“Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ sermangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakkan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih/ diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing/ padanan deung pakayuan” –Naskah Bujangga Manik–
Artikel ini adalah bagian dari seri perjalanan KAORI Nusantara ke situs megalitik Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Simak bagian pertamanya di sini.
Kearifan Lokal Penduduk Masa Lalu dan Bintang di Angkasa
Rebahkan badan di atas batu ini dan pandang langit di atas ubun-ubun….
Salah satu informasi yang menurut saya paling menarik adalah cara masyarakat tempo dahulu menentukan tempat bercocok tanam maupun membangun rumah. “Trik”nya sederhana: tempatkan telur segar di beberapa penjuru dan diamkan 1-2 malam. Jika di titik tersebut telurnya busuk, maka disimpulkan titik tersebut tidak cocok dipakai bercocok tanam atau dijadikan tempat tinggal. Kalau nekad, hasil pertanian bisa busuk atau sang penghuni bisa gampang sakit-sakitan. Hal menarik lain adalah kebiasaan petani di wilayah Tasikmalaya yang bertani tanpa harus menggunakan pembasmi hama. Mereka menanam ketan, umbi-umbian, dan tanaman palawija lain di sekeliling tanaman padi.
[contextly_sidebar id=”DW7HrNd9lAMqaVN5hentMiMK5W8rUggr”]
“Jadi secara tidak langsung, manusia zaman dahulu itu memberitahu, ‘hai tikus, nih kamu makan yang di sebelah sini saja, yang punya saya jangan kamu makan.’ Ternyata tikus sawah itu masih ‘tahu terima kasih,’ yang kita sengaja tanam untuk jatah dia itu tidak habis dimakan semua, masih ada sisanya begitu,” terang pak Danny.
Eko Wiwid dari komunitas Sahabat Gunung Padang juga membagi cerita menarik dan rencananya menjadikan Gunung Padang sebagai kawasan etnowisata yang berbasis kebudayaan. Ia berharap wisatawan yang berkunjung ke Gunung Padang tidak hanya sekadar naik ke gunung lalu berfoto seperti “pergi ke kebun binatang,” tapi ingin pula mereka bisa kembali ke rumahnya dengan pengetahuan dan wawasan baru.
Alfi Zachkylee, komikus Vienetta, Vatalla, dan Neraka Borneo tampak paling semangat mendengarkan cerita malam itu. Segala data baru yang keluar langsung dimasukkan dan dijadikan ide membuat komik. Saya penasaran bakal seramai apa ya komiknya?
Alur diskusi benar-benar sangat menyenangkan, benar-benar tombo ngantuk. Tak terasa waktu menunjukkan hampir pukul setengah 11 malam. Rombongan di saung pun berpindah ke punden yang konon, pada masa lalu dipakai untuk melihat rasi bintang. Pergerakan rasi bintang pada zaman dahulu dimanfaatkan masyarakat untuk menentukan musim, kapan mulai tanam, kapan panen, dan sejenisnya. Nah yang menarik, musim tanam di tiap wilayah konon pada zaman dahulu tidak dimulai serentak dan tidak seragam pula jenis tanamannya.
Suasana langit yang mendung sempat menciutkan niat kami. Komikus Wahyu Sugianto yang memboyong keluarganya (ceritanya piknik nich) harus menyerah dan turun terlebih dahulu menuju penginapan. Saya, bu Mila, Alfi, dan teman-teman lain memutuskan menunggu sampai bintang muncul di langit. Benar saja, tepat jam 12 malam bintang-bintang pun mulai tampak terlihat. Saya dan bu Ellen yang membawa kamera DSLR tidak melewatkan kesempatan ini untuk memotret indahnya bintang di langit. Kapan lagi bisa menikmati cahaya bintang malam tanpa terganggu polusi cahaya di kota?
Sayangnya pak Suhardja D. Wiramihardja, astronom yang seharusnya memandu kami datang agak terlambat. Saya memutuskan kembali ke penginapan tepat ketika teleskop beliau sedang disiapkan. Apa boleh buat, kurang tidur!
Hai Matahari Terbit!
Tidur pukul 1 pagi, saya terbangun pukul 5 pagi. Setelah shalat Subuh, saya bersama keluarga pak Wahyu pun menuju puncak sekali lagi demi mendapatkan matahari terbit. Pemandangannya wow banget deh! Terlihat pula wajah kuyel teman-teman yang memutuskan untuk menginap di puncak sampai matahari benar-benar terbit.
Seketika apa yang remang-remang saat saya lihat kemarin menjadi terang benderang. Setelah matahari terbit, saya mengamati dengan seksama cerita peninggalan dari peradaban tingkat tinggi yang pernah ada di situs ini.
Nah, tangga aslinya ya yang ini…
Seperti yang terlihat, batu-batu yang menyusun relik ini ukurannya tidak jauh berbeda. Susunannya pun rapi dan kita bisa melihat ada batu tegak yang menandakan bahwa itu adalah “pintu masuk.” Sedangkan “gundukan” yang kini ditumbuhi pohon rindang diyakini dahulu adalah tempat stupa yang dipakai untuk beribadah.
Di sini juga ada batu yang bisa berbunyi seperti gamelan. Kalau diketuk, bakal mengeluarkan bunyi ritmis yang bermelodi (halah). Menurut penjelasan yang saya dapat, batu ini memiliki kadar besi sekitar 35 sampai 50 persen. Maaf kami bandel meski sudah ada tulisan “dilarang memukul batu.”

Tak terasa waktu sudah berlalu 4 jam dan tibalah saatnya kembali ke penginapan. Ngantuk! Tetapi sebelum turun, saya berkesempatan mencicipi air segar yang rasanya lebih enak dari akua-akua botol. Tanpa dimasak, akhirnya saya pun paham mengapa orang Jepang bisa dengan mudah mengatakan, “mizu wa oishii” (airnya enak loh.) Memang enak!
Sebelum pulang, saya berkesempatan menyaksikan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Eko dan rekan-rekannya dari komunitas Sahabat Gunung Padang. Mereka membawakan Asmarandana. Saya bersyukur bisa menikmatinya, ah tak sia-sia saya belajar bahasa Sunda dahulu.
Pukul 1 siang, rombongan kami pun pulang meninggalkan Gunung Padang. Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan banyak orang yang menuju arah situs ini untuk menghabiskan akhir pekan. Yah, berjarak sekitar 20 kilometer dari jalan Cianjur-Sukabumi dan tidak ada sinyal 3G kecuali dari operator tertentu, boleh jadi Gunung Padang-lah satu-satunya pusat rekreasi yang bisa dikunjungi masyarakat setempat.
Dalam perjalanan pulang, saya masih menghela nafas sembari berpikir, “kalau sampai produser Star Wars saja melirik Gunung Padang, alangkah beribu sayang kalau tempat ini tidak dikelola dan dilestarikan dengan baik.”
KAORI Newsline | oleh Kevin W | Terima kasih kepada TTRM, Gen Kreatif, PPKB Universitas Indonesia, dan komunitas Sahabat Gunung Padang.
Hahahaaa… keren Vin!
Kevin,
Thanks buat ulasannya.
Menarik sekali cara tuturnya.
Ini adalah tulisan pertama yang menyampaikan paket lengkap: arsitektur, arkeologi, sejarah, geologi, astronomi, ekologi, budaya, kesenian, rasa & warna, persahabatan, dan cinta bangsa. 😀
Mudah2an bisa kita lakukan lagi di masa yang akan datang