Apakah Penjualan KMT Selama Ini Tepat Sasaran?

0

Para pengguna KRL Commuter Line diakhir pekan yang kita kenal sering “meramaikan” stasiun Tanah Abang adalah salah satu contoh penumpang yang umumnya masih menggunakan THB. Mereka adalah contoh pasar kelompok penumpang yang harus dirangkul dan diajak untuk beralih, dari sebelumnya menggunakan THB menjadi pengguna KMT. Dengan jumlah ibu-ibu beserta keluarga yang beramai-ramai piknik di akhir pekan dan pedagang yang datang dan pergi untuk berbelanja ke pasar sebanyak itu (dalam sehari), jelas akan memberikan dampak yang cukup terasa.

Jika diperhatikan, umumnya banyak diantara pengguna jasa musiman ini yang masih minim akses internet, terlebih untuk mencari informasi terbaru soal KRL Commuter Line beserta hal-hal yang meliputinya. Informasi yang cukup mudah mereka lihat adalah informasi langsung yang ada di stasiun dan umumnya berbentuk penanda (signage) spanduk maupun penyampaian langsung dari staff atau pegawai KCJ. Akan lebih parah jika mereka malas untuk membaca petunjuk atau arahan yang dipasang dan tersedia di stasiun (dan kereta untuk tujuan perjalanan), mengingat saat ini sudah begitu banyak signage beraneka maksud dan arahan yang bertebaran di setiap sudutnya, dan selalu saja bertanya meski arahan dari announcer, PAP maupun PKD berulang kali diteriakkan.

Berbagai cara dapat dilakukan KCJ agar penumpang KRL yang masih menggunakan THB dapat beralih ke KMT. Salah satunya adalah dengan menawarkan secara langsung seperti Sales Promotion Girl (SPG) atau Sales Promotion Boy (SPB) yang menggelar lapak dagangan KMT di dekat loket atau gate elektronik stasiun, menawarkan KMT tersebut secara langsung ke para penumpang. Hal ini bisa dibilang efektif karena mudah diterima dan menarik perhatian masyarakat yang masih minim akses informasi internet. Cara persuasif biasanya cukup berhasil jika targetnya adalah mereka yang memang jarang mendapat informasi terkait KRL Commuter Line.

Selain cara persuasif dan halus seperti diatas, sebenarnya ada lagi cara yang cukup ekstrem meski diyakini hasilnya akan jauh lebih memuaskan. Para pengguna THB harus “dipaksa” untuk menggunakan KMT atau kartu prabayar uang elektronik keluaran bank umum, dengan diiringi hilangnya bentuk THB yang dimaksud. Hal ini sebelumnya dilakukan oleh Transjakarta, dimana para penggunanya diwajibkan memakai kartu uang elektronik, bahkan tanpa Transjakarta harus mengeluarkan tiket jenis tersendiri sekaligus harus menghilangkan tiket kertas secara bertahap. Meskipun awalnya pasti akan terjadi protes yang cukup besar dari pengguna THB, umumnya protes seperti itu diyakini hanyalah sebuah “formalitas” ketika ada sebuah kebijakan baru yang mulai diterapkan. Berangsur-angsur para pengguna THB yang beralih ke KMT bisa dipastikan akan merasakan dampak positifnya dan menyesuaikan dengan keadaan.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah menambah fungsi KMT yang sebelumnya hanya dapat digunakan sebagai tiket KRL dan parkir kendaraan di stasiun, menjadi dapat digunakan untuk berbagai keperluan lainnya seperti naik moda transportasi lain (Transjakarta, MRT dan LRT jika sudah beroperasi) untuk mempermudah integrasi antar moda, membeli barang di toko swalayan atau hal-hal lain yang akan menjadi keuntungan lebih bagi pemegang KMT atau kartu prabayar uang elektronik.

Masih banyaknya pengguna THB, belum terbiasanya penumpang menggunakan C-ViM (Vending Machine) ditambah lambatnya tingkat respon dari alat tersebut membuat antrian pembelian tiket baru, pengisian ulang relasi (resales) maupun isi ulang (top-up) KMT di C-ViM semakin panjang terutama di jam-jam sibuk. Sudah seharusnya para pengguna THB ini beralih menggunakan KMT atau kartu prabayar lainnya karena banyak manfaatnya, sekalipun mereka hanya pengguna mingguan atau jarang naik kereta agar tidak menjadi hambatan yang membuat masyarakat menjadi segan dan enggan menggunakan KRL karena keruwetan suasana dan panjangnya antrian yang terjadi di stasiun.

Hal-hal yang tampak kecil namun menghambat seperti ini diharapkan cepat berkurang atau bahkan menghilang. Jangan sampai kasus ini menjadi pemicu kegagalan memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan massal karena suasana dan keadaan yang kurang kondusif dengan adanya antrian-antrian ini, seperti yang terjadi pada operator Bus Rapid Transit (BRT) ibukota, Transjakarta. Alih-alih sukses menarik minat warga Jakarta dan sekitarnya untuk naik bisnya, Transjakarta sampai saat ini hanya mampu memindahkan pengguna bus lainnya seperti Mayasari Bakti, Metro Mini atau Kopaja untuk menggunakannya, itupun belum optimal.

Cemplus Newsline by KAORI

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses