Sendiri Tapi Tidak Kesepian: Artikel Volker Grassmuck Tentang Otaku (4)

2

Tsutomu Miyazaki. (China Daily)

Mari kita menuju ke kesimpulan. Inilah bagian terakhir dari seri artikel mengenai otaku tadi. Setelah sebelumnya kita diajak menelaah betapa luasnya kategori "otaku" itu, bagian terakhir ini akan membahas mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh mereka.

Tidak lengkap bila mengkaji otaku tanpa Tsutomu Miyazaki. Dengan relevansi yang lemah, seringkali masyarakat masih mengaitkan antara otaku dengan potensi tindak kejahatan yang mereka lakukan.

Namun, apakah masyarakat benar-benar menolak keadaan otaku, atau mereka "segan dilarang hadir tak mau" dengan otaku ini? Di bagian akhir inilah, hal ini akan diungkap.

Selamat membaca.

Shin Muhammad | KAORI Newsline | Keterangan dan Sumber Artikel dapat anda lihat di akhir bagian artikel ini. KAORI tidak memiliki, menerjemahkan, maupun mengubah artikel ini serta tidak bertanggung jawab atas hal yang terjadi akibat konten dari artikel ini.


Kejahatan Informasi

Aku tidak menganggap istilah yang kugunakan di atas sebagai istilah yang memiliki tujuan-tujuan bersifat politis dan militer , ataupun istilah itu merupakan sejenis pancingan atas hal-hal yang terlarang. Tentu saja, siapa pun yang berupaya untuk menghalangi pemanfaatan teknologi seluas-luasnya, misalnya dengan menggunakan copy-guards, atau pengacakan sinyal radio, biasanya memancing orang untuk meng-hack mereka. Otaku, juga menyenangi penggunaan teknologi untuk hal-hal yang berbeda dengan tujuan awalnya. Namun pada dasarnya, otaku didorong oleh kesenangan pada teknologi dan informasi yang bersifat kosong dan tanpa konteks. Dari segi ini, tidak ada perbedaan besar antara game-otaku atau hacker gelombang radio, maniak idola, ataupun pemalsu kartu magnetik. Mereka semua memiliki struktur dasar yang sama. Hal paling mendasar pada setiap otaku adalah .. detil-detil teknis, entah tentang jenis-jenis kamera, atau jenis-jenis mobil polisi, atau tentang kapal luar angkasa fiktif, atau truk-truk seni, dan lain-lain. Pengetahuan merupakan elemen yang penting bagi mereka untuk saling berkomunikasi. Informasi adalah inti dari gaya hidup otaku.

Kekurangan informasi bahkan dalam skala yang kecil, bisa memberikan dampak yang sangat besar bagi seorang otaku. Namun, mereka tampaknya tidak terlalu membeda-bedakan ideologi. Perang dan Sex, fantasi pembunuhan massal dan pemerkosaan sado-masokis muncul secara rutin di media-media mereka. Kadang-kadang juga, salah seorang dari mereka kesulitan untuk membedakan dunia maya (dunia di mana tidak ada seorang pun yang mati, karena semuanya memang bersifat bayangan), dengan dunia dimana anak-anak kecil, apabila sedikit disikssa, bisa benar-benar mati. Ito Gabin (Log In) pernah menceritakan tentang seorang laki-laki yang benar-benar tenggelam dalam dunia komputernya. Suatu hari, dia melihat seseorang sedang berdiri di peron stasiun kereta api. Tanpa alasan apa-apa dia mendorong jatuh orang itu ke depan kereta api yang sedang berjalan. Dia tidak pernah memikirkan tentang kematian, kata Ito. Hal itu dia lakukan dengan ringannya.

Pada bulan Juli 1989, MIYAZAKI Tsutomo (27) ditangkap atas dugaan penculikan dan pembunuhan empat anak perempuan berumur empat sampai 7 tahun, dan atas percobaan pelecehan dari seorang anak perempuan lainnya. Di dalam kamarnya, di Tokyo, ditemukan tumpukan manga dan lebih dari 6000 kaset video yang kebanyakan digandakan dari tempat-tempat penyewaan video. Manga-manga dan kaset-kaset video itu kebanyakan berisikan tentang pornografi anak dan film-film horor. Dia adalah orang yang terisolasi secara sosial, tidak pernah berani untuk mendekati perempuan, bekerja sebagai asisten di perusahaan percetakan, tergila-gila pada video dan komik (bahkan dia sendiri menggambar beberapa komik). Semua faktor yang mengidentifikasikan dia sebagai seorang otaku.

Polisi curiga bahwa Miyazaki sedang mencoba untuk mereka ulang sejumlah adegan dari film-film horor yang ditontonnya, misalnya adegan seorang laki-laki yang memotong seorang perempuan, dan kemudian memainkan organ-organ bagian dalam tubuh perempuan tersebut. Namun, dugaan polisi tersebut tidak bisa dikonfirmasikan. Miyazaki mengakui bahwa dia memang melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut di awal sidang, pada 30 Maret 1990. Namun dia menolak tudingan bahwa tindakannya memiliki hubungan dengan video-video yang ditontonnya, walaupun dia mengakui bahwa dia merekam video dua orang korbannya agar bisa dia lihat lagi nanti. Dia juga mengatakan bahwa dia melakukan kejahatannya dalam kondisi seperti orang bermimpi dan tanpa tujuan.

Pengacara pembela mengatakan bahwa tertuduh berada dalam kondisi emosional yang tidak matang, dan mengalami kesulitan dalam membedakan dirinya dengan orang-orang lain. “Dia tidak memiliki pemahaman tentang kehidupan dan kematian. Dia juga memiliki keinginan sangat kuat untuk kembali ke rahim ibunya,” demikian kata Pengacara Pembela. Sang pengacara berargumen lebih lanjut bahwa budaya audio visual dari video dan televisi, tiadanya pemahaman atas realitas dalam masyarakat informasi modern, serta isolasi sosial kaum muda, sebagai faktor-faktor yang mendorong kejahatan tersebut, dan merupakan … penyakit masyarakat modern. Hasil uji psikiatri menunjukkan bahwa Miyazaki memiliki kendali diri yang lemah dan tidak punya kemampuan untuk merasakan emosi. Walaupun demikian, ia dapat tetap dianggap sebagai bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sidangnya sendiri masih tertunda.*

Nada yang muncul dalam berbagai debat publik tentang kasus otaku pembunuh ini menuding budaya media dan film-film horor sebagai faktor penyebab. Sebagai reaksi dari kasus Miyazaki, Pemerintah Kota Tokyo sedang mempertimbangkan untuk membatasi akses terhadap film-film yang menayangkan adegan kekerasan. Tapi, pasar video dengan sendirinya menerapkan pembatasan-pembatasan tersebut, sebelum adanya keputusan dari pemerintah.

Komentar dari para kritikus budaya, secara umum terbagi dalam dua kubu. Pihak pertama menganggap Miyazaki sebagai kasus kejiwaan, dan oleh karena itu dianggap sebagai perkecualian yang tidak bisa mewakili keseluruha masyarakat. Sementara pihak kedua menganggap bahwa sifat-sifat Miyazaki terdapat di dalam diri setiap orang.

Menurut Yamazaki, pendapat-pendapat tersebut terlalu tergesa-gesa dan kurang tepat. “Kita ingin memahami dia, tapi kita tahu bahwa kita tidak bisa. Semua orang bertanya-tanya mengapa dia melakukan hal itu. Tapi seharusnya kita bertanya pada diri sendiri: mengapa kita tidak melakukan hal itu? Kebanyakan otaku punya gaya hidup yang sama dengan Miyazaki, tapi saya rasa mereka tidak akan melakukan hal-hal seperti itu. Riwayat hidup Miyazaki tidak terlalu istimewa. Dia tidak bisa berbicara dengan para perempuan, tapi itu juga tidak aneh. Katanya dia tinggal dalam dunia fantasi. Tapi, bisa jadi sebenarnya kita semua juga tinggal di dalam sebuah fantasi. Saya tidak menganggap dia sebagai orang gila, karena saya bisa memahami sebagian dari dia. Jadi, saya merasa takut. Tapi, saya bukanlah seorang moralis. Banyak orang Jepang yang menganggap bahwa motivasi Miyazaki dapat ditemukan pada kehidupan sehari-hari kita bersama dengan media dan informasi, dan pada hubungan antar manusia yang kita miliki. Itulah yang membuat kita begitu terguncang.

Polisi mencoba menyelamatkan salah satu korban tragedi penusukan di Akihabara, yang diduga dilakukan oleh seorang otaku. (BBC News)

Ke Arah Masyarakat Postmodern

Dalam perkembangannya sampai saat ini, ada berbagai macam pendapat mengenai istilah otaku. Kasus Miyazaki semakin menegaskan reputasi otaku yang tidak terlalu terpuji. “Kami tidak pernah mempercayai anak-anak muda itu. Sekarang, kamu baru tahu apa yang mereka bisa lakukan.” Namun kita harus menunggu keputusan sidang untuk dapat menentukan apakah masyarakat akan menggunakannya untuk menekan dan mendiskriminasikan para otaku.

Di sisi lain, istilah otaku telah mengalami perkembangan makna. Istilah yang pada awalnya menandakan suatu gaya hidup yang sangat berbeda dengan gaya hidup lainnya, kemudian berkembang semakin jauh, sehingga mengambil alih fungsi kata ‘maniak’. Jadi sekarang istilah ‘maniak’ dan ‘otaku’ dapat dipertukarkan. Pada awalnya, maniaku digunakan sebagai panggilan terhadap orang-orang yang terbuka untuk berkomunikasi dan memiliki minat terhadap hal-hal lain di luar bidang ketertarikan mereka sendiri. Kedua karakteristik tersebut jelas menunjukkan bahwa maniak bukan otaku. Lagipula, otaku tidak pernah digunakan untuk merujuk diri sendiri, melainkan untuk merujuk orang lain (beda dengan maniak yang bisa digunakan untuk merujuk pada diri sendiri. -penerj. ). Dari situ dapat dipahami bagaimana lapisan-lapisan makna kemudian bertumpuk-tumpuk seiring dengan penggembungan suatu istilah (singkatnya: bagaimana makna suatu istilah tertentu meluas dan membanyak. -penerj.) Mungkin hal yang sama berlaku untuk semua kata istilah yang ada. Semua istilah akan mengalami perluasan makna. Suatu saat, maknanya menjadi demikian meluas, sehingga akhirnya mencakup semua orang. Jadilah: kita semua Otaku. Kita semua adalah Miyazaki. Pada akhirnya, kata itu kehilangan kekuatannya sebagai penanda, sampai kemudian digantikan oleh istilah dan kata baru.

Trend lainnya ditandai dengan kehadiran bentuk kata sifat dari otaku yaitu: ‘otakki’. Yamazaki menduga ada hubungan etimologis antara kata ‘otakki’ dengan ‘teki’. Tekki mungkin adalah suatu bentuk yang lebih awal yang diambil dari kata ‘technology kids’. Basic Knowledge 1990 menulis: “Setelah Miyazaki mencemari kata ‘otaku’, ‘kata otakki’ diciptakan untuk menunjukkan artinya yang semula dan perubahan makna yang telah terjadi. Para Otaku bergerak ke tingkat baru. Mereka mengenakan pakaian Yuppy yang mahal dan elegan. Para otakki mencoba untuk mengubah image mereka dari nuansa gelap menjadi sesuatu yang terang.”

“Basic” adalah satu-satunya buku sumber yang menyadari proses ‘Yuppyfikasi’ para otaku ini. Namun, penggeseran istilah otaku ke arah makna yang lebih positif – bahkan walaupun ada kasus Miyazaki – sebenarnya telah diketahui masyarakat umum. Meskipun, sekali lagi, alasannya bervariasi. Beberapa pihak berkata, pergeseran makna ini terjadi karena masyarakat menyadari bahwa mereka membutuhkan otaku. Fantasi mereka dan kemampuan teknis mereka yang sangat detil membuat mereka menjadi tenaga kerja yang berprospek menarik, misalnya dalam bidang perangkat lunak. Otaku sangat cocok untuk kapitalisme di Jepang. Seperti umumnya terjadi, keberadaan arus bawah tanah bermanfaat sebagai tempat penggodokan bagi munculnya ide-ide baru yang segar, yang kemudian akan dimanfaatkan oleh arus utama yang bersifat komersil. Memang kenyataannya, para hacker tersebut lulus dari kehidupan otakki, menjadi seorang profesional, dan bahkan mungkin menikah.

Namun, lagi-lagi orang berusaha untuk memberikan arti alternatif dari kata otaku. Mereka menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kemungkinan untuk memiliki gaya hidup yang ambigu dalam masyarakat modern – yaitu suatu cara hidup yang terlibat secara positif dengan media dan, secara bersamaan juga, hidup tanpa arti. Tsuzuki mengatakan: “Otaku adalah suatu cara untuk terlibat, suatu cara bawah tanah untuk mengubah ide-ide tentang dunia. Otaku tidak puas dengan mengonsumsi. Mereka ingin mengubah berbagai hal dan berbagai program. Mereka sangat terlibat. Industri idola- menginginkan konsumen, otaku memenuhi seluruh harapan mereka. Mereka tidak menantikan konfrontasi klasik, tetapi mereka memang memiliki kemampuan untuk menawarkan pandangan-pandangan alternatif.” Yamazaki lebih ambivalen menilai mereka. Dalam opininya, para otaku terlalu diremehkan sekaligus ditaksir terlalu tinggi. Dalam beberapa hal, mereka terlihat sebagaimana umumnya orang Jepang. “Mereka bukan anak-anak yang meninggalkan sekolah, tetapi orang luar paruh waktu. Saya bertanya-tanya dalam hati apakah otaku akan menciptakan suatu budaya baru. Hal ini seperti suatu penelitian, tetapi saya pikir otaku adalah satu-satunya jalan. Apakah mereka memiliki potensi subversif? Saya harap ya. Saya harap mereka akan menjadi shinjinrui yang sebenarnya, suatu jenis yang baru dari orang Jepang, maksud saya, masyarakat postmodern.”

Pada akhirnya, kita harus mengajukan pertanyakan: apakah mungkin untuk hidup lepas dari tubuh kita tanpa harus melepaskan pikiran kita, dalam kondisi keberadaan yang terpencar di dunia maya dan pada saat yang bersamaan tetap mampu untuk memiliki kehidupan yang berarti? Apakah media-media dalam kebudayaan postmodernisme memiliki elemen-elemen yang bersifat subversif (pembangkangan)? Sayangnya, objek penelitian kita tidak bisa menjawab. Pusat komunikasi tidak berkomunikasi. Itu adalh titik buta yang tidak bisa kita lihat.

Apakah kemungkinan ini ada sebagai suatu cara untuk menjadi di luar diri sendiri tanpa menjadi edan, dengan keadaan terpencar dalam dunia maya dan masih tetap mencari kehidupan yang berarti, dan bahkan apakah mungkin akan ada suatu elemen subversif dalam media budaya postmodern? Namun sayangnya, objek dari penyelidikan kita tidak menjawab. Pusat dari komunikasi tidak berkomunikasi sendiri, ia adalah titik buta yang tanpanya kita tak dapat melihat. Saat ditanya mengenai definisi, seorang yang mengaku bahwa dirinya adalah otaku menjawab: “Pertanyaan tentang ‘Siapakah otakki?’ adalah seperti zen-koan ‘Apakah satori?’ Pertanyaan ini tidak dapat dijawab karena satori itu sendiri pada dasarnya adalah yang tidak bisa dikomunikasikan.” Dan ketika kalimat ini masih bergema, dalam kesunyian yang selalu muncul ketika sesuatu yang tak bisa dinamai disebut, sang penulis menyelinap keluar dari tulisannya.

———————————–
Pengarang ingin berterima kasih pada Ina Kotaroo, Barbara, Alfred Birnbaum, Yano, David dan Ueno.

————————————

Catatan

1.) Karena kata ini akan muncul terus sepanjang teks ini, maka diperlukan terminologi Janglish (Japan-English) yang khusus. Dalam bahasa Jepang, kata-kata asing yang dipinjam untuk digunakan biasanya disampaikan dengan menggunakan huruf Katakana. Huruf ini sebenarnya sama pengucapannya dengan huruf Hiragana, namun semangat di baliknya berbeda sama sekali. Tujuan dari Katakana adalah dalam rangka menjaga agar bahasa asing tidak masuk ke dalam bahasa Jepang, dengan cara membedakan cara penulisan simbolnya. Oleh karena itu, apa pun yang asing dalam teks berbahasa Jepang dapat langsung terlihat. Salah satu karakter dari permasalahan ‘L-vs-R’ adalah keharusan untuk menaruh huruf hidup di belakang setiap huruf mati, misalnya kosu-pure dari kata ‘costume play’ adalah dengan menambahkan huruf ‘u’ di antara huruf ‘p’ dan ‘l’ dari kata bahasa Inggrisnya. Perasaan khas Jepang untuk panjang kata yang tepat, seringkali menyebabkan pemotongan atau pemendekan kata, seperti rori-kon adalah pemendekan dari ‘Lolita Compex’ (rorita konpurekkussu). Katakana juga digunakan untuk mengkombinasikan kata Jepang dengan kata asing, misal: kuchi-komi (komunikasi oral) diambil dari kata Jepang ‘kuchi’ (mulut) tambah ‘komiyunikeeshon’.

*Miyazaki dinyatakan bersalah pada tahun 1989. Naik banding pada tahun 1990, lalu dijatuhi hukuman mati pada tahun 1997. Hukuman mati tersebut dikukuhkan oleh Mahkamah Agung Jepang pada tahun 2006. Tsutomu Miyazaki telah dieksekusi pada medio Juni 2008 lalu. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Tsutomu_Miyazaki

Artikel ini dikutip dari blog Jepang Indonesia (http://jepangindonesia.wordpress.com/2007/08/27/sendiri-tapi-tidak-kesepian/). Untuk lisensi penggunaan artikel ini, anda dapat membacanya di http://opencontent.org/opl.shtml.

2 KOMENTAR

  1. wew, perbandingan pelaku kejahatan yang seorang otaku sama yang non-otaku itu jauh banget kok… bahkan masyarakat jepang sendiri menyebut otaku sebagai kaum minoritas… justru karena “keunikannya” inilah, jika ada otaku yang berbuat kriminal langsung mendapat sorotan…

    • Dalam filsafat lingusitik, tidak umum lagi bila untuk hal yang terkesan baik, masyarakat menyebutnya “unik”. Bila tidak, maka ia dikatakan “aneh”.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses