Opini: Saat Dapur Editor Didikte Pemilik Modal

3

DSC_2338

Hari Senin, 16 Februari lalu, berbagai media di Inggris ramai memasang kasus skandal HSBC sebagai topik utama di media masing-masing. Kasus HSBC atau yang dikenal sebagai Swissleaks ini mengungkap bagaimana HSBC, salah satu bank terbesar di dunia, membantu klien-kliennya agar dapat menghindari pembayaran pajak. Tak tanggung-tanggung, kliennya meliputi pejabat dan pesohor di Britania Raya.

BBC dan The Guardian (salah satu media yang saya baca setiap hari) memasang besar-besar kasus HSBC, sementara keesokan harinya Daily Mail, The Times, dan Financial Times (koran bisnis terpercaya, setara Nikkei di Jepang) ikut ambil bagian memeriahkan tajuk berita. Tetapi The Telegraph, salah satu koran “kanan” (mungkin se”kanan” Kompas di Indonesia) cuma menyisipkan berita tersebut sebagai kolom kecil di halaman dua.

Tidak lama, Peter Osborne, wartawan senior Telegraph mendadak mengundurkan diri dan menumpahkan kekesalannya pada manajemen Telegraph yang dianggapnya mendahulukan kepentingan pengiklan ketimbang menjaga integritas dalam satu blog khusus. Osborne menuduh sejak diguyur uang iklan oleh HSBC pada awal 2013,  wartawan diminta untuk tidak membuat tulisan bernada negatif tentang HSBC. Sejumlah berita bernada miring tentang HSBC yang sempat terlanjur online pun ditarik dari situs Telegraph.

Kalau dikembalikan dalam konteks Indonesia, saat Pemilu 2014 lalu rasanya tidak asing lagi ketika berbagai macam media dengan keras mendukung pilihan politiknya masing-masing. Tetapi kalau hanya masalah pilihan politik, ini hal yang lumrah karena sejatinya, netral bisa dikatakan tidak ada dalam hal ideologis.

Masalahnya adalah kalau ruang media sudah terbelit oleh kepentingan pemilik modal. Di Indonesia, televisi bertuan pada kepentingan pemilik modal sehingga menyebabkan susutnya kualitas tayangan dalam 15 tahun terakhir. Ini poin yang dititikberatkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia saat berbicara masalah pengawasan siaran dengan teman-teman KAORI (6/2) lalu.

Pengaruhnya menjadi makin mengerikan bila sebuah isu, khususnya isu penting, bisa tidak terbahas atau dikecilkan. Kuasa Foucault bekerja dengan baik dalam kasus liputan lumpur Sidoarjo oleh tvOne misalnya.

Lalu dalam konteks lebih sempit lagi, bagaimana media jejepangan mendudukkan posisinya saat meliput sebuah acara? Beberapa waktu lalu, skandal barang bootleg dalam sebuah perhelatan anime menjadi topik hangat namun tidak diliput oleh media jejepangan manapun (termasuk oleh KAORI). Atau riuh rendahnya implementasi kartu berbayar dalam acara lain yang juga luput dari perhatian media dan malah dibahas oleh blog-blog. Padahal isu tersebut merupakan isu publik terlepas dari hubungan media yang meliput di dalamnya.

Dengan berjalannya relasi kuasa Foucault dalam segala aspek kehidupan, sanggupkah media yang kalau dalam konteks jejepangan, mendapatkan gratis tiket masuk dan berada dalam kuasa penyelenggara acara untuk mengkritisi isu-isu yang menyangkut kepentingan pembacanya? Atau menulis artikel yang temanya kurang sedap mengenai Jepang?

Telegraph dan tvOne sekalipun pada akhirnya tak sanggup menolak kuasa pemilik modal dan fasilitas tersebut.

Kevin Wilyan

Artikel ini adalah pendapat dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.

3 KOMENTAR

  1. Bukan masalah yang bisa hilang dengan mudah menurutku, masalahnya siapapun yang memegang kendali sebuah media, pasti sadar tidak sadar akan menggunakannya untuk mengontrol opini pemirsanya. Termasuk juga membengkokkan objektifitas dan netralitas demi pandangan pribadi pengendali media.

    Apa ada solusi yang masuk akal?

  2. Mau tidak mau solusi yang tepat bagi pembaca adalah membaca berita lebih dari satu sumber, dengan ideologi/sudut pandang redaksi yang berbeda. Tapi untuk media jejepangan (sebagai contoh) yang (mungkin) hanya diliput sedikit media saja, mungkin akan susah untuk diterapkan.

  3. Sepertinya bila media tidak lagi risau dengan urusan dapurnya, saat itu pula media akan bisa bekerja dengan baik, ceteris paribus…

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses