Miwa Moriya masih berumur 6 tahun ketika diajak untuk mengunjungi sebuah pesta perayaan Natal oleh pekerja sosial. Namun “pesta” tersebut ternyata adalah pengalaman hidup selama 8 tahun bersama 60 anak lainnya di kota kecil, jauh dari ibunya. Sebuah pengalaman penuh rasa kesepian, perundungan, dan trauma. Ia tak pernah tahu kapan akan pulang. Pemerintah Jepang sendiri menganggap bahwa hidup Miwa akan lebih baik ketimbang bersama keluarganya
Jepang sendiri memang merupakan negara yang menempatkan anak-anak yang mengalami kekerasan, KDRT, penelantaran, atau tak bisa hidup bersama orang tua karena suatu alasan dalam sebuah panti sosial. Setidaknya 80% dari 38000 anak-anak yang bernasib malang tinggal di panti sosial tersebut, di mana 1 dari 7 anak tersebut menghabiskan hidupnya selama lebih dari 1 dekade di panti sosial, bertentangan dengan pedoman PBB yang menyebut bahwa anak-anak selayaknya tumbuh bersama keluarga.
Pemerintah Jepang sendiri juga tengah membawa masalah perlindungan anak ini ke legislatif setelah meningkatnya jumlah kasus penganiayaan terhadap anak-anak, bahkan ada yang berujung kematian. Setidaknya pada musim panas lalu, pemerintah telah menargetkan setidaknya sepertiga anak usia prasekolah perlu “diungsikan” ke panti sosial selama 7 tahun, dan menaikkan angka adopsi.
Ratusan panti sosial telah berdiri sejak akhir Perang Dunia 2 untuk menampung anak-anak jalanan korban perang. Kini setidaknya ada 600 panti sosial perlindungan anak yang beroperasi. Banyak dari panti sosial tersebut, biasanya menampung 20 anak asuh atau lebih, telah menolong banyak anak. Namun panti-panti sosial tersebut terbukti tidak selamanya benar-benar merawat anak asuhnya dengan baik. Berdasarkan penelitian dari pemerintah, setidaknya ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa sejumlah anak asuh.
“Semua orang bilang, ‘anak-anak sangat penting,’ itu semua bohong,” kata Yasuhisa Shiozaki kepada kantor berita Reuters, seorang anggota parlemen yang getol membela kesejahteraan dan perlindungan anak. “Anak-anak kerapkali dikesampingkan demi kepentingan orang dewasa. Itu semua harus dirubah.”
Tiada Pilihan
Miwa, kini 23 tahun, menyebut bahwa ketika ia dibawa untuk pertama kalinya ke panti sosial bernama Kobato Gakuen yang terletak di prefektur Wakayama, ia selalu menangis sepanjang hari, merindukan ibunya. Namun pada akhirnya iapun berhenti menangis saat menyadari bahwa ia tak akan bisa pulang dengan tangisannya itu. “Itu membuat para staff berpikir bahwa anak-anak telah beradaptasi, namun mereka salah,” akunya.
Miwa sendiri mengaku bahwa beberapa staff memang cukup baik. Namun banyak anak-anak asuh yang hidup di tengah-tengah ketakutan akan perundungan, hingga peraturan panti yang terlalu ketat dan tidak ramah anak. “Kau takkan bisa keluar,” kata Miwa.
Dalam keadaan seperti itu, anak-anak asuh bisa saja mengalami gejala yang disebut sebagai Developmental Trauma Disorder, kata Satoru Nishizawa, ahli psikologis yang sudah menangani anak-anak panti selama 40 tahun.
“Anak-anak tidak merasa terlindungi dan aman,” aku Nishizawa. Gejala tersebut bisa mengganggu kesadaran, bahkan memicu kemarahan karena hal-hal yang sepele. Untuk meredam gejala tersebut, mereka bisa saja melukai diri sendiri.
Tak Bisa Tidur
Miwa memiliki gejala seperti yang disebutkan. Ia kerapkali berganti nomor telepon untuk menghindari kenalannya, atau malah menghancurkan barang-barang di sekitarnya. Luka di tangannya seolah menjadi bukti akan upayanya melukai diri sendiri.
Meskipun begitu, Miwa masih menganggap dirinya cukup beruntung di Kobato Gakuen. Tidak seperti rekannya yang lain, ia masih bisa melewatkan akhir pekan dan libur panjang bersama ibunya. Banyak anak asuh yang tidak sebertuntung Miwa, bahkan ada yang tak pernah melihat ibunya kembali. Miwa sendiri mengaku tak pernah tahu mengapa ia harus tinggal di Kobato Gakuen, dan hampir tak pernah menanyakan hal itu. Ibunya sendiri menyebut bahwa pekerja sosial telah meyakinkan dirinya bahwa Miwa akan lebih baik berada di panti sosial. Apalagi sang ibu juga telah gagal mendaftarkan Miwa untuk masuk SD.
Di bulan Februari 2019 lalu, Miwa sempat meminta data-data untuk lebih memahami kasus yang dihadapinya. Setidaknya data setebal 276 halaman yang tersedia, menggambarkan bagaimana ibunya berupaya mencari pihak yang bisa merawat Miwa, sementara sang ibu sendiri sibuk mencari kerja. Dalam data tersebut terungkap bahwa pihak pekerja sosial juga tidak terburu-buru dalam mempertemukan kembali Miwa dengan sang ibu. Malah dalam data tersebut, kondisi psikologis Miwa semasa muda tidak terlalu banyak disebut.
Di tahun 2008 lalu, Miwa sempat mengalami kesulitan tidur di malam hari. Belakangan dokter mendiagnosa Miwa terkena Pervasive Developmental Disorder, yang ditandai dengan kurangnya keterampilan untuk bersosialisasi. Miwa sendiri akhirnya dikembalikan ke orang tuanya saat berumur 15 tahun.
Patologi Sosial
Berdasarkan survey dari pemerintah, saat anak meninggalkan panti sosial dan memasuki “dunia nyata” di umur 18 tahun, mereka menghadapi rasa kesepian dan masalah finansial. Hanya sepertiga dari mereka yang berhasil memasuki universitas, sementara 80% lainnya hanya lulusan SMA. Hal ini menimbulkan permasalah lainnya, di mana banyak dari mereka yang sulit mendapat pekerjaan, bahkan menjadi tunawisma.
Pemerintah Jepang sendiri tengah berupaya untuk merumuskan sistem alternatif berbasis keluarga. Hal ini termasuk merekrut lebih banyak orang tua asuh. “Kami sudah punya undang-undangnya,” kata Shiozaki yang turut terlibat dalam revisi undang-undang kesejahteraan anak yang menekankan bahwa anak juga punya hak, bukan cuma orang tua. “Kini masalahnya adalah bagaimana mengimplementasikannya, dan memastikan semuanya berjalan dengan baik.”
Tentu saja hal itu tidaklah mudah. Setidaknya selama 2 dekade terakhir, Jepang mengalami kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak hingga 10 kali lipat. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat Jepang mampu melindungi generasi muda mereka, terutama yang rentan terhadap kekerasan. “Sejujurnya, saya heran mengapa pemerintah bereaksi sangat lambat,” aku Norihisa Kuwahara yang juga merupakan ketua dewan panti asuhan nasional.
Kuwahara mengaku dirinya sama sekali tidak menentang perawatan anak berbasis keluarga. Namun sebagai orang yang sudah malang melintang selama 50 tahun di panti asuhan dan perlindungan anak, ia paham akan sulitnya menangani anak-anak korban kekerasan dengan luka psikologis yang kompleks, dan jumlahnya terus bertambah.
KAORI Newsline | Diterjemahkan dari artikel yang ditulis Chang-Ran Kim dan Gerry Doyle, yang dimuat oleh Reuters