Tulisan ini bermula dari sebuah obrolan dengan teman daring saya di Facebook. Saya berkomentar di post Facebooknya tentang anime yang sedang tayang, Assault Lily Bouquet. Saya bercerita kalau anime ini memiliki kadar esu yang cukup kuat. Anehnya dia malah bertanya balik kepada saya apa itu esu, sehingga saya harus menjelaskan padanya. Setelah beberapa balasan dengannya dan juga dari teman lain, saya pun mendapatkan kesimpulan. Rupanya, esu yang saya ketahui sebagai cikal bakal yuri saja tidak banyak diketahui oleh para penggemar yuri itu sendiri (setidaknya yang saya temui di dalam negeri). Malah ada pula yang tak mengindahkan adanya plot esu yang sebenarnya telah bertahan selama seratus tahun ini—ya, seratus!—karena dianggap “ngelesbi kok setengah-setengah”. Karena itulah saya ingin menjelaskan sedikit apa itu esu yang sering ditahbiskan sebagai onee-sama bagi yuri kontemporer.
Esu: Shoujo x Shoujo
Esu atau beberapa sumber lain menyebutnya sebagai s kankei (Shamoon, 2008) secara harfiah terdiri dari “s” yang merupakan inisial kata sister atau “saudari” dalam Bahasa Inggris yang dipadukan dengan kata kankei yang berarti “hubungan”. Namun, hubungan persaudarian ini tidaklah kaku sebagai hubungan antara kakak dan adik kandung, namun merupakan hubungan intim platonik antarperempuan dalam sebuah lingkungan sekolah keputrian yang homososial dan jauh dari lawan jenis seumuran. Hubungan ini bukanlah sesuatu yang jarang ditemukan di era Meiji dan Taisho yang menjadi “era keemasan” esu. Hal ini dikarenakan banyak didirikannya sekolah keputrian di masa tersebut untuk melatih para shoujo (gadis) sebagai ryousai kenbo atau “istri yang baik, ibu yang bijak”, serta bagian dari misionaris Katolik di Jepang (Shamoon, 2012).
Dalam prakteknya, esu menempatkan dua perempuan dalam satu hubungan yang bak kakak-beradik atau persahabatan ini. Pada umumnya, esu memasangkan seorang senior dengan juniornya. Sang senior berperan sebagai pihak penjaga yang lebih dominan dan mengemban peran sebagai onee-sama (sang kakak), sementara juniornya menjadi sebagai imouto-nya (sang adik) yang harus dijaga (Shamoon, 2012; Maser, 2013). Dalam prakteknya, hanya onee-sama yang boleh memilih imouto-nya dan sulit untuk sebaliknya. Satu onee-sama hanya boleh memiliki satu imouto, begitu pula sebaliknya. Hubungan ini akan berakhir saat onee-sama telah lulus dari sekolah dan kemudian menjadi istri laki-laki yang dipilih oleh orang tua mereka (Shamoon, 2008). Imouto pun terbebas dari esu, namun dapat menjadi onee-sama di kesempatan lain. Selain itu hubungan ini terciri dari keidentikan antarpasangan, entah dari baju hingga potongan rambut.
Perlu dicatat bahwa esu jauh dari narasi lesbian yang berkembang di abad 21 (Shamoon, 2008). Hal ini dikarenakan esensi dari esu sendiri adalah membiasakan para gadis dengan hubungan spiritual (ren’ai) sehingga mereka tidak kaget saat kelak menjadi istri. Tujuan dari praktek esu sendiri adalah untuk mengembangkan nilai aestetis dominan dari budaya gadis: kesucian, keindahan, kemurnian, hingga keperawanan (Shamoon, 2012). Uniknya, tujuan tersebutlah yang kemudian membuat esu sangatlah didukung oleh para orang tua pada masanya. Terlebih lagi, hubungan ini cenderung dipandang sebagai hubungan platonik yang “tidak mengancam” masyarakat heteroseksual (Shamoon, 2012; Maser, 2013). Fakta-fakta tersebutlah yang kemudian membuat beberapa akademisi menyatakan bahwa tidak pantas untuk semena-mena mengategorikan esu sebagai praktek lesbian kontemporer tanpa mengetahui dengan jelas budaya yang berkembang di zaman tersebut (Shamoon, 2008). Meski begitu, dalam prakteknya hubungan ini sangatlah intim dan bahkan kadang sangatlah membara (Pfugfelder, 2005 dalam Maser, 2013).
Tulisan ini berlanjut ke halaman selanjutnya.