Salaryman: Bergantung Pada Gaji Seumur Hidup

9

Salaryman, atau berarti "Manusia Gaji" adalah salah satu simbol sekaligus ironi dari kemajuan negara Jepang. Sebagai kelas pekerja, keberadaan mereka menggerakkan perekonomian, meski sayangnya tidak dengan imbalan yang sepadan.

Setiap tahun terdapat jutaan mahasiswa yang bersorak gembira ketika mereka dinyatakan lulus dari universitas. Mereka senang karena jerih payah orang tua tidak sia-sia setelah mereka diwisuda dan mengenakan toga. Namun, tantangan yang lebih berat baru saja dimulai, setelah mereka lulus.

Menurut survey di Tokyo, orang-orang yang baru lulus kuliah cenderung mengalami tingkat stress yang lebih tinggi, dibandingkan ketika mereka sedang menghadapi ujian terakhir di kampus. Mereka lebih stress, karena mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan.

Setiap hari semakin banyak lulusan yang bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika saingan semakin banyak, banyak pula yang rela digaji rendah, kerja semakin larut, dengan tingkat kesehatan yang semakin menurun.

Pernahkah anda membaca komik Kariage Kun? Komik ini mengisahkan seorang salaryman aka "Manusia Gaji" yang bekerja di PT Honnyara. Di komik ini, anda bisa menemukan stereotip konservatif perusahaan Jepang, yang konteksnya masih relevan bahkan hingga saat ini, meskipun komik ini memotret kondisi di pertengahan tahun 90-an.

Namanya adalah "Salaryman". Terjemahan mudahnya, "Manusia Gaji". Atau, lebih ironisnya, "Seumur Hidup menggantungkan diri pada Gaji". Inilah tipikal pendapatan sebagian besar masyarakat Jepang, yang bertransformasi menjadi negara maju, dengan bisnis yang memaksa pekerjanya untuk terus bekerja. Seringkali tanpa gaji yang sepantasnya.

"Setiap hari saya hidup dengan kegelisahan yang mengerikan," kata Ikezaki, seorang karyawan kontrak yang saat ini kerja dengan gaji ¥75.000/bulan (atau sekitar 7 juta rupiah per bulan). "Ketika saya berpikir tentang masa depan saya, saya jadi tidak bisa tidur di malam hari."

Berdasarkan data dari pemerintah Jepang, terdapat lebih dari 10 juta orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari standard normalnya Jepang yaitu ¥1.600.000/tahun (atau sekitar 155 juta rupiah per tahun).

Mungkin ini semua adalah akibat dari perusahaan-perusahaan Jepang yang lebih mementingkan keuntungan perusahaan dan memanfaatkan keluguan para pekerja baru (yang jelas-jelas tidak punya pilihan lain).

Efek hal ini jelas terlihat, yaitu mereka yang terkapar dan tertidur pulas, baik di bus, chikatetsu (KRL bawah tanah), bahkan di jalan raya. Tidak peduli, apakah itu saat pagi, maupun saat malam.

Rupanya, ini menimbulkan sindrom baru, yaitu "karoshi".

Karoshi artinya "mati di kerja" atau kematian karena stress pekerjaan. Halusnya berarti "meninggal karena setia dan mengabdi kepada perusahaan". Kematiannya bisa karena kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah (kesehatannya menurun jauh), ataupun karena bunuh diri karena stress kerja.

Saking seriusnya masalah ini, pemerintah Jepang telah mencoba berbagai cara untuk mengatasinya. Mulai dari menyediakan nomor telepon darurat untuk menerima keluh-kesah para salaryman, buku petunjuk untuk mengurangi stress, sampai mensahkan undang-undang yang memberikan sejumlah uang (asuransi) ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena karoshi.

Menurut data pemerintah, dari 2.207 kasus bunuh diri pada tahun 2007, 672-nya adalah karena pekerjaannya terlalu banyak. Kasus karoshi yang terkenal adalah kasus kematian Kenichi Uchino pada tahun 2002, seorang manager quality-control berusia 30 tahun yang bekerja di perusahaan otomotif terbesar di dunia, Toyota.

Kenichi dikabarkan bekerja lembur selama 80 jam setiap bulan selama 6 bulan lamanya tanpa mendapatkan uang lembur atau bonus tambahan apapun. Dia akhirnya jatuh pingsan di tempat kerjanya dan dilarikan ke rumah sakit, yang kemudian membawanya ke akhirat.

McDonald's Jepang pun terkena masalah ini. Salah seorang manager restorannya jatuh sakit dan meninggal karena bekerja lembur tanpa bayaran apapun.

Karena tekanan publik, Toyota dan McDonald's akhirnya memutuskan akan memberikan uang lembur, bagi mereka yang ingin bekerja lembur dan menyediakan fasilitas kesehatan yang lebih baik.

Para salaryman ini sebenarnya berniat baik, yaitu ingin memajukan perusahaannya. Ditambah lagi dengan kebudayaan Jepang yang selalu menekankan disiplin tinggi, mereka berpikiran bahwa dengan bekerja lebih lama dan lebih keras daripada karyawan lain  tanpa meminta bayaran apapun, bos mereka bisa memberikan posisi yang lebih baik. Walau sayangnya, tidak selalu demikian.

Dari thread serupa di KAORI Forum oleh Sekiguchi | Litbang KAORI | KAORI Newsline

9 KOMENTAR

  1. 7 jute sebulan, disini aje gaji di yamaha 3 juta sebulan dah termasuk uang lemburnye. aduh gimana indonesia klo maju? 3 juta sebulan buat bli nasi uduk doank kali.

    • Kan biaya hidupnya beda bro, simpelnya gini cukur disana sekali itu 4000 Yen (sekitar 500rban) nah disini cuma sekitar 15 sampe 20rban paling mahal 100rblah ya kalo di salon

      • Lah gw 2.5an aja dan kadang kalo kantor gw claim nya lama ya kepaksa gajih setengah juga masih suku gaji 3 juta dan ontime -_-

  2. >>wahyu>>
    yeee….d sana 7 juta rp sbulan mah sangat kurang. harga mie cup yg kaya p*p mie ja bsa nyampe 20rb – 30rbu rp satunya. blum mkan yg hrganya gila2an klo di rupiahkan.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses