan pesat secara global, dengan pendapatan mencapai 21 miliar dolar AS dalam satu dekade terakhir. Namun, di balik kesuksesan tersebut, kondisi kerja para seiyu dan animator jauh dari kata ideal. Menurut data industri, animator muda hanya mendapatkan kurang dari 2 juta yen (sekitar 12.948 dolar AS) per tahun, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan penghasilan rata-rata di Tokyo.

Pembayaran yang Terlambat dan Kontrak Tidak Jelas

Nobunari Neyoshi, mantan pemilik agensi seiyu di Jepang, mengungkapkan bahwa para seiyu kerap menunggu lebih dari enam bulan untuk menerima bayaran, bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali. “Pelanggaran kontrak sangat umum terjadi di industri ini,” ujarnya. Selain itu, banyak pekerja dipekerjakan hanya melalui telepon atau aplikasi pesan singkat tanpa kontrak resmi.

Minimnya Perlindungan dan Kehadiran Serikat Pekerja

Berbeda dengan Hollywood, di mana serikat pekerja memainkan peran penting dalam melindungi hak para pekerja kreatif, seiyu di Jepang cenderung menghindari aktivitas serikat. Tetsuya Numako, seorang mantan pejabat serikat pekerja, mengatakan bahwa para seiyu sering kali enggan terlibat dalam negosiasi dengan manajemen. “Para animator dan seiyu biasanya tidak ingin berkonflik dengan pihak atasan,” katanya.

Perubahan di Tengah Kemajuan Teknologi

Pemerintah Jepang mulai mengambil langkah dengan memberlakukan undang-undang baru pada November lalu untuk melindungi pekerja lepas. Perusahaan kini diwajibkan memberikan kontrak tertulis dan membayar pekerja dalam waktu 60 hari. Namun, para pekerja diminta untuk lebih proaktif dalam memperjuangkan hak mereka dan tidak hanya bergantung pada hukum yang berlaku. Selain itu, ancaman lain juga datang dari kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI), yang dikhawatirkan akan menggantikan pekerjaan seiyu di tingkat pemula.

Harapan di Tengah Kesulitan

Daisuke Iijima, seorang peneliti di Teikoku Databank, memprediksi bahwa konsolidasi di industri ini dapat memperkuat posisi tawar studio-studio kecil dan meningkatkan gaji pekerja. Sementara itu, Yumiko Shibata menegaskan pentingnya keberanian pekerja untuk berbicara. “Selama ini, banyak yang diam karena takut kehilangan pekerjaan,” ujarnya. Namun, ia baru-baru ini berhasil mendapatkan pembayaran setelah memperjuangkan hak royaltinya yang sebelumnya diabaikan.

KAORI Newsline | Sumber

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses