Selama hampir enam tahun saya mengelola KAORI Nusantara (empat tahun mengelola forum dan dua tahun mengelola dengan serius KAORI Newsline), orang-orang biasanya menjadikan saya sebagai rujukan untuk beberapa penelitian maupun menjadikan saya sebagai rujukan tanya-jawab seputar perkembangan kebudayaan anime, baik di Indonesia maupun di Jepang.
Ekspetasinya memang seperti itu, tetapi boleh dikatakan sejak awal saya merintis KAORI, saya tidak pernah mampu membayangkan bagaimana seorang sahabat karib saya Frizky bisa mengonsumsi literally semua judul kartun yang tayang dalam satu musim di Jepang. Bahkan setelah menjalani “pekerjaan” mengurus KAORI Newsline (yang notabene berurusan dengan perwibuan), kebiasaan sehari-hari saya tidak berubah signifikan: membaca Guardian dan Telegraph, menonton BBC News at One dan ITV News at 1:30, lalu menonton Doctor Who dan The Missing. Saya lebih tahu apa yang terjadi di Belfast ketimbang apa yang terjadi di Akihabara.
Tentu saja saya bisa dikatakan kafir. Bagaimana caranya seorang editor situs anime terkemuka di Indonesia memilih untuk tidak memutakhirkan dirinya dengan perkembangan zaman? Ada beberapa faktor yang menuntun hal ini.
Misalnya, ekspos orang-orang di jejaring sosial sekitar saya hanya menawarkan judul-judul yang kelihatan cling-cling dan mengumbar layanan kipas. Saya ingat sekali pengalaman iseng menonton Vividred Operation atau Strike Witches The Movie yang setiap 10 menit menampilkan pantyshot. Atau judul yang pengalaman saya terlalu overhype sehingga membaca perilaku penggemarnya di internet membuat saya malas mengikutinya (Sword Art Online, Fate Zero). Untuk Fate Zero, saya sampai disindir kolega Jepang saya, “lah elu baru nonton? Ini dulu saya nonton loh.” Padahal dia maniak kereta api dan saya sangat kaget saat tahu dia juga nonton!
Sampai sekitar sebulan terakhir saya menjadi orang kafir, sebelum mendapat kesempatan ngobrol bersama sensei (di sini artinya dosen) dari program studi Jepang di beberapa universitas. Diskusi hangat (sekaligus membuat kantong jebol) bersama Roberto-sensei (Binus), Andam-sensei (UI), Rizki-sensei (UI), dan Aji-sensei (UAI) ini berlangsung hari Jumat setelah acara Manga Festival di Universitas Indonesia.
Dalam diskusi ini, sejujurnya saya terhenyak. Berkaca betapa mereka yang sudah bisa dikatakan tidak muda (beberapa di antaranya bahkan sudah menikah) tapi masih asyik serta meminta rekomendasi akan anime musim ini dan musim lalu. Juga bagaimana asyiknya mereka mendiskusikan fenomena otoko no ko setelah saya menyodorkan komik-komik (hentai tentu saja) karya Yusa Saikawa (abgrund).
Tetapi, pertanyaan paling menohok datang dari Andam-sensei.
“Pin, menurut kamu Grisaia gimana? Kayaknya nggak banyak fanservice dan aku lihat prospeknya bagus.”
Ah iya. Saya teringat pengalaman saya yang tahun lalu ngebut menamatkan novel visual Grisaia no Kajitsu. Karena belum menonton animenya, saya langsung menjawab, “kalau dari novelnya sih rekomendasi sekali.” Nekad!
Beberapa hari setelahnya, saya kembali bergaul dengan orang-orang di tim redaksi Newsline yang sudah mulai ikutan kafir (karena sering saya ucapkan, “saya ini udah mulai expired lho,”) dan tiba-tiba saya menikung jatah ulasan mas Krisma. Jadilah saya menulis kesan pertama anime Grisaia sampai ada komentar di forum, “tumben yang nulis mas SM.”
Hal lain yang berjasa mengembalikan saya keluar dari jurang kekafiran adalah perkenalan saya dengan Luthfi dan Yoza. Saya bahagia karena mereka berdua mampu melihat anime dari perspektif yang “gue bangets” sehingga saya menerima rekomendasi mereka (terlepas dari Love Live yak) dan mulai menonton anime kembali.
Sekarang, saya sering mengatakan ke teman-teman Newsline, “kalian masih muda, jangan cepat kedaluwarsa yak.” Mereka adalah bibit yang akan meneruskan saya nanti, mengelola Newsline dan membawa Newsline berbeda dari media kompetitor. Newsline akan menjadi Foreign Policy atau Ars Technica-nya anime dan industri kreatif Indonesia.
Berkat mereka pula, saya akhirnya menonton Yowamushi Pedal dan Argevollen. Saya bersyukur sekali bahwa di tengah suram dan nistanya judul-judul anime populer di Jepang, ternyata masih ada harapan. Harapan bahwa orang akan menonton anime yang kalau mengutip prinsip Miyazaki dan Anno, “for the sake of story,” bukannya karena ceweknya moe atau karena banyak fanservice.
(Walau saya pribadi sejujurnya cukup menikmati Infinite Stratos dan Hyakka Ryouran, tapi terlalu banyak gula bisa menyebabkan sakit diabetes yang merusak tubuh selamanya.)
Saya tetap masih akan membuka Guardian dan menonton ITV, serta Newsline masih akan tetap tidak memberitakan berita “sampah” seperti web kompetitor, tapi setidaknya untuk saat ini, saya merasakan lagi bagaimana asyiknya menunggu dan menonton anime episode terbaru. Puji Tuhan!
Kevin Wilyan
Artikel ini adalah pendapat dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.