Meskipun Jepang mengalami kemajuan teknologi informasi pesat, peran surat kabar di Jepang masih sangat kuat – berlawanan dengan tren penurunan yang terjadi di negara maju lain -. Apa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Jepang terus melawan tren penurunan oplah surat kabar, hal yang umum terjadi di negara maju lain.
Sirkulasi surat kabar tetap tinggi di Jepang yang berteknologi tinggi – dan satu penerbit bahkan kembali ke cara gaya abad pertengahan untuk memastikan surat kabar mereka menjangkau pembaca.
Saat tsunami menghantam Jepang pada Maret 2011, menyebabkan 19.000 korban tewas atau hilang dan memicu bencana PLTN Fukushima, ia juga mempengaruhi koran Ishinomaki Hibi Shimbun.
Surat kabar beroplah 14.000 ekslempar tersebut mendapatkan berita terbesar dalam 100 tahunnya berkiprah, namun tak dapat mencetak.
Maka, jurnalis mereka melakukan apa yang dahulu dilakukan pendeta Eropa dengan Alkitab, dengan menyalin laporan mereka secara manual.
Ia salah satu contoh kedekatan hubungan yang berlangsung antara surat kabar dengan pembaca, yang telah lama hilang di Barat.
Media cetak Jepang tidak terlalu parah mengalami imbas yang disebabkan oleh media baru, menurut sejumlah pakar.
"Kami melakukan rapat dengan para staf malam itu untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan," tutur Hiroyuki Takeuchi, redaktur umum surat kabar Ishinomaki.
"Kami setuju bahwa surat kabar apapun akan kehilangan esensinya bila ia menyerah memberikan layanan saat komunitasnya dalam krisis."
Pendekatan kembali ke dasar ini merupakan ide Koichi Ohmi, manajer harian dan seorang kolumnis.
Mengais kertas-kertas dari mesin pencetak yang tak berfungsi, para staf mengambil pulpen dan menuliskan apa yang sangat dibutuhkan oleh para korban selamat – status tiap-tiap distrik, jadwal bantuan, dan informasi layanan medis.
Saat jaringan distribusi mereka lumpuh dan tiada kendaraan tersedia, para reporter berjalan menuju pusat evakuasi di mana korban yang kehilangan rumah mengungsi, dan menempel publikasi mereka.
Salah satu korban selamat, Yukie Yamada, menuturkan, "Semua orang di tempat pengungsian berkumpul menuju kertas dinding setiap hari… surat kabar memberikan informasi tentang apa yang benar-benar kami butuhkan."
Kertas dinding diantarkan selama enam hari, sampai listrik berhasil pulih dan para jurnalis dapat memproduksi kopi dengan pencetak komputer standar.
Takeuchi menuturkan, "Surat kabar kami diterbitkan oleh korban untuk korban. Bagaimanapun, kami harus menginformasikan komunitas kami. Ini adalah misi sosial saat terjadi gangguan bencana."
Menurut Asosiasi Surat Kabar Dunia, Jepang memiliki penetrasi surat kabar tertinggi kedua di dunia, dengan jumlah pembaca surat kabar mencapai 92% populasi, di belakang Islandia.
Jepang memiliki tiga buah surat kabar terlaris harian dunia, dipimpin oleh Yomiuri Shimbun, yang mengklaim sirkulasi 13,5 juta ekslempar per hari.
Edisi paginya juga terjual lebih banyak dari gabungan jumlah seluruh surat kabar nasional Britania.
Surat kabar adalah bacaan standar bagi orang Jepang dalam keseharian mereka menggunakan kereta komuter ke dan dari tempat kerja, dalam sebuah masyarakat yang sangat menghargai pendidikan dan pengetahuan.
Mitsushi Akao, dosen jurnalisme di Universitas Meiji, menyatakan koran tidak terlalu tertantang dengan keberadaan situs berita Internet yang belum terlalu berkembang.
"Surat kabar menjaga kepercayaan publik yang tinggi… Sebagian besar orang muda memperoleh informasi melalui internet, namun sumbernya seringkali berasal dari surat kabar."
Tsutomu Kanayama, profesor studi media di Universitas Ritsumeikan di Kyoto, melihat model bisnis surat kabar di Jepang yang berbeda dari apa yang ada di negara maju lain.
"Surat kabar Jepang bertumpu pada sistem pengantaran ke rumah yang solid, yang sejak lama mencakup seluruh negeri."
Namun Kanayama percaya apa yang terjadi terhadap surat kabar di Amerika Serikat dan Britania akan segera terjadi di Jepang, cepat atau lambat.
"Akan tiba masa yang berat bagi industri ini," tuturnya.
KAORI Newsline | via Guardian | gambar dari Editors Weblog