Layar bioskop Indonesia kembali kedatangan sebuah film yang disebut-sebut begitu fenomenal di Jepang. Ya, tak lain dan tak bukan adalah film One Cut of The Dead yang digarap oleh sutradara Shinichiro Ueda. Film ini berhasil menjadi buah bibir di Jepang karena menghadirkan sebuah film zombie yang konon katanya begitu berbeda dan sanggup membuat penontonnya tertawa terus-terusan. Tak hanya itu, proses pembuatan filmnya sebagian besar juga diisi oleh para kru dan pemain yang boleh dibilang masih belum memiliki banyak pengalaman di industri film Negeri Sakura.
Saking lucunya, akhirnya film One Cut of The Dead diulas oleh dua staf KAORI sekaligus, yaitu Marwa Pranata (Yogyakarta) dan Tanto Dhaneswara (Jakarta). Bagi yang sudah penasaran ingin menonton, film ini telah diputar di bioskop secara reguler sejak 28 November lalu oleh distributor Moxienotion dan Encore Films serta acara Japanese Film Festival 2018 di beberapa kota besar di Indonesia.
Simak review film One Cut of The Dead di bawah ini!
Marwa Pranata (KAORI Newsline): “Film Jancuk!”
Bayangkan jika sebuah film yang disebut sebagai “Film Indie”, terlihat seperti “Film Professional”, terdengar seperti “Film Professional”, berbentuk seperti “Film Professional”, terasa seperti “Film Professional”, dan berkualitas seperti “Film Professional”. Apakah film itu masih bisa disebut sebagai “Film Indie” biasa?
One Cut of the Dead, atau dalam judul Jepangnya disebut Kamera wo Tomeru Na, adalah sebuah film indie bergenre film zombie, sebuah genre yang sangat dikenal oleh para penikmat film, baik mereka yang hanya sesekali nonton film di bioskop, setiap akhir minggu pergi melihat film-film terbaru, atau bahkan mereka yang hanya melihat film lewat warnet. Genre zombie adalah salah satu genre yang paling dikenal oleh orang-orang di seluruh dunia. Namun, kita tidak akan membahas soal zombie di film ini, ataupun kata-kata orang yang menyamakan film ini dengan “Shaun of the Dead” garapan sutradara Inggris Edgar Wright. Tidak, karena sebuah alasan yang termasuk dalam spoiler, film ini sebenarnya bukanlah sebuah film zombie.
Film ini adalah sebuah film indie, tentang film indie.

Seperti Quentin Tarantino dan film pertamanya, Reservoir Dogs, Shinichiro Ueda selaku sutradara berhasil membuat sebuah film yang, meskipun masih memiliki kesan “indie” dan ber-budget rendah, sangatlah tampak seperti sebuah film “professional” dengan kualitas kelas bintang lima. Sama seperti Tarantino, semua itu berhasil lewat kesadaran akan genre, kreatifitas yang muncul karena batasan, dan inovasi-inovasi yang meskipun tampak “baru”, sebenarnya berakar dari teknik-teknik yang sudah ada. Semua itu bercampur menjadi satu seperti bumbu-bumbu masak, yang kemudian menghasilkan sebuah suguhan 97 menit yang sangat luar biasa menghibur, dan pintar.
One Cut of the Dead pada dasarnya adalah sebuah film komedi, sebuah film yang sangat penuh dengan lelucon-lelucon pintar dengan momen-momen yang sangat pas seperti SPBU Pertamina. Ada dua senjata utama yang digunakan dalam film ini, senjata yang sangat ampuh untuk mengocok perut para penontonnya dari awal hingga akhir; set up, dan relatabilitas.
Set up merupakan salah satu unsur utama dalam komedi, di mana lelucon atau guyonan dibuka dengan perkenalan keadaan karakter, atau lingkungan. Bayangkan seseorang yang terjatuh karena menginjak kulit pisang. Hal tersebut baru akan terlihat lucu hanya jika kita melihat orang tersebut berjalan mendekati kulit pisang tersebut. Hal tersebut sangat digunakan oleh film ini, di mana 37 menit pertama di film dikorbankan menjadi setup sebagai amunisi lawakan yang akan digunakan kemudian, sebuah hal yang sangat berisiko, namun justru sangat terbayar.
Namun, komedi yang ada di film ini tidak akan berhasil mengundang gelak tawa jika bukan karena senjata yang kedua, relatabilitas. Sebagian besar, jika bukan semua, guyonan yang menjadi bagian penting film ini merupakan apa yang disebut dengan Comedy of Error. Meskipun begitu, berbeda dengan beberapa film lain yang memiliki unsur-unsur ajaib di dalam guyonan mereka, lawakan-lawakan yang ada di film ini sangatlah menarik dan menghibur karena betapa dekatnya kelakuan aneh yang dilakukan para tokoh di film tersebut dengan dunia nyata, terutama dengan para penontonnya sendiri.
Semua itu bercampur menjadi satu, dengan kreatifitas dan akting natural para aktor sebagai lem perekat yang menyatukan film ini menjadi sebuah film yang meskipun terlihat “receh”, masih terasa berkelas, dan sangat menginspirasi.
Singkat kata, ini adalah sebuah film yang sangat luar biasa, dan mungkin pilihan untuk tidak menontonnya akan menjadi sebuah penyesalan yang sangat besar.
“POM!”