Pada tanggal 4 Oktober 2013, Duniaku Checkpoint telah menyelenggarakan kegiatan diskusi dan berbagi pengalaman dari acara Tokyo Game Show (TGS 2013) 19-22 September 2013 lalu.
Bertempat di kampus Binus Anggrek, Jakarta, dalam diskusi yang dipandu oleh Ami Raditya ini, hadir sejumlah tokoh dari industri game lokal seperti Dien Wong (Altermyth), Indra Gunawan (Artoncode), Anton Soeharyo (Touchten), dan Arief Widhiyasa (Agate Studio).
Meski masing-masing memiliki berbagai kepentingan di Indonesia, namun saat menghadiri acara TGS, mereka bersatu membawa nama dan kepentingan bangsa Indonesia khususnya mewakili industri kreatif.
Salah satu poin yang dibahas dalam diskusi ini adalah kesuksesan ide-ide hasil industri game lokal dalam menembus pasar ASEAN. Dalam diskusi ini juga dibahas bagaimana tips bagi mahasiswa yang berminat terjun ke industri game setelah lulus.
Adapun Dien Wong secara khusus di sesi tanya jawab, membahas masalah daya beli masyarakat Indonesia untuk game-game buatan lokal seperti game pada platform ponsel (Android/iOS).
“Masyarakat Indonesia saya kira suka dengan prinsip “coba dahulu”. Kami menyediakan free test, disukai orang, dan tidak hanya sebatas disukai dan dibeli saja, mereka juga rela mengeluarkan uang banyak untuk game tersebut,” seraya membandingkan dengan fenomena Ragnarok dahulu dan game online yang berkembang saat ini.
Arief Widhiyasa membahas mengenai Sengoku IXA dan keberhasilan Agate Studio bekerja sama dengan Square Enix, tidak hanya pada tahap lokalisasi semata namun juga transfer teknologi dan keahlian kepada industri game lokal.
Menurutnya, SEGA melihat Mario dan Luigi punya citra lambat, sehingga mereka berpikir keras mendesain sebuah karakter yang punya persepsi gesit dan lincah dalam selayang pandang. SEGA memilih warna biru untuk Sonic karena mereka tidak mungkin memakai warna merah dan hijau, itu sudah identik dengan karakter yang ingin dilawan.
“Ada banyak sekali pertimbangan dengan alasan yang logis di balik perencanaan sebuah proyek.”
Anton Soeharyo menempatkan porsi antara nasionalisme dengan unsur komersil dalam pengembangan suatu game.
“Sama seperti orang Indonesia disuruh main game yang temanya Afrika Selatan. Kalau faktornya tidak cukup kuat, sebaiknya jangan memaksakan diri.”
Sebagai kesimpulan, mereka berempat melihat banyaknya SDM bertalenta yang sayangnya tidak diimbangi dengan manajemen yang mumpuni, seperti industri film yang punya banyak aktor handal namun tidak cukup punya penulis cerita dan sutradara.
Selain itu, menurut mereka sudah saatnya pihak-pihak yang ingin berkecimpung dalam industri game, agar tidak sekadar menganggap game sebagai karya seni artistik semata, namun harus diimbangi pula dengan kepekaan terhadap pasar yang akan dituju. Tentunya tidak lupa pula merencanakan business plan dan target pencapaian sejak dini.
“Jadi tidak asal lagi karakternya warna ijo karena saya pingin, ceritanya begini, temanya begini.”
KAORI Newsline | Ilustrasi gambar: Duniaku
kalau tdk salah ada pernah sy lihat di youtube salah satu komentator game terkenal Pewdiepie pernah review game buatan indonesia salut dah bisa sampai di mainkan sama Pewdiepie sy lupa judul gamenya tapi buatan indonesia
loh kog divine kids gak ikutan #eh