Setelah enam tahun, akhirnya saya menjejakkan kaki di Malang. Inilah Bandung before it was mainstream; cuacanya sejuk dan menyengat dalam waktu bersamaan, jalannya kecil, banyak pepohonan, punya tim sepakbola dan pendukung fanatik, dan tentu saja dengan kontur tanah yang semakin ke pinggir kota semakin tinggi. Yang kurang hanya factory outlet dan mobil-mobil plat B.
Daop 8 punya karakteristik yang mirip dengan Daop 2. Orang-orangnya energik, kreatif, dan menginspirasi dengan cara yang berbeda baik dari Jakarta, Bandung, Semarang, maupun Yogyakarta dan Solo.
Setelah bersusah menempuh perjalanan sekitar 16 jam dari Jakarta, saya langsung diantar ke tempat penyelenggaraan acara jejepangan, yang kabarnya terbesar di Malang sampai saat ini. Acara itu adalah Taiyoutopia yang keempat (dan sayangnya, yang terakhir), diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang.
Saat sampai di TKP, saya melihat antrian yang mengular. Kalau Hellofest adalah antri minyak tanah kelas nasional dan GJUI kelas Jabodetabek, maka yang ini adalah antri minyak tanah kelas Jawa Timur. Pengunjungnya benar-benar banyak dan mereka rata-rata sudah siaga sebelum jam 9 pagi, saat pintu masuk belum dibuka. Itu pun setelah dipungut biaya 10 ribu rupiah per orang, yang menurut saya cukup mahal untuk orang-orang Malang. Benar-benar antusias!
Yang antusias tidak berhenti di antrian pengunjungnya saja. Panitia yang bekerja pun terlihat antusias. Saya melihat wajah, yang memang tidak semenderita panitia Hellofest atau GJ, namun cukup tergambar di muka mereka.
Acara jejepangan di Malang memang bukan yang pertama, dan ternyata acara dengan skala yang berbeda-beda pasti ada di Malang minimal sebulan atau dua bulan sekali. Cukup banyak meski tidak seperti di Jakarta yang ada setiap minggu. Namun karena skalanya memang tidak besar-besar amat (banyak yang berskala SMA) sehingga sekilas antusiasmenya pun tidak terlihat besar.
Saya berkesempatan ngobrol cukup panjang dengan beberapa komunitas dan EO acara di Jawa Timur. Salah satunya dengan mas Hildi, anggota Choco Days dan kontributor Duniaku. Dari hasil diskusi tersebut, ada masalah-masalah yang secara umum juga masalah perilaku media secara umum saat ini.
Misal, situs-situs berita dan informasi, termasuk web jejepangan dan termasuk KAORI sendiri, masih sangat Jakarta sentris. Jakarta menjadi segala-galanya, selera ditentukan oleh Jakarta, acara-acara menarik selalu diadakan di Jakarta. Meskipun saya besar di Jabodetabek, saya sendiri merasa ini tidak adil bagi teman-teman di daerah. Sehingga dalam waktu dekat, KAORI Newsline akan punya biro pula di Jawa Timur selain komunitas Daop 8 yang sudah kuat saat ini.
Dalam diskusi saya dengan pendiri Animal (Anime Manga Lovers Malang), juga terungkap sisi lain penggemar anime di Malang yang cukup mengejutkan bagi saya. Animal memiliki acara rutin dwimingguan di mana mereka saling bertukar koleksi dan berkumpul dalam acara tersebut. Lebih hebatnya lagi, mereka mampu mengumpulkan 40-50 orang dalam sekali pertemuan rutin itu.
Namun kesulitan-kesulitan itu sepertinya tak menghalangi kreativitas. Saya menemukan cosplayer yang memerankan Koneko dari Highschool DxD, yang saya belum pernah temukan di Jakarta! Selera yang unik dari komunitas di sini pun terlihat dari banyaknya orang yang tertarik dengan DxD, yang entah mengapa tidak terlalu muncul di Jakarta.
Selain ramainya komunitas itu, saya melihat Malang masih cukup positif dan tidak terlalu tersegregrasi sebagaimana di Jakarta. Masalah elitisme yang pernah muncul dalam bahasan Forum Anime Indonesia pertama lalu pun nyaris tidak ada di Malang, mungkin salah satunya karena faktor budaya guyub yang kuat.
Sebenarnya banyak stan-stan komunitas lain yang saking ramai dan padatnya, saya tidak sempat mengunjungi. Saya juga sangat menyesal karena tidak bisa bertemu muka dengan bung Alan, PO acara ini.
Yang jelas, bagai fenomena gunung es, saya yakin yang terlihat kemarin itu hanya segelintir di permukaan saja; yang tidak terlihat masih banyak dan sangat berpotensi untuk dikembangkan!
Lalu bagaimana KAORI di Daop 8? Daop 8 secara umum juga mengalami perporosan meski tidak seluas Jakarta. Titik sentralnya ada di Malang dan Surabaya.
Dari segi geografis, sesungguhnya Daop 8 punya tantangan lebih besar daripada Daop 1. Transportasinya sama sekali tidak senyaman Jakarta. KA Penataran, meski menghubungkan kota seperti Jakarta dan Bogor, tidak senikmat memakai KRL komuter. Entah bagaimana dengan jalan raya, namun yang jelas Malang dan Surabaya tidak punya jalan tol seperti Jagorawi.
Tetapi dengan kondisi yang seperti itu saja, rekan-rekan Daop 8 punya semangat juang yang tinggi. Argus rela berangkat jam 5 pagi dari Surabaya, menempuh perjalanan selama tiga jam demi menghadiri acara ini, atau pak Ahmad Fathanah yang juga bersusah payah datang jauh-jauh dari Blitar. Rombongan Surabaya pun harus meninggalkan tempat acara sebelum jam 6 sore, dan sampai lagi di Surabaya sekitar pukul 10 malam!
Persiapan dan operasional stan pun juga banyak yang mirip-mirip-beda dari Jakarta. Mereka menyewa dua blok stan di mana Daop 1 umumnya hanya menyewa satu blok. Itu pun menggunakan uang guyub baik untuk mencetak poster, banner, barang jualan (KAORI hanya membantu sedikit dari uang kas). Sajiannya pun variatif, meski tidak ada gim Touhou di sini, setidaknya ada Stepmania.
Memang saat pelaksanaan sempat terjadi insiden-insiden kecil. Namun salah satunya karena ketegasan bang Hanief, semangat tinggi seorang Bakrie, dan rekan-rekan lain yang sudah berinisiatif membantu baik transportasi, perlengkapan, maupun barang. Saya akui, Jakarta harus banyak belajar ke Malang!
Inilah regional yang benar-benar mengamalkan sunnatullah kesuksesan KAORI: mampu menghasilkan karya yang luar biasa meski dalam banyak keterbatasan!
Shin Muhammad
Administrator KAORI
Koreksi: versi awal menyebutkan “…mas Hildi, petinggi Choco Days…” dan “…mengumpulkan 30-40 orang…”