Industri hiburan Indonesia kini kembali dihangatkan dengan kontroversi acara YKS (Yuk Keep Smile). Trans Corp selaku produser acara sebelumnya juga menjadi perbincangan saat menggagas OVJ (Opera Van Java), B4M (Bukan 4 Mata yang dahulu namanya Empat Mata), dan kalau ditelisik balik, kontroversi Trans sudah ada sejak acara Extravaganza disiarkan.
Berbagai kecaman terhadap YKS dikirimkan dengan alasan dan alibi yang mirip sebagaimana orang mengecam OVJ, B4M, atau Extravaganza: tidak mendidik, tidak berkualitas, dan merusak anak-anak.
Namun di sisi lain, kecenderungan munculnya acara-acara yang diiringi keluhan seperti ini bukan fenomena di Indonesia semata. Bahkan boleh dibilang, dengan adanya globalisasi, manusia di seluruh dunia sejatinya semakin menafikan penalaran dan pemaknaan dalam mengonsumsi hiburan.
Hiroki Azuma dalam bukunya, Otaku: Japan’s Database Animal, menyebut pola konsumsi pada zaman globalisasi ini tak ubahnya seperti binatang.
Tekanan Komersial
World in Action adalah acara investigatif milik stasiun televisi Inggris, ITV. Acara ini menyajikan ulasan-ulasan kritis di Inggris dengan pendekatan yang agak nyeleneh, mencampurkan antara acara lawak politik dengan Sigi-nya SCTV.
Ditayangkan sejak 1963, World in Action harus mengakhiri kiprahnya pada 1998, memulai debut pada waktu Inggris hanya memiliki 2 televisi nasional dan pada akhir hayatnya, berhadapan dengan kenyataan munculnya internet, televisi digital multikanal, dan persaingan dari media hiburan lain.
Pada pertengahan 1990-an, stasiun televisi teresterial (BBC, ITV, Channel 4) memiliki kewajiban pelayanan publik (PSO) selama beberapa jam setiap minggu untuk menyiarkan program yang berorientasi kepentingan publik. Penayangan program-program ini – memang bagus kualitasnya, namun tidak selaku acara hiburan – menggerogoti pemirsa tiga televisi ini, yang menemukan alternatif baru, televisi berbayar.
Sky (milik Rupert Murdoch) sebagai satu-satunya perusahaan TV berbayar via satelit di Inggris tidak diwajibkan sama sekali untuk menyediakan layanan PSO, menimbulkan keirian dari lembaga penyiaran teresterial.
BBC, suka tidak suka, menayangkan sinetron pada jam prime time, meninggalkan ITV yang terus ditekan oleh pengiklan dan manajemen agar memindahkan World in Action dari slot pukul 20.30 malam.
Keuangan ITV yang berdarah-darah pada akhir 1990-an menyebabkan World in Action berhenti tayang tahun 1998. Sejak saat itu, televisi Inggris mulai kehilangan jurnalis-jurnalis handal, di mana jurnalis handal pada masa itu kebanyakan memulai debutnya dalam acara World in Action.
“Sejumlah kekuatan di televisi kita memproduksi makanan sampah (junk food, Red), kita juga punya koran sampah, dan kekuatan yang sama juga memproduksi (acara) televisi sampah,” kritik R.A. Fitzwalter pada awal tahun 1997.
Fenomena Universal
Kepentingan komersial yang semakin menjadi dalam pengerjaan karya di industri hiburan, toh tidak lepas pula dari industri anime di Jepang.
Situs emptyblue.it misalnya, menulis Rosario & Vampire sebagai anime fanservice terbaik tahun 2008. Dilansir dalam situs tersebut, “secara teknis, nyaris tanpa plot.”
Seri anime ini, menurut sang situs, didedikasikan khusus untuk menghibur mereka yang mencari fanservice berkualitas. Plot utamanya adalah fanservice itu sendiri dan bagi sang pengulas, “suksesnya” seri ini memenuhi ekspetasi sang pengulas, mendorongnya untuk membeli keping original seri ini.
Kalau kita mau melompat ke hari ini, Sword Art Online pun menarik dibahas. Situs MDZ Anime Blog mencoba mengangkat SAO dari sisi “sukses karena cerita dan fanservice, bukan karena fanservice belaka.”
Poin menariknya, situs ini menyoroti pola komersial “onii-chan dan ecchi” yang diangkat oleh anime lain dan dijadikan bahan jualan, sedangkan SAO berhasil membawa plot (seseorang yang bermain online game) dan berhasil mengomunikasikan fanservice tersebut tanpa mengganggu alur cerita secara umum.
Lebih dalam, ada logika berpikir yang ia angkat di sini: jangan berharap rasanya enak kalau kamu minum asam laknat yang tulisannya jelas-jelas tidak enak.
Tapi toh, kalau memang mau mengkritik mengenai fanservice, bukankah Fushigi Yugi sudah mengenalkannya bahkan saat seri ini tayang di TPI?
Indonesia dalam waktu dekat akan menghadapi transisi ke penyiaran teresterial digital. Itu berarti akan tiba masa saluran multi kanal di mana kalau satu slot UHF biasanya hanya diisi satu saluran saja, pada era digital nanti satu slot UHF bisa diisi sampai 12 saluran dengan teknologi multipleks.
Dalam derasnya persaingan industri hiburan di Indonesia (ada 12 kanal nasional analog saat ini dan mungkin akan mengembang lima kali lipat setelah pindah ke digital), konsumen akan dihadapkan pada berbagai macam pilihan.
Bila tidak menyukai, misalnya, acara-acara Trans atau kanal-kanal sinetron MNC, konsumen akan punya lebih banyak pilihan di masa mendatang.
Masalahnya kini, “pilihan seperti apa?” atau “konsumen yang mana”.
Kecuali pemerintah mau mengguyur uang ratusan miliar, selama itu pula pelaku usaha akan memandang pasar dari segi bisnis.
Trans 7 adalah contoh yang sangat mahal di mana televisi dengan program dan konsep acara yang “bagus” menurut “konsumen” pada kenyataannya rugi 1 triliun rupiah selama lima tahun beroperasi (sewaktu namanya masih TV7 dan diasuh oleh Kompas), sebelum dibeli oleh Trans Corp. Berarti, setiap tahun TV7 membakar 200 miliar rupiah atau membakar 500 juta rupiah setiap hari.
Kalau kita mau mencermati, televisi-televisi dengan program yang “diminati masyarakat”-lah yang tetap bertahan sampai hari ini. Seperti RCTI atau SCTV dengan konsistensinya menyajikan sinetron pada jam tayang utama.
Maka mau diledek dan dicerca seperti apapun, televisi-televisi ini akan konsisten menayangkan sinetron. Toh, kalangan yang tidak suka sinetron pun biasanya akan move on ke saluran TV berbayar yang biasanya juga menyajikan sinetron atau film asing “berkualitas”, bukan acara pendidikan.
Logikanya kalau memang “masyarakat” tidak membutuhkan acara seperti YKS atau anime dengan banyak fanservice, tayangan tersebut tidak akan laku dan tentu saja akan hilang dengan sendirinya. Televisi “berkualitas” akan laku dan televisi sinetron akan tumbang sebagaimana tumbangnya TV7.
Sayangnya, saya yang menulis ini pun masih menyukai lagu-lagu dangdut dan menonton goyang oplosan YKS sambil main KanColle, memutar Savior of Song dan Eternal Reality saat naik kereta dan menonton Chuunibyou via internet.
Berapa banyak dari kita yang jujur, tidak munafik, melakukan penalaran saat mengonsumsi hiburan? Atau kritik-kritik itu cuma sekadar kritik oplosan agar tenar karena berbeda, sebagaimana pengamat yang mendadak populer saat mengkritik Jokowi-Ahok?
KEVIN WILYAN, Editor in Chief KAORI Newsline. Opini yang dimuat tidak mewakili kebijakan editorial KAORI. Dimuat sebelumnya di sini.
tulisan bagus ini, rasanya agak aneh juga kalau beberapa “kritikus” ingin televisi indonesia menayangkan acara yang sesuai dengan niche mereka tanpa memikirkan bagaimana besarnya pengeluaran operasional televisi dan apa yang harus mereka lakukan untuk menutupi pengeluaran itu.
mungkin para “kritikus” itu tidak mengerti asiknya nonton YKS atau acara semacamnya rame-rame dengan teman-teman lain. :))
pernyataan ane tentang ini seh.. malah kembali ke sini…:
http://pandji.com/lets-move-it/
semakin bobrokkah bangsaku ini? tidak tau lagi mana yang benar dan salah
http://www.kaskus.co.id/thread/52f61707fdca17c66e8b4608