Tidak terasa sudah 20 kali Comic Frontier (Comifuro) diselenggarakan. Mungkin banyak pembaca KAORI, partisipan Comifuro, sampai penikmat dramanya saja ikut bertanya: Comifuro itu event komik atau bukan, sih? Kok banyakan jual ganci? Kok banyakan drama cosplay-nya? Yang jual komiknya mana? Padahal namanya Comic Frontier, masih layakkah acara Comifuro disebut sebagai event komik?

KAORI berbicara dengan tiga perwakilan partisipan dari tiga sudut pandang berbeda. Di tengah kesibukan Comifuro XX yang super luar biasa luasnya dengan lima hall, KAORI menanyakan perspektif singkat mengenai Comifuro.

Sudwi Karyadi, Ketua Pelaksana Comic Frontier

Sudwi Karyadi: Ketua Pelaksana Comic Frontier sejak Comifuro 1 (2012)

Namanya sudah tidak asing lagi di kalangan partisipan Comifuro. Di tengah padatnya hari pertama Comifuro, KAORI menanyakan pertanyaan ini.

Menurut Sudwi, Comifuro masih tetap layak disebut sebagai event komik. Ia menuturkan, meski partisipan yang menjual karya berbentuk komik hanya sekitar 30 persen saja dari keseluruhan, hal tersebut tidak menegasikan bahwa Comifuro masih punya unsur “komik”.

Bagi para pemula yang mau memasuki dunia komik, Comifuro juga menjadi event yang cocok untuk mulai memasarkan karyanya.

Sudwi juga menggarisbawahi bahwa sebenarnya Comifuro lebih cocok disebut sebagai doujin market. Ada kata doujin yang dalam bahasa Jepang berarti self publishing. Sehingga, selama karya tersebut dibuat sendiri dan diterbitkan sendiri, maka apapun bentuknya, bisa diterima di Comifuro. Tentu, salah satunya adalah doujinshi (buku self-published).

Verdict: Comifuro Event Komik 1 – 0 Bukan Event Komik

Rizqi R Mosmarth, pelaku industri komik
Rizqi R Mosmarth, pelaku industri komik

Rizqi Rinaldy Mosmarth, Pelaku Industri Komik. Berpartisipasi dalam Comifuro sejak Comifuro 5 (2015)

Dalam kesempatannya saat mengisi acara di hari kedua Comifuro XX, Rizqi Rinaldy Mosmarth tidak ragu ragu menjawab bahwa Comifuro masih layak disebut acara komik.

“Gue anak komik dan menurut gue, ini event komik,” tuturnya.

Tetapi sama seperti apa yang disampaikan Sudwi, ia melihat tidak banyak peserta yang menjual komik. Mungkin hanya 20-an persen saja yang menjual komik.

Menurut Rizqy, alasannya untuk terus datang ke Comifuro, di antaranya agar dia bisa melihat seberapa besar perkembangan pembuat komik di Indonesia di lapangan. Hadir di acara fisik berarti membuat teman-teman pembuat komik tetap tahu kondisi para penggemar.

“Contoh Jasmine (Surkaty), Sweta Kartika, Mazjojo. Mereka itu kan udah gede banget namanya. Ya acara CF ini bikin mereka keep them grounded. Mereka itu sudah gede secara industri, tapi ya selalu ada di CF. Mereka pengen ketemu langsung dengan penggemar mereka.”

Ia melihat pula kehadiran Comic Paradise (Comipara) bukan sebagai sesuatu ancaman, tetapi sebuah peluang besar bagi para kreator. Menurutnya, Comifuro dan Comipara saling melengkapi.

“Itu sesuatu yang bagus, ada pelajaran dari Comifuro, kemudian oleh Comipara, di-improve. Ada orang iri sama yang di Jakarta, tapi iri-nya baik. Dia bikin sesuatu yang lebih baik untuk kotanya, dan hasilnya semua jadi lebih baik.”

“Kek minggu kemaren ada Comipara. Ya seru aja. Kalau acaranya udah banyak, nanti seperti kompetisi olahraga. Misal 8 bulan kompetisi, 4 bulan istirahat. Kalau sekarang, nanti Comipara ada lagi November, Comifuro ada lagi kapan, jadi full 2 bulan ngevent, 4 bulan prepare. Menurutku, (itu) seru.”

Rizqy tidak menafikan juga kenyataan bahwa Comifuro dan Comipara tidak lepas dari istilah acara jualan merchandise.

“Jogja berusaha ke sana, tapi ya tetap saja ada gantungan kunci, ada merch.”

Mengakhiri diskusi, ia mengapresiasi Comifuro yang sudah berjalan selama 20 kali, dan berharap makin banyak acara pasar komik lain di Indonesia.

“Kompetisi itu bikin keren,” tuturnya.

Verdict: Comifuro Event Komik 2 – 0 Bukan Event Komik

Haekel, pengunjung Comifuro.
Haekel, pengunjung Comifuro.

Haekel, Pengunjung Acara Comifuro Sejak Comifuro 1. Sudah pergi ke Comiket sejak C84 (tahun 2013)

Tidak banyak orang yang datang Comifuro secara konsisten sejak Comifuro 1. Oleh karenanya, bertemu dengan perwakilan pengunjung menjadi hal yang sangat menggembirakan.

Menurut Haekel, sampai sekarang Comifuro masih layak untuk disebut sebagai acara pasar komik. Ia menggarisbawahi hal yang sudah disampaikan juga oleh partisipan sebelumnya, bahwa Comic Frontier masih menjadi tempat circle menjual komik, meski jumlahnya tidak besar.

Ia membandingkan situasi Comifuro dengan Comiket. Sebagai pengunjung Comifuro dan Comiket sejak lama, kedua acara berkembang dengan cara yang berbeda dan punya kendala yang mirip. Misalnya, harga meja.

“Sekarang harga meja makin mahal. Orang mau jualan komik di Comifuro ya mikir-mikir juga balik modalnya,” tuturnya.

Menurutnya, fenomena di Jepang di mana kreator mulai beralih ke situs-situs self publishing atau acara pasar komik yang lebih kecil.

“Orang sekarang kalau bisa nerbitin karya langsung, lewat Fanza, DLsite, ngapain lagi nunggu Comiket. Acara only event (acara yang spesifik mengakomodasi fandom tertentu dalam skala mikro – Red) juga makin banyak. Nggak usah panas-panasan nungguin Comiket.”

Haekel melihat Comiket justru mulai seperti Comifuro. Ada beberapa hal, misalnya kini satu circle sekarang bisa jualan selama 2 hari dengan konten yang berbeda.

“Makin hari juga makin banyak yang jualan merch di Comiket.”

Haekel menyoroti fenomena susahnya jualan komik di Comifuro, dapat diselesaikan dengan sistem katalog yang andal. Ia mengapresiasi web katalog Comifuro yang kini makin bagus, namun belum maksimal.

“Apa yang di-upload sama yang dijual suka berbeda. Padahal kan udah ada pembagian meja berdasarkan genre. Tapi pas sampai di mejanya, lho kok lain. Pada mepet-mepet bikin karyanya kali ya.”

Konsep Comifuro yang mulai memisahkan pembagian circle berdasarkan genre (atau fandom) juga dinilai sangat membantu dan menjadi nilai plus untuk Comifuro kali ini. Ke depan, ia berharap partisipan, pengunjung, dan circle di Comifuro makin meningkat dan diiringi dengan pelayanan yang lebih baik.

Gue mau salat, pas ke hall Nusantara, ternyata musalanya ditutup. Jadi deh muter-muter dulu.”

Verdict: Comifuro Event Komik 3 – 0 Bukan Event Komik

Ternyata, semua menjawab bahwa Comifuro masih layak disebut acara komik. Secara umum, para narasumber mengatakan kalau Comifuro tetap ada unsur komiknya. Seluruh peserta menyimpulkan meski komik bukan jadi hal yang paling dijual di acara Comifuro, tetapi komik masih jadi bagian besar dan tak terpisahkan sebagai mainstay acara Comifuro.

Bagaimana menurut Kaoreaders?

KAORI Newsline | oleh Kevin W

___________________________

Suka dengan artikel ini? Yuk dukung KAORI untuk terus memproduksi konten mendalam dan terpercaya. Klik untuk menuju halaman donasi KAORI. 

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses