Perpaduan karya seni dan kepentingan politik sejatinya bukan hal baru.
Di Indonesia misalnya, Affandi, Dullah, dan Chairil Anwar membuat poster berjuangan bertema “Boeng, Ajo Boeng” yang dimaksudkan sebagai pembakar semangat saat berperang.
Dalam konteks kontemporer, komik dalam format empat atau enam panel – sebagaimana dimuat oleh harian ibu kota setiap Minggu – menyelipkan cerita bernada politik.
Indonesia pun punya animasi seperti ini, seperti Sahabat Pemberani yang dirintis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, mengedukasi anak-anak agar berani dan bangga berlaku jujur.
Tapi ketika tema-tema tersebut sudah tidak asing lagi, bagaimana bila ada komik yang dikhususkan secara tulus untuk melakukan pendidikan politik?
Jepang dan Demokrasi Perak
Kalau di Indonesia para politikus mudanya, sebut saja Angie atau Anas, melakukan tindakan korupsi, di Jepang generasi muda justru tidak tertarik berpolitik.
Di Jepang, ada istilah silver democracy, demokrasi perak yang secara kasar berarti “demokrasi di kalangan berusia perak”.
Dalam tiga dekade terakhir, persentase pemilih berusia lanjut mendominasi, naik dua kali lipat menjadi 44 persen saat ini. Pada saat yang sama, jumlah pemilih usia muda menurun dari 20 persen pada 1980 menjadi 13 persen pada saat ini.
Rasio utang terhadap PDB mencapai hampir 240 persen, jauh lebih tinggi dari Yunani yang bangkrut pada 2012 lalu. Beban yang didera negara untuk menanggung penduduk usia tua semakin diperparah dengan sedikitnya generasi usia muda saat ini, dengan ramalan merosotnya penduduk Jepang dari 128 juta hari ini menjadi kurang dari 100 juta pada 2060.
Setiap pemilu, politisi Jepang selalu menghindari bahasan mengenai sistem kesejahteraan yang menguntungkan kaum lansia, para konstituen mereka, namun dengan harga yang mahal: partisipasi generasi muda yang rendah dan kebijakan yang dikeluarkan seringkali tidak berpihak pada generasi muda. Politisi muda yang maju umumnya sulit memenangkan pemilihan umum.
Inilah yang coba diubah oleh Japan School of Policy Making (JSPM) dengan upaya-upayanya menarik generasi muda berpolitik, salah satunya dengan membuat manga bertema politik.
Mengajarkan Pendidikan Politik
Dalam komik ini, generasi muda diajak untuk terlibat mendiskusikan masalah aktual serta merumuskan penyelesaian masalah, yang kemudian akan dituangkan dalam bentuk halaman komik.
Komik yang rencananya akan dirilis online di situs Nico Nico Seiga mulai Januari mendatang ini dikarang oleh Masato Naka, yang sukses dengan komik seperti Bounty Hunter dan Bouryoku no Miyako.
“Generasi muda menghadapi banyak masalah, seperti pensiun dan perawatan anak,” tuturnya. “Saya ingin mereka, terutama yang tidak tertarik dalam dunia politik namun suka membuat manga, ikut dalam proyek ini.”
Sakuichi Konno, pemimpin JSPM, ingin proyek kolaborasi ini menjadi “lahan percobaan” proses politik bagi anak muda sebelum mereka terjun ke dunia politik.
“Saat ini ada kesenjangan antara politisi dan pemilih, dan anak muda tidak bisa terlibat dalam kehidupan politik.”
Dengan komik ini, “kami ingin menyajikan pendekatan dan solusi yang mungkin menarik dicoba oleh para pemangku kebijakan,” kata Konno.
Shibuya diambil sebagai setting lokasi lantaran wajah daerah Shibuya, selain banyak anak muda, juga merupakan wilayah pemukiman dan tempat perusahaan-perusahaan TI berkantor. Karakteristik inilah yang, menurut Konno, membuat komik yang akan dibuat nantinya mencerminkan realita yang mirip dengan daerah-daerah lain di seluruh Jepang.
Mengenai konsep komik yang terbilang baru ini, Masato tidak mempermasalahkannya.
“Tidak masalah bagi setiap generasi untuk memegang prinsip politiknya sendiri. Toh, ada juga politik yang bermula dari membuat manga.”
Untuk menggalang dana produksi dan biaya operasional, sebuah situs dibuka untuk umum, di mana para donatur individu maupun perusahaan berpartisipasi mendapatkan kesempatan untuk dimasukkan ke dalam komik ini.
Akankah proyek ini mampu menggugah partisipasi kaum muda untuk berpolitik di Jepang? Kita lihat saja hasilnya.
KAORI Newsline | sumber | Litbang KAORI