Turbulensi yang Membawa Hikmah

2

grisaia-rakuen

Kadang Allah mengingatkan manusia melalui jalan yang tidak diduga-duganya.

Ceritanya bermula dari hari Sabtu. Setelah melalui minggu yang lumayan menyenangkan (terlebih karena berhasil bertemu dengan bapak Ignasisus Jonan, dirut PT Kereta Api yang sangat saya hormati), niat saya tentu di akhir pekan adalah menonton anime. Terlebih minggu ini adalah minggu yang menegangkan karena belum pernah ada ceritanya UAS begitu banyak seperti sekarang ini.

Ketika mengubek-ubek kandar diska, terlihatlah Oda Nobuna no Yabou. Tujuh episode BD-nya saya unduh dari tautan langsung di web FFF, lalu sisanya saya tonton melalui versi TV yang memang sudah tersimpan juga di rumah.

Setelah menonton Oda Nobuna, saya melihat dua hal. Pertama, bias tuduhan tidak hanya terjadi pada mereka yang ada di dalam kebudayaan anime. Dalam artian masyarakat awam atau sekedar pengamat anime sekilas pun kini dengan mudahnya mampu mengumbar tuduhan anime sekarang cuma jualan moe. Stereotip klasik yang sering dilihat adalah penggemar anime yang menghinakan sinetron dan kebudayaan mainstream.

Bagi saya, Oda Nobuna adalah anime ideal. Saya berani membandingkannya dengan Ranma 1/2, karena kedua anime ini punya protag yang dikelilingi cewek-cewek cantik, namun tidak berarti unsur cerita menjadi sampah. Kalaupun Oda Nobuna dicap negatif (mungkin karena sampulnya sekilas terlalu stereotip bishoujo game), apa boleh buat kalau memang gaya gambar era 2010-an sekarang, yang seperti bishoujo game-lah yang disukai. Fenomena ini pun terlihat, misal dalam Heart Catch Precure yang sebenarnya ditujukan untuk pasar anak-anak.

Faktor kedua adalah masalah kepemimpinan. Kepemimpinan Oda Nobuna yang saya lihat memang berbeda dengan kepemimpinannya Dahlan Iskan, kepemimpinannya Jonan, maupun kepemimpinan saya di KAORI. Tapi dari segala kepemimpinan ini, saya melihat satu benang merah: adanya dukungan dan sinergi antara pimpinan dengan rekan kerja untuk meraih kesuksesan.

Dahlan, sebagaimana Nobuna, sebagaimana Jonan, pun saya, pada beberapa titik sering melebihi batas. Haters, pasti punya. Tapi Dahlan, Jonan, dan Nobuna punya rekan yang mendampingi mereka. Sedangkan saya mulai berpikir, apa jangan-jangan kepemimpinan saya tidak lebih dari seorang dovac, yang selama bertahun-tahun membuang uang untuk situs moe-moe dan tidak menghasilkan apa-apa selain wibawa di 4chan.

Saya pun mengeluhkan hal ini di ruang internal staf, dan yang saya dapat justru jawaban egosentris: kalau tidak suka ya berhenti saja lah. Saya berpikir: wtf staf KAORI jaman sekarang ini!? Ini orang pasti saya jegal kalau dia minta naik dari asmod jadi momod.

Dalam kondisi yang memang sudah tidak baik malam itu (saya menelan dua butir Panadol karena kepala sakit sekali malam Minggu), akhirnya saya memutuskan untuk mematikan nginx. Jadilah KAORI lumpuh selama sekitar 13 jam.

Ketika melihat jawaban teman-teman yang menyatakan bahwa keberadaan KAORI mengubah hidup, saya mulai berpikir. Oh ternyata tidak hanya saya yang menjadikan KAORI rumah kedua. Ternyata yang kecewa lewat FB, twitter, dan bahkan mengirimkan SMS langsung pun ada saja.

Masih dalam suasana batin yang bingung, saya pun ditanya oleh salah satu rekan. Saya sengaja mematikan webserver, karena toh memang KAORI ini umurnya hanya sampai tanggal 15; saya pun berpikiran andaikan KAORI memang ambruk, ya paling nanti menciptakan komunitas baru di luar sana. Intinya, saya masih melihat ada-tiadanya KAORI tidak ada bedanya (kaadamihi).

Sekitar jam setengah 3 siang, akses KAORI pun dinyalakan lagi. Pukul setengah 5 sore, berita buruk datang: ada seorang pengguna yang mencatut 9 nama pengguna lain dan mengatakan akan memboikot acara kunjungan ke studio animasi (yang merupakan bagian dari silaturahmi lintas daop secara keseluruhan dan integral). Kondisi batin yang memang sudah dalam titik terendah pun membuat saya melakukan tindakan serampangan (yang sebenarnya sudah saya wacanakan sejak beberapa hari lalu): membatalkan daigath.

Tidak hanya membatalkan, saya sampai mengirimkan permohonan demisioner ke staf lain karena memang tidak kuat. Sampai sesumbar, kalau saya bisa teriak, mungkin saya akan teriak sekarang juga. Diskusi dengan salah satu staf sore itu pun bukannya membuat pikiran kalut, tapi malah semakin membuat saya yakin dan menjadi-jadi.

Sampai sini, mungkin kalau orang berpikiran pendek, sudah bunuh diri, hehe!

Lalu tiba-tiba ada orang di luar KAORI yang mengingatkan saya mengenai kebodohan tindakan saya ini. Yang disampaikannya sederhana, “SM kan punya prinsip, kok sekarang kelihatan kayak anak cengeng. Malu dong sama presiden yang sekarang, tukang curhat.”

Dalam pikiran, saya teringat. Sesungguhnya setelah kesulitan, ada kemudahan. Setelah kesulitan, ada kemudahan. Salah satu ayat Al-Quran yang setiap kali saya membacanya, saya selalu menghayatinya. Malah bisa sekali ketika dalam kondisi galau, saya menitikkan air mata.

Lalu saya teringat lagi. Oh ya, “Iron Lady”nya Indonesia saja tidak bisa menangis ketika ia masih menjadi menteri keuangan. Kalau dia menangis, wah bisa-bisa rupiah goncang. Perekonomian bangsa jadi taruhan.

Saya pun membaca lagi tulisan yang saya tulis di sig saya. Ya, “The Iron Lady”-lah yang mengajarkan supaya orang berani berdiri di atas prinsipnya sendiri.

Kebijakan pengunduran diri dan pembatalan silaturahmi akbar pun saya tarik. Lalu saya menulis ini,

“Kalau memang pengguna KAORI merasa bahwa KAORI mengubah dan berdampak pada kehidupan mereka, KAORI tetap akan berjalan di jalur yang benar dan sudah seharusnya demikian. Jadi, apa yang bisa menghentikan KAORI sekarang ini? Segelintir orang yang sakit hati namun tidak dapat menyampaikan perasaan mereka secara jujur?

Atau bagi mereka yang punya agenda tersembunyi untuk mengacaukan silaturahmi lintas daop, mengacaukan kebijakan KAORI, dan tertawa melihat hal tersebut berjalan sesuai rencana mereka?

Bagi mereka yang punya agenda sendiri dan berusaha memaksakan agenda, saya akan mengutip pernyataan Thatcher yang terkenal itu: “Silakan berputar bila Anda mau. Saya tidak akan berputar.” Silaturahmi akbar harus tetap berjalan, kedinasan KAORI harus berjalan sebagaimana biasa, camkan ini tidak hanya kepada Anda, tapi kepada teman-teman KAORI lain, maupun musuh-musuh dan haters KAORI di luar sana.”

Setelah saya mengeluarkan pernyataan ini, alhamdulillah salah satu staf lain pun turun tangan dan memberikan pendapat yang benar-benar menyejukkan hati. Sampai sini, batin yang jatuh ke titik terendah beberapa menit sebelumnya, kembali ke titik tertinggi.

Justru bagian yang menariknya dimulai dari sini.

Saya kembali berdiskusi dengan staf lain. Kali ini mengenai masalah ketidakpedulian staf internal kita selama ini. Dari dua orang yang saya ajak bicara, saya menemukan dua pendapat menarik.

Pendapat pertama, bahwa staf saat ini kurang ada penghargaan maupun dorongan untuk berkegiatan. Saya sangat maklum, dan ketika dulu saya mengeluhkan hal ini, ada yang bertanya kenapa saya tidak pecat saja. Tentu kalau KAORI ini perusahaan Tbk, hal itu sudah saya lakukan sejak dahulu secara istiqomah dan konsisten.

Tapi pendapat kedua-lah yang membuat saya lebih tertarik. Staf saat ini berbeda dengan staf tahun 2008 dahulu, yang terbiasa berpikir kritis, yang terbiasa objektif, dan yang senang berpikir. KAORI sekarang ini yang tidak terbiasa berpikir kritis, sehingga pernyataan egosentris staf seperti itu bisa keluar.

Barometer yang dahulu digiatkan ada pada saat yang tepat. Orang yang ada di KAORI saat itu memang sudah melewatkan beberapa saat di internet, bukan “anak kemarin sore”, dan mereka hidup pada zaman di mana fansub bahasa Indonesia masih jadi bahan tertawaan, ketika troll page belum ada, dan forum besar dahulu masih lumayan beradab. Bukan zaman Facebook dan Twitter.

Lalu masuklah semakin ke sini, muncul pengguna-pengguna yang pragmatis. Saking pragmatisnya, ketika dikasih bahan diskusi yang serius, dengan bangga ia mengatakan “saya gak peduli, saya apatis.” Facebook pun mulai dipenuhi dengan troll page tidak jelas, pengguna yang masuk ke KAORI pun lebih cenderung menjadikan KAORI sebagai “playground”, Fenomena yang telah terjadi ini mirip seperti “Eternal September”.

Celakanya, tren ini tidak hanya jadi monopoli KAORI maupun Facebook. Salah satu pengguna lain yang saya ajak diskusi misalnya, terang-terang mengatakan kalau karyawan sekarang semakin apatis dan tidak sesosial zamannya dulu. Akibatnya, dia sekarang tidak lagi murni mengandalkan kemampuan. Prinsip “bukan masalah bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau” pun akhirnya berlaku di sini.

Bukan berarti keluh kesah ini tidak memberikan solusi. Solusi terbaiknya adalah dengan membuat laju pertumbuhan KAORI melambat: lebih baik memiliki pengguna berkualitas meski ini sulit dan gila karena tren menunjukkan sebaliknya. Pengguna mulai sekarang secara perlahan-lahan harus dilatih dan dibiasakan untuk berprinsip.

Misalnya saja dengan menggalakkan diskusi-diskusi kritis namun kreatif dan santai. FSPM FC salah satu FC di mana angin segar itu muncul: pengguna baru muncul dan mau berpikir.

Barometer mungkin terlalu frontal dengan pengguna sekarang. Kampanye berpikir kritis tidak bisa lagi memakai bahasa frontal sebagaimana mengajak mahasiswa sekarang berdemo dengan bahasa aktivis 1998. Zaman sudah berbeda dan perlu cara baru namun tetap menyampaikan ide yang ingin disampaikan.

Lalu diskusi dan rangkaian turbulensi ini pun akhirnya benar-benar reda setelah Subur Tandus Awards dieksekusi.

Dari entri blog terpanjang ini (dan mengikuti pak Dahlan, ini tidak di-brand sebagai MH), kesimpulannya jelas. Mengajak pengguna dan staf untuk berpikir kritis dan logis. Dan, saya harus lebih banyak bersyukur pada Tuhan sebab peristiwa absurd ini pun membuat saya bisa lebih jernih memikirkan KAORI.

Maka, izinkan saya tutup ini dengan kutipan dari pak Jonan, yang ia sadur dari Buya Hamka, “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, monyet juga bekerja”.

Shin Muhammad
Administrator KAORI

NB: ilustrasi dari Grisaia no Rakuen.
NB2: Lagu yang pas, Hana – Eden’s song (masih dari OSTnya Grisaia no Rakuen)

2 KOMENTAR

  1. Yang sabar masbro, ingat RA Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang” 😀

    Memang sebagian besar orang (mayoritas orang kota) sekarang lebih cenderung egoistik, pesimistik, dan fragile/rapuh (lembek/lalai kalo diberi kelonggaran atau disaat2 senang tapi patah/putus asa kalo diberi kedisiplinan/ketegasan atau di saat2 sempit/susah)
    Tapi pintar2lah mencari pelajaran, jgn jadikan hidupmu ini sebagai siksaan, anggap hidup ini seperti petualangan, hadapi dengan bangga dan rasa senang.
    Dan disaat di depanmu ada jurang, janganlah kau mundur/kembali atau terjun/lompat langsung ke dalam jurang tersebut tapi hadapi dengan perlahan dan cari solusi yg terbaik.
    Mudah memang kalo hanya berbicara tapi apa salahnya dicoba, manusia memang bukan makhluk sempurna tapi apa salahnya untuk selalu mencoba menjadi lebih baik, apakah karena kita memiliki kekurangan akan menjadikan kau berhenti sampai situ.

    Mungkin ini bisa jadi pelajaran buat kita semua termasuk saya yg kadang menjadi lupa diri saat tertimpa masalah/musibah.

    Lain2: O iya saya lebih suka Utawarerumono ketimbang Oda Nobuna =D
    plotnya hampir sama juga :3

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses