Salah satu lingkar kreatif (circle) sedang melayani pelanggan yang datang melihat. Kreativitas yang dihasilkan oleh komunitas perlu didukung oleh pemerintah agar dapat berkembang penuh di negeri sendiri.
Melihat pasar industri kreatif di Indonesia tidak sesederhana yang dipikirkan banyak orang, apalagi bila dibandingkan dengan kondisi di Jepang.
Sebagaimana disampaikan oleh Ivan Chen, CEO Anantarupa, konsep “industri kreatif” yang ada di Indonesia belum berwujud secara konkrit.
“Yang ada saat ini bukanlah ekosistem, melainkan unsur yang saat ini masih mencari jati dirinya. Lebih parahnya, di tataran daerah, pejabat sering tidak dapat membedakan konsep industri kreatif, industri digital, dan industri pariwisata.”
Komik, animasi, dan gim sebagai bagian dari industri kreatif pun belum mendapat dukungan yang baik dari pemerintah. Pendirian Pusat Kreatif oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) menurutnya masih salah kaprah karena Pusat Kreatif menjaring startup business di bidang industri digital, menduplikasi fungsi Bandung Digital Valley milik Telkom.
Dalam carut marut perkembangan industri kreatif ini, komunitas masuk dan mengembangkan sendiri dirinya, dengan membuat, memproduksi, dan memasarkan dari dan ke kalangan komunitas itu sendiri. Comic Frontier yang telah diselenggarakan untuk keempat kali pada 6-7 September lalu di Jakarta adalah salah satunya.
Bila Comic-Con di Filipina kental dengan pengaruh DC dan Marvel dari Amerika Serikat, Comic Frontier kental dengan pengaruh Jepang, khususnya pengaruh kartun khas Jepang (anime). Menariknya, meski lekat dengan pengaruh anime, tren produk derivatif (doujin) yang dibuat oleh komunitas tidak selalu paralel dengan tren yang berkembang di Jepang.
Kalau di Jepang (Comic Market / Comiket) saat ini peserta membuat produk bertema seri Kantai Collection dan Touhou, di Comic Frontier, trennya adalah produk Free!.
Mengapa Selera Bisa Berbeda
Saat ditanya mengapa hype di Indonesia berbeda dengan di Jepang, Sudwi Karyadi, project officer Comic Frontier 4 melihat hal ini pada faktor teman dan hype di sekitar lingkungan pergaulannya.
“Free! populer karena teman-teman mereka, sebagian besar perempuan, mengikuti seri ini. Sehingga circle mereka memutuskan membuat barang bertema Free.”
Mengenai ekspetasi besar penonton dan jumlah produk yang tersedia, ia memandang persepsi bukan standar ukur yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Lihat Sword Art Online yang jumlah produknya sedikit. Atau Kancolle, Love Live yang lagi naik daun rupanya tidak seheboh yang diperkirakan,” menurutnya.
Delianto, sukarelawan Comic Frontier 4, merasa heran dengan kepopuleran Haikyuu!.
“Temen-temen gue memang banyak yang nonton Free, Mekakushi, tapi perasaan selama ini jarang ngelihat fandom Haikyuu. Makanya gue kaget ternyata banyak juga ya.”
Melihat produk bertema Touhou yang hanya sedikit dibuat, ia berkomentar, “Ya baguslah, berarti ada pergeseran perkembangan.”
Walau begitu, asumsi kepopuleran yang dilihat secara personal tidak bisa diterjemahkan langsung ke minat konsumen. Ferli, direktur utama Kaorilink, melihat asumsi awal yang mereka buat kadang berbeda dengan apa yang di lapangan.
“Poster terlaris Kaorilink selama 2 acara berturut-turut bukan dari seri Kancolle atau Touhou tapi justru dari seri Gochuumon wa usagi desu ka.”
Ia juga menyinggung perbedaan karakter pengunjung antara acara tanggal 15-17 Agustus lalu dengan acara Comic Frontier sebagai faktor yang menentukan.
“Orang agak risih juga kali ya kalau beli poster yang gambarnya lumayan seksi, mereka ingin poster yang simpel namun tetap menarik desainnya.”
Bangkitnya Produk Ciptaan Sendiri
Dari 145 lingkar kreatif yang disurvei, setidaknya sebanyak 69 lingkar menyediakan atau juga membuat produk original.
Salah satu lingkar, Jul Lee, menjual remake komik Pendekar Bambu Kuning bersama dengan produk seperti Nisha Dasa, Dion, dan Antareja.
Juli, penanggung jawab lingkar ini mengaku selama beberapa kali keikutsertaannya dalam acara seperti ini, ia selalu merugi. Ketika ditanya apakah tidak tergiur membuat produk derivatif Jepang, ia menjawab simpel, “Tidak tertarik.”
Fenomena unik lain adalah kemunculan lingkar yang membuat produk derivatif dari karakter asal Indonesia. Pemesanan buku yang dibuka oleh lingkar Just BL ini terbilang berani karena selain memarodikan Wiro Sableng dan Si Buta Dari Goa Hantu, buku ini keluar dari pakem dengan menghadirkan seri klasik tersebut dari gaya gambar bishounen, yang mengeksplorasi kegantengan sang karakter utama. Lebih berani, buku yang dibandrol Rp50.000 ini ditujukan khusus untuk pembaca dewasa.
Pendekatan lain yang muncul dalam Comic Frontier juga mencontoh standar artis asal Jepang, namun dengan IP (Intellectual property, hak karya intelektual) milik sendiri. Seperti yang ditempuh oleh lingkar Morning Latte.
Riski yang aktif di Devianart dengan nama akun kopianget ini menyajikan produk yang dari pengamatan KAORI, berhasil menggugah beberapa orang, setidaknya berniat membeli karena unsur sensual yang kental.
Joe, salah satu pengunjung, sangat ingin membeli set poster dan kalender dari Morning Latte namun terpaksa mengurungkan niatnya karena tidak membawa uang yang cukup.
“Kalau gue tempel di kamar, gue nggak bakal lupa buat fapping setiap hari,” saat ditanya KAORI.
Perlu Dukungan Pemerintah
Ramainya acara Comic Frontier sangat kontras dengan acara Indonesia ICT Award (INAICTA), acara bagi perusahaan startup digital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).
Acara yang diselenggarakan di Balai Kartini pada 28-29 Agustus lalu (hari Kamis-Jumat) terlihat sepi pengunjung. Saat KAORI mendatangi pada hari pertama, seluruh stan sudah dibereskan pada jam empat sore. Kalaupun ada pengunjung, umumnya mereka datang karena kebetulan sedang mengikuti pameran yang diselenggarakan PT Semen Indonesia di tempat yang bersebelahan.
Tiadanya PPKI (Pekan Produk Kreatif Indonesia) di Jakarta dan justru diselenggarakan di Batam pada tahun ini seolah memperlihatkan komitmen pemerintah yang sangat kurang terhadap industri kreatif lokal. Hal ini diakui oleh Lolly Amalia, Direktor Kerjasama dan Partisipasi Kementerian Parekraf.
“Tahun politik salah satu alasan mengapa kali ini penyelenggaraan PPKI dilebur di Batam, itu pun lebih ke arah seremonial belaka.”
Hal ini sangat disayangkan mengingat di beberapa negara, industri kreatif mampu menjadi penggerak perekonomian negara.
Survei Yoshimoto pada tahun 2003 mengutip performa industri kreatif dibandingkan industri lain secara umum. Dalam kurun waktu 1996 sampai 2003, industri kreatif Jepang bertumbuh sebesar 3,8% dari jumlah usaha dan menyerap 7,9% lapangan pekerjaan pada masa resesi, berkebalikan dengan tren umum saat itu di mana secara keseluruhan industri bertumbuh minus 5,5% dan mengurangi lapangan pekerjaan sebesar 7,9%.
Di Inggris, pada tahun 2003 industri kreatif telah mampu menyumbang 3% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dan bertumbuh 70% dari tahun 1998 sampai 2006, dengan total pendapatan sebesar 90 miliar poundsterling (1.440 triliun rupiah).
Dengan tren global yang menunjukkan dinamika positif, terlebih Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, sudah sepantasnya pemerintah mulai mendukung industri kreatif Indonesia secara serius. Setidaknya sebelum dilibas lebih lanjut oleh ekspor industri kreatif negara lain, seperti Korea Selatan dengan hallyu (Korean Wave) atau Jepang dengan program Cool Japan-nya.
*Artikel ini diralat pada 14 September 2014, 17:59 WIB. Perubahan pada penambahan keterangan di bagian gambar survei untuk lebih akurat mendeskripsikan data.
mengingat comifuro itu comicket rip-off, apakah di jepang sendiri comicket didukung pemerintah?
lagipula kalo nanti didukung pemerintah, bukannya, malah ada regulasi macem macem yang malah membatasi kreatifitas mereka? saya malah lebih suka yang seperti ini, dari kita untuk kita juga (terlepas dari untung-rugi yang didapat)
Klo doujin nya kebanyakan berbau Ero pasti pemerintah bakal mikir dua kali buat mendukung, karena unsur norma masyarakat Indonesia masih tinggi terlebih ada norma agama yg masih kuat
Yang didukung bukan langsung mendukung mereka yang bikin produk derivatif namun yang mau mengembangkan IP sendiri… Jangan lupa beberapa komikus tenar saat ini seperti C Suryo Laksono atau Is, awalnya juga memulai karir dengan membuat doujin…
itu morning latte either emng ngikutin nama secara sekilas dan artnya coffee kizoku atau secara sengaja aja dibuat kebetulan. . . welp doesnt matter '-' bagus sih
Saya berpikir bahwa akan lebih cocok ke Indonesia, dengan mempertimbangkan berbagai norma yang berlaku di Indonesia, produk-produk yang sempat di promosikan oleh Japan Foundation, misal Space Brothers. Kalau model-model Free dkk, biarlah internet yang bekerja. Pemerintah cukup mendukung produk kita go-internasional, yang lain biarlah bekerja seperti biasa.
Anda bisa menyaksikan Space Brothers di Wakuwaku Japan.