“Sadatang aing ka Puncak, deuk di na mungkal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia nénjo gunung: itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan.” –Naskah Bujangga Manik–
Sejak beberapa bulan lalu saya memang sudah mendengar isu-isu seputar Gunung Padang. Tempat yang lokasinya di wilayah kabupaten Cianjur (meski entah mengapa malah lebih dekat ke Sukabumi) ini konon menyimpan sebuah misteri yang saking besarnya, bisa menggoyangkan asumsi mengenai perkembangan peradaban prasejarah ini. Sekelas SBY pun sudah pernah ke sini. Tapi dasar orang tidak suka hal-hal berbau antropologi dan arkeologi, saya tidak tertarik sampai dua minggu lalu undangan datang ke saya.
Menerima undangan ke Gunung Padang? Kapan lagi! Terlebih memang transportasi ke sana cukup sulit sehingga tawaran mengunjungi tempat seperti ini pun bisa jadi tidak akan terulang dua kali seumur hidup saya.
Gunung Padang tampak dari bukit Pasir Pagar
Perjalanan Melelahkan ke Pusat Peradaban
[contextly_sidebar id=”DW7HrNd9lAMqaVN5hentMiMK5W8rUggr”]
Kalau berbicara nama “Gunung Padang,” di Jawa Barat ada tiga lokasi situs megalitik seperti ini. Rupanya ini nama generik karena arti Gunung Padang menurut salah satu pakar bahasa Sunda yang ikut bersama kami lebih tepat diartikan sebagai “daerah/lahan,” yang mana gejala bahasa ini tersebar luas pula sampai ke daerah Lampung dan Sumatera Selatan. Ingat, sebutan “Gunung Padang” pun lahir dari istilah masyarakat sekitar karena belum ditemukan adanya dokumentasi bagaimana tempat ini disebut dahulu (dahulu di sini maksudnya pada masa prasejarah.) Oh ya, Gunung Padang yang dikunjungi ini yang di Cianjur dan mudah-mudahan kalau ada kesempatan, saya juga ingin ke dua Gunung Padang yang lain.
Kegiatan “Lacak Gunung Padang” ini digagas oleh TTRM (Tim Terpadu Riset Mandiri) yang merupakan kelompok riset dengan orang-orang lintas disiplin ilmu. Kami dipandu oleh mas Chaedar Saleh, “penunggu” yang sebetulnya dari disiplin ilmu arsitektur namun ternyata tertarik dan mendalami kegiatan riset di Gunung Padang ini. Bersama saya, rombongan Gen Kreatif yang mewadahi pekerja kreatif komik, animasi, dan gim, peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya universitas Indonesia (PPKB FIB UI), dan didampingi pula oleh komunitas Sahabat Gunung Padang yang mewadahi pemuda-pemudi di daerah sekitar situs tersebut. Plus ada bule asal Belanda Arjan Onderdenwijngaard yang juga tertarik melakukan penelitian di situs ini.
Perjalanan ke TKP tentu tidak mudah, terlebih rombongan dari Jakarta berangkat terlambat satu jam dari jadwal dan berangkat pada libur 1 Muharram lalu. Perjalanan yang normalnya 3-4 jam molor menjadi 6 jam. Oh ya, tempat ini berjarak sekitar 5 km dari stasiun Lampegan dengan papan penanda ketinggian +652m. Dari Lampegan menuju Gunung Padang berjarak sekitar 5km dengan kontur jalan yang menanjak sehingga saya memperkirakan ketinggian di Gunung Padang mungkin sekitar +900m.
Pak Chalid sedang menjelaskan tentang karaktetistik bukit di daerah ini.
Sampai di TKP, waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang dan rombongan kami menjadi rombongan yang paling akhir datang. Setelah sekitar satu jam rehat makan siang dan perkenalan dengan tim pemandu, kami menuju ke bukit Pasir Pagar yang terletak di seberang Gunung Padang. Bukit yang literally sudah masuk ke wilayah kab. Sukabumi ini rupanya menawarkan pemandangan mengenai situasi Gunung Padang. Di sini, pak Pon Purajatnika memberi rombongan banyak penjelasan pembuka mengenai lapisan tanah, batuan, dan kontur di wilayah sekitar situs yang diperkirakan berumur sekitar 10 ribu tahun. Banyak batuan basaltis andesit yang bisa ditemukan di sini dan menariknya, Gunung Padang ini oleh masyarakat zaman dahulu, dibangun menghadap ke arah Gunung Gede yang memiliki kedudukan spesial dalam kebudayaan Sunda Pajajaran saat itu.
“Kerajaan Pajajaran itu cinta damai, makanya kan senjatanya pun kecil. Cukup pakai kujang yang pendek-pendek saja,” ucap pak Pon.
Saat saya mengikuti rombongan, awalnya saya pikir tidak ada hal menarik tapi percayalah, siapapun yang hendak berkunjung ke Gunung Padang sebaiknya mampir ke sini.
Gak-gak-gak kuat, gak-gak-gak kuat!
Mendaki 700 Anak Tangga Menuju Langit
Dari bukit di seberang Gunung Padang, kami mengecek tempat penginapan. Tim pemandu sudah menyiapkan penginapan di rumah penduduk lokal yang dengan baik dan harga murah memberi kami penginapan. Ada lho yang memilih menginap di puncak, ini kesempatan sangat berharga karena normalnya pengunjung umum sudah tidak diizinkan berada di puncak setelah pukul 18.00. Tapi mengingat saya yang kurang tidur sebelumnya, terpaksa kesempatan ini saya lewatkan.
Tibalah saat menaiki “gunung”. Memang lebih mudah dari naik gunung, pun saya biasa jogging sekitar 500 meter setiap harinya. Tetap saja perasaan ini bergetar saat mendengar bisikan harus menapaki 700 anak tangga, curam-curam pula. Saya perkirakan kemiringannya pun sekitar 35 derajat, cukup terjal apalagi bagi banyak rekan lain yang sudah cukup berumur. Kondisi hujan juga membuat saya was-was, bakal terpeleset tidak ya karena jalan di sekitar pos masuk sebagian masih belum diaspal. Diperlukan waktu sekitar 25 menit bagi saya dan sekitar satu jam bagi ibu Lina yang notabene memang berbodi besar.
Sesampai di atas, kami masih sempat mendapatkan pemandangan matahari terbenam yang memang bagus bangets. Tujuh ratus anak tangga yang harus didaki memang membuat nafas kami terengah-engah namun pemandangannya benar-benar sangat sepadan.
Tidak berapa lama, hujan pun turun. Di deretan batu bintang telah ada beberapa orang dari aliran kepercayaan lokal yang sedang melaksanakan ritualnya. Hujan deras dan angin yang kencang membuat saya tidak mampu mendekat untuk mengambil fotonya. Sayang, hujan baru reda beberapa menit setelah ritual ini berhenti.
Pukul setengah delapan malam, beberapa orang berpencar. Saya bersama ibu Ida Mursidah (PPKB UI) dan ibu Mila (FISIP UI) berdiskusi di saung dengan penerangan lilin dan membicarakan banyak hal bersama pak Chaedar, pak Danny Hilman, dan pak Yusuf Maulana. Kami mendapatkan banyak hal yang walau masih harus dibuktikan secara ilmiah, tapi alangkah sayang beribu sayang kalau info semenarik ini harus menunggu peer review yang panjang dan lama. Keburu basi!
KAORI Newsline | oleh Kevin W | Simak bagian kedua laporan ini di sini