Esu: Shoujo x Shoujo dalam Media
Demi mengampanyekan wacana esu serta mendidik para gadis agar dapat menjadi ryousai kenbo, diterbitkanlah majalah-majalah serta novel yang sengaja menyasar para gadis dan identik dengan bunga lily putih—yang juga identik dengan lambang sekolah misionaris. Majalah serta novel yang ditujukan para gadis inilah yang kemudian menjadi salah satu pilar di balik berdirinya shoujo bunka atau budaya shoujo di dekade 1910-1937 selain pentas Takarazuka Revue. Konten majalah shoujo bermacam-macam. Dari artikel pendidikan, esai, sesi tanya-jawab dengan redaksi, hingga konten yang paling digemari oleh para gadis: novel bersambung dan cerita pendek yang menggunakan trope (pakem cerita) esu. Saking digandrunginya, novel dan cerpen bahkan sering menjadi saluran bahan pembelajaran para gadis untuk mempraktekkannya selain digunakan untuk sebagai media hiburan. Novel-novel shoujo (shoujo shousetsu) inilah yang kelak menjadi onee-sama dari yuri kontemporer yang kita kenal saat ini karena kemiripan trope yang mereka miliki.

Dari berbagai macam novel shoujo yang beredar di zaman tersebut, ada dua judul yang sangat populer sehingga dicap sebagai pendiri genre ini. Pertama adalah Otome no Minato. Novel yang dikarang oleh Kawabata Yasunari dan Nakazato Tsuneko (sebagai ghost writer-nya) menggambarkan bagaimana praktek esu dijalankan. Misalnya, latar cerita ditempatkan dalam lingkungan homososial gadis sehingga karakter laki-laki hampir selalu absen. Dalam Otome no Minato pula, dijelaskan soal onee-sama yang diharuskan hanya memiliki satu imouto. Sehingga bila ada dua gadis yang dapat menjadi kandidat imouto, sang onee-sama harus memilih satu di antaranya dan sebaliknya. Esu juga diperlakukan sebagai hubungan yang spesial dan layaknya kisah romansa pada umumnya. Dalam novel ini, cinta segitiga tersebutlah yang menjadi sumber konflik utama ceritanya.
Selain Otome no Minato, Hana Monogatari yang dikarang oleh Yoshiya Nobuko juga menjadi karya yang paling populer dan dikaji untuk memahami esu dan “didapuk” menjadi pionir dari yuri dan esu (Maser, 2013). Yoshiya Nobuko sendiri mulai terkenal dengan ceritanya, “Suzuran”, di Majalah Shoujo Gahou. Dalam Hana monogatari, terdapat 52 cerita yang dikarang Yoshiya Nobuko dalam waktu yang sangat lama dari remaja hingga dewasa. Keseluruhan cerita memiliki karakter utama perempuan, sering berlatarkan sekolah keputrian, serta dikonstruksikan sebagai esu. Salah satu corak terpenting dari karya Yoshiya Nobuko adalah hubungan intim antarperempuan yang digambarkan dengan cantik, manis, kental akan ren’ai, penuh dengan narasi serta monolog emosi karakter, pembagian peran dominan serta submisif, dan alur cerita yang sangatlah melankolis dan melodrama (Maser, 2013). Gaya penulisan serta narasi yang dibawa Yoshiya Nobuko inilah yang kemudian dibudidayakan dalam yuri dewasa ini. Untuk beberapa tulisannya, Yoshiya Nobuko kadang tampil lebih “galak”. Wasurenagusa misalnya, cerita ini dibumbui soal empowerment perempuan dalam hubungan esu. Sementara, Yaneura no ni Shoujo menceritakan hubungan seksual antarperempuan secara eksplisit namun tetap dengan bahasa yang indah yang menjadi ciri khasnya (Shamoon, 2012).
Esu dan Yuri Kontemporer

Setelah tenggalam cukup lama saat perang dan pascaperang, hubungan antarperempuan dalam karya fiksi baru muncul lagi di 1970-an bersamaan dengan meledaknya genre shoujo dan ditandai dengan munculnya Shiroi Heya no Futari karya Ryoko Yamagishi. Hanya saja, kali ini hubungan esu mereka haruslah disembunyikan dan menjadi penanda bahwa adanya perubahan dalam masyarakat memandang hubungan antarperempuan (Maser, 2013). Barulah di dekade 1990-an, yuri secara sah lahir sebagai genre dengan membudidayakan esu.

Sistem esu dalam yuri kontemporer salah satunya adalah Maria-sama ga Mitteru (1997) yang kental akan esu-nya (dengan sistem sœur) (Maser, 2013). Selain itu, di tahun 2020 ini, sistem esu juga diaplikasikan dalam anime Assault Lily: Bouquet dengan sistem Schutzengel-nya—lagi-lagi dengan kata yang diawali huruf “s”. Hanya saja sistem Schutzengel ini tidak berhenti sebatas romansa saja, namun juga menggabungkan dengan trope “keselamatan dunia ada di tangan para gadis” (Sugawa-Shimada, 2019). Tujuan akademi para gadis dalam anime ini pun bukanlah untuk mencetak ryousei kenbo, namun untuk melawan monster. Uniknya, keduanya memberikan citra bahwa perempuan haruslah “disekolahkan” demi menjaga keselamatan bangsa bahkan dunia (Shamoon, 2012). Judul-judul episode dalam anime ini juga menggunakan nama bunga yang memiliki asosiasi dengan Hana monogatari seperti “Suzuran” (Lily of the Valley) (Episode 2) dan “Wasurenagusa” (Forget-me-not) (Episode 1).
Perkembangan zamanlah yang membuat yuri kemudian menjauh dari onee-sama-nya. Misalnya masuknya wacana dan narasi lesbian anti-patriarki abad 21 dalam cerita. Karakter pun kerap digambarkan sebagai lesbian secara utuh dan tidak hanya sebatas “belajar mencintai” saja. Penggambaran hubungan seksual pun kerap kali disajikan secara eksplisit sehingga mementahkan narasi hubungan platonik dalam esu. Yuri saat ini juga menjadi sebuah genre yang juga dapat dinikmati demografis laki-laki sehingga dapat memberikan celah bagi male gaze untuk masuk. Kadang yuri hanya diperalat sebagai bumbu untuk menarik audiens laki-laki dengan iming-iming objektifikasi terhadap dua perempuan sekaligus. Meski begitu, pada umumnya esensi yuri dan esu (terutama yang melodramatis) tetaplah sama: melindungi dunia tertutup para gadis yang rapuh, namun indah dan semurni konotasi bunga lily putih dalam bahasa bunga.
Referensi
- Maser, V. 2013. Beautiful and Innocent: Female Same-Sex Intimacy in the Japanese Yuri Genre. Thesis. Japanese Faculty of Universität Trier. Germany.
- Shamoon, D. M. 2012. Passionate Friendship. First Edition. University of Hawaii Press. US.
- “____________”. 2008. Situating the Shoujo in Shoujo Manga: Teenage Girls, Romance Comics, and Contemporary Japanese Culture. Dalam Japanese Visual Culture: Explorations in the World of Manga and Anime. Editor MacWilliams, M. W. First Edition. East Gate. NY. USA.
- Sugawa-Shimada, A. 2019. Shoujo in Anime: Beyond the Object of Men’s Desire. Dalam Shoujo Across Media: Exploring “Girl” Practices in Contemporary Japan. Editor Berndt, J., Nagaike, K., Ogi, F. Palgrave MacMillan. Switzerland.
Ditulis oleh Rizki Maulana A | Penulis adalah mahasiswa FISIPOL UGM dan hobi mengonsumsi anime serta manga. Jatuh cinta pada genre yuri sejak 2015-2016. Pernah dan sedang meneliti genre yuri. Selain yuri, pernah juga menulis paper dan artikel lain mengenai pop culture Jepang lainnya | Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca untuk menulis opini tentang dunia anime dan industri kreatif Indonesia. Opini ditulis minimal 500-1000 kata dalam bahasa Indonesia/Inggris dan kirim ke [email protected]