Ulasan Komik: Summer Storm

0

Arashi8

Seorang bocah SMP bernama Hajime Yasaka dari kota Kure di Hiroshima sedang berlibur ke Yokohama. Di sebuah kedai bernama Hakobune (Bahtera), ia bertemu dengan gadis cantik misterius bernama Sayoko Arashiyama, atau dipanggil Arashi. Arashi ternyata adalah gadis yang hidup di zaman Perang Dunia yang entah kenapa muncul di masa sekarang. Dan saat berpegangan dengan Hajime, ia dan Hajime bisa pergi ke masa lalu. Satu per satu, muncul juga beberapa gadis lain yang memiliki kondisi sama dengan Arashi. Maka Hajime dan orang-orang yang ditemuinya di Hakobune menjadi terlibat dalam sebuah misteri; mengapa gadis-gadis dari zaman perang itu bisa ada di masa kini dan memiliki kemampuan menjelajahi waktu?

Seorang bocah lelaki bertemu dengan gadis cantik di suatu musim panas. Setting seperti itu nampaknya sangat sesuai untuk sebuah cerita komedi romantis. Namun dengan memasukkan unsur penjelajahan waktu yang terhubung dengan zaman perang, komik dengan judul asli Natsu no Arashi ini juga memberikan refleksi mengenai sejarah Jepang saat perang dan perkembangan perubahan masyarakat sesudahnya. Dibuat oleh Jin Kobayashi yang sebelumnya terkenal membuat komik komedi romantis School Rumble, komik ini diserialisasikan di majalah Gangan Wing milik penerbit Square Enix dari tahun 2006 sebelum berpindah ke majalah Gangan Joker hingga tamat di tahun 2010. Komik ini telah diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Elex Media Komputindo sebanyak delapan jilid dari tahun 2010 hingga 2013. Seri anime sebanyak dua season juga telah dibuat oleh studio SHAFT pada tahun 2009.

Artikel ini akan sedikit membahas mengenai militerisasi masyarakat Jepang pada masa perang yang digambarkan dalam komik ini. Artikel ini juga akan memproblematisasikan ideologi militeristik melalui kritik pendekatan feminis dalam ilmu hubungan internasional terhadap militerisasi.

Militerisasi Masyarakat

Melalui perjalanan-perjalanan ke masa lalu dan penuturan karakter-karakter dari masa lalu, komik ini menghadirkan gambaran betapa masyarakat Jepang di masa perang sangat dimiliterisasikan. Para pemuda laki-laki menjadi prajurit dan berperang di negeri yang jauh. Para orang tua merelakan dan mendoakan kepergian anak-anak tersayang mereka ke medan tempur. Kaum intelek memikirkan senjata baru untuk digunakan dalam perang. Perempuan dan anak-anak dimobilisasi ke pabrik untuk membuat keperluan perang, kalau perlu dengan membawa anak atau adik balita karena tak ada yang menjaganya di rumah. Pengurangan jatah listrik dan makanan karena kebutuhan perang diterima. Barang-barang yang memiliki bahan logam dikumpulkan dan dibongkar untuk menjadi bahan baku peralatan kebutuhan perang.

Seluruh daya yang dimiliki masyarakat dikerahkan untuk keperluan perang, diromantisasikan sebagai pengorbanan bahu-membahu untuk bersama-sama mengusung harga diri dan kejayaan bangsa dan Kaisar.

Namun di balik narasi romantis kebersamaan dalam militerisme itu, Summer Storm juga menyajikan narasi di mana terdapat celah dan gesekan yang tersembuyi dalam militerisasi masyarakat. Pengumpulan bahan logam dari barang-barang sipil yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pembatasan jatah listrik dan makanan, sebenarnya menandakan bahwa Jepang sudah semakin terdesak dan habis-habisan dalam perang. Sumber daya yang bisa digunakan Jepang semakin sedikit sehingga harus menyedot dari apa yang dimiliki rakyatnya sendiri.

Arashi6-1

Beban itu pun tidak sepenuhnya ditanggung bersama secara merata, karena adanya stratifikasi sosial yang kuat. Penghematan kebutuhan hidup akhirnya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi kalangan petinggi. Anak-anak yang dimobilisasi ke pabrik dari keluarga yang lebih berbeda tetap merasa posisi mereka lebih istimewa dari pekerja dari keluarga miskin. Anak perwira militer merasa punya kuasa yang bisa dipaksakan kepada lingkungan sekitarnya. Kecemburuan sosial dari kalangan kelas bawah hanya bisa dipendam dalam hati.

Arashi-3

Bahkan kalangan militer pun tidaklah merupakan kesatuan tunggal. Ada kondisi tidak akur, atau bahkan bersaing, di antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kedua pihak memiliki agenda dan kepentingan politik masing-masing terhadap kebijakan pemerintahan dan dukungan kelompok-kelompok industri. Perbedaan di antara keduanya bahkan membuat mereka tidak bisa saling membantu memenuhi kebutuhan peralatan masing-masing karena standar mur dan baut yang digunakan berbeda. Pengorbanan masyarakat untuk bangsa dan negara akhirnya tak lebih dari sekedar tumbal bagi persaingan kepentingan politik di antara kalangan elit.

Arashi8-1

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses