Ulasan Komik: Summer Storm

0

Gender dan Militerisasi

Untuk memahami militerisasi lebih lanjut, pendekatan feminis menawarkan salah satu sudut pandang yang tajam. Cynthia Enloe (2000) berargumen bahwa militerisasi bertopang pada tatanan pembagian peran gender agar dapat berfungsi. Dalam militerisasi, ada peran-peran dan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan dari laki-laki dan perempuan berdasarkan nilai-nilai maskulinitas dan femininitas. Laki-laki dan perempuan dibuat terdorong untuk terlibat dalam peperangan berdasarkan posisi yang dianggap pantas bagi masing-masing sesuai dengan nilai-nilai maskulinitas dan femininitas.

Misalnya, dorongan bagi pemuda laki-laki untuk bergabung menjadi prajurit dan bertarung di medan perang yang jauh didasari oleh nilai-nilai bahwa laki-laki harus bersifat berani dan kuat. Nilai-nilai itu membuat laki-laki menjadi merasa rendah diri kalau tidak ikut berperang, sebagaimana ditampilkan oleh karakter manajer Maruyama yang memaksakan diri ikut menjadi tentara, walau sebenarnya sebagai seorang sarjana eksaskta/teknik ia tidak diwajibkan untuk itu. Setelah pulang ke Jepang karena cedera pun, ia masih terbebani oleh perasaan bersalah karena tidak lagi menghadapi risiko menghadapi kematian yang sama dengan laki-laki lainnya yang masih berperang. Sehingga sebagai kompensasinya, ia sempat melibatkan diri dengan riset untuk membuat senjata baru demi membantu tentara yang masih berperang.

Sementara kaum perempuan ditempatkan pada posisi mendukung perjuangan militer sesuai dengan sifat merawat yang diidentikkan padanya. Peran ideal yang paling utama diharapkan darinya adalah sebagai “ibu yang baik”, membesarkan dan merawat anak laki-laki yang kuat untuk berjuang sebagai prajurit. Merelakan anak-anak yang sudah mereka besarkan dengan penuh kasih sayang untuk pergi berperang dan merasa bangga karenanya dianggap sebagai hal yang wajar sebagai indikator keberhasilan seorang ibu. Selain sebagai “ibu yang baik”, manifestasi lainnya dari sifat merawat perempuan yang diharapkan adalah menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh para laki-laki yang berperang.

Arashi7-1

Salah satu retorika gender yang ikut menunjuang militerisasi adalah penggambaran laki-laki yang kuat sebagai pembela dan pelindung perempuan bangsa mereka, dan karena itulah perempuan harus memberi dukungan pada laki-laki sebagai pelindung agar perlindungan itu bisa tetap mereka peroleh. Retorika maskulin ini digoyang dalam debat antara bu guru Inoda dan Arashi dengan anggota polisi khusus di buku ketujuh Summer Storm. Bu Inoda memandang buruk sikap keras kepala melanjutkan perang walaupun sudah dalam keadaan terdesak. Sikap itu justru telah menzalimi para remaja-remaja putri yang kehilangan kesempatan menempuh masa muda yang normal karena telah mngorbankan waktu dan tenaga mereka untuk menyediakan kebutuhan perang. Belum lagi masa depan mereka terancam hancur, entah karena risiko terkena serangan bom pesawat Amerika (yang terus melakukan serangan selama Jepang belum menyerah), atau karena mereka tidak siap menghadapi kemungkinan sulitnya hidup dalam pendudukan negara lain jika Jepang akhirnya benar-benar kalah.

Arashi7-2

Poin kedua mendapat dukungan dari Arashi yang telah melalui dan mengamati bagaimana kondisi Jepang setelah kalah perang. Para pemimpin negara (yang tentu saja kebanyakan adalah laki-laki) yang sebelumnya telah menuntut pengorbanan masyarakat atas nama melindungi bangsa, akhirnya sendirinya tidak berdaya ketika menghadapi berbagai tuntutan dari tentara pendudukan, tidak bisa memberikan “perlindungan” bagi bangsa yang sebelumnya telah banyak mereka umbar. Arashi juga mengkritik penggunaan wewenang sebagai aparat negara untuk seenaknya membungkam seorang perempuan yang notabene merupakan anggota masyarakat “kelas dua”.

Adegan debat dengan polisi khusus itu juga menunjukkan bagaimana maskulinitas dan femininitas juga dapat digunakan untuk mengkonstruksikan ancaman terhadap bangsa. Pandangan ‘radikal’ bu Inoda dipandang sebagai ancaman karena kedekatannya dengan beberapa laki-laki seperti manajer Murayama dan Rintaro (kakak Arashi), yang dianggap penting bagi perjuangan perang Jepang. Dengan kata lain, sebagai perempuan, ia dianggap menjadi godaan yang berpotensi merusak integritas maskulin kedua lelaki tersebut sebagai abdi negara.

Penutup: Tragedi Militerisasi

Arashi7-3(2)

Semangat juang militerisasi bangsa yang dipelihara dengan pemujaan kepada Kaisar, pengendalian informasi, penghasutan kebencian terhadap bangsa asing dan retorika harga diri pada akhirnya berujung dalam lautan api dari ribuan bom yang dijatuhkan oleh pesawat-pesawat B29. Tapi hanya karena propaganda kah ideologi militeristik itu bisa bertahan dengan kuat dan lama? Lebih dari itu, masyarakat Jepang saat itu sudah terkondisikan sedemikian rupa sehingga tidak dapat memikirkan opsi lain selain mengikuti pergerakan militeristik negara saat itu. Dengan kata lain, sekalipun ada kesadaran bahwa pengorbanan-pengorbanan untuk perang itu hanya membuat sengsara, dalam kondisi yang ada mereka tidak tahu hal lain apa yang bisa mereka lakukan selain hanya ikut berkorban dan berjuang bersama-sama orang-orang lainnya.

Dari narasi yang ditampilkan dalam Summer Storm, ada suatu kepasrahan bahwa ketundukan masyarakat Jepang di masa lalu pada militerisme itu sudah bukan hal yang bisa diubah. Dan memang, perjalanan menembus waktu di sini tidak dapat mengubah masa lalu, hanya memastikan bahwa masa lalu itu berjalan sebagaimana mestinya yang sudah terjadi dilihat dari perspektif masa kini. Tapi di sisi lain, percakapan para karakter-karakter zaman perang juga memberikan indikasi bahwa masa lalu itu tidak lebih baik dari masa kini dan tidak perlu diulang. Mereka mungkin memandang generasi masa kini terlalu terlena dengan mudahnya memperoleh berbagai kebutuhan hidup, sementara generasi masa perang harus berjuang mati-matian dalam situasi serba terbatas. Namun di sisi lain, mereka bersyukur bahwa generasi sekarang bisa menjalani hidup masa muda mereka secara normal dan bahagia. Derita di masa lalu cukuplah menjadi pelajaran bahwa kehidupan sehari-hari yang normal di masa kini adalah suatu hal berharga yang harus dilindungi.

Arashi4

Bagaimana Summer Storm merenungkan sejarah Jepang zaman perang terhadap masa kininya adalah salah satu aspek menarik dari komik ini. Narasi sejarah yang dibawanya menampilkan bahwa militerisasi maskulin terhadap seluruh kehidupan bermasyarakat Jepang pada masa itu ternyata masih memiliki celah-celah dan gesekan-gesekan yang mengurangi pesona romantisnya.

KAORI Newsline | oleh Halimun Muhammad

Referensi:

  • Cynthia Enloe (2000), Maneuvers: The International Politics of Militarizing Women’s Lives, Berkeley: University of California Press.
  • Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai persaingan antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, anda dapat membaca paper berikut: Brian Dollery, Zane Spindler, dan Craig Parsons (2003), “Nanshin: Budget-Maximising Behavior, the Imperial Japanese Navy and the Origins of the Pacific War”, (http://www.researchgate.net/publication/5153785_Nanshin_Budget-Maximizing_Behavior_the_Imperial_Japanese_Navy_and_the_Origins_of_the_Pacific_War#)

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses