Cerpen: Mood Maker

1

Cerpen: Mood Maker karya background

mood maker

(gambar: wisdompetals.com)

Ketika kututup pintu kamar kosku, hatiku terasa lega. Pintu itu seakan melindungiku dari semua masalah yang ada di luar sana yang berusaha melahapku bulat-bulat. Kulihat sekeliling, kondisi kamarku tidak terlalu berantakan—meski mungkin ibuku akan menolak untuk masuk—sehingga aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur. Empuknya kasur tercintaku membuatku rileks dalam sekejap.

Kemudian pikiranku melayang ke masalah pekerjaan. Duduk dari pagi hingga sore, mengetik, mengetik, dan mengetik. Aku kagum aku masih waras setelah bekerja di sana selama setahun, dan tidak pernah melakukan kesalahan. Aku memang tipe orang yang sering memperhatikan hal-hal kecil, namun melewatkan sesuatu yang lebih besar. Gajinya lumayan, sehingga aku tidak—atau setidaknya belum—berniat keluar dari tempat itu.

Lamunanku dibuyarkan oleh dering telepon genggamku. Aku menggunakan dering yang sama untuk setiap orang, namun entah kenapa aku tahu kali ini ibuku yang menelponku. Aku tersenyum kecut ketika dugaanku terbukti benar. Kenapa ya? Apa karena aku punya indera keenam, atau dari hawa mencekam yang dikeluarkan telepon genggamku? Atau hanya kebetulan?

“Halo, Bu? Assalamualaikum.”

“Kenapa tadi teleponnya tidak diangkat?!”

“…Hm… Jawaban salam yang lagi ngetrend seperti itu ya…”

“Kamu bilang apa?”

“Nggak… Nggak kenapa-kenapa. Teleponya tidak kuangkat karena tadi aku masih di tengah jalan, Bu.”

Nada suara di seberang telepon itu semakin tinggi, “Ya sempatkan berhenti dong. Aduh, kamu itu… Ibu ingin bicara nih.”

“Tentang apa? Apa kakak berhutang lagi?”

“Bukan! Kamu itu… Ibu baru tahu, temanmu waktu SMA, Malik, menikah kemarin.”

“…Terus kenapa? Aku kesana kok,” jawabku sinis. Aku sudah tahu akan kemana pembicaraan ini berjalan.

“Kok kamu tidak bilang? Ibu juga ingin kesana, menyapa Nak Malik… Istrinya katanya cantik.”

“Hmm.”

“…Kamu kapan?”

“Aah, mulai lagi…”

“Sudah ada perkembangan belum, mencari jodohmu?”

“Belum, Bu… Belum. Kalau sudah aku akan buat pengumuman besar-besaran di Facebook deh.”

“Ibu tunggu. Ibu akan pantau terus Facebook-mu.”

Oi, serius nih?!

“Ngomong-ngomong, gimana badanmu? Sehat-sehat saja kan? Pekerjaanmu lancar kan?”

“Iya Bu, iya… Tenang saja. Kondisi rumah bagaimana?”

Helaan nafas Ibuku terdengar panjang dan terasa menusuk di hatiku, “Yah, masih begitu-begitu saja. Belum terdengar kabar dari kakakmu mengenai cicilan hutangnya. Ibu dan Bapak cuma bisa sabar menanti…”

“Begitu ya…” Terpengaruh Ibuku, suaraku jadi terdengar muram, “aku akan bantu sebisaku, Bu.”

“Iya, terima kasih… Sudah dulu ya, Nak. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Kuletakkan telepon genggamku ke kasur. Kemudian aku menekan keningku dengan ibu jari dan telunjukku. Di rumahku sekarang, situasi sedang tidak enak. Baru saja terungkap kalau kakakku rugi dalam usahanya, dan menerima hutang dalam jumlah yang lumayan. Karena pekerjaan tetapnya bergaji kurang untuk melunasi hutangnya, Ia berlindung di keluarga. Aku, mau tidak mau, harus membantu orang tuaku sebisa mungkin.

Semua permasalahan itu… Itu baru permasalahan eksternal. Bagaimana dengan diriku sendiri?

Kulihat sekitar. Kamarku kosong, hanya ada aku sendirian. Terakhir kali ada temanku yang datang kemari… Entahlah, setengah tahun yang lalu? Temanku itu sekarang pindah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat internet. Aku sebenarnya punya satu teman lagi, namun… Tempat tinggal kami sangat jauh, dan dia orang yang sangat sibuk. Pacar? Haha… Jangan bercanda.

Kesimpulannya, aku kesepian. Kemampuan berkomunikasiku tidak begitu bagus, aku sering salah bicara dan kesulitan menemukan topik untuk bicara dengan orang lain. Itulah penyebab aku menjauh dari orang-orang di sekitarku, tanpa menyadari di masa depan, aku menjadi lelaki kesepian yang tidak punya teman. Sedikit menyesal, namun apa yang bisa kulakukan?

Masalah, masalah, masalah… Dunia seakan membenciku saat ini. Aku ingin bisa menyelesaikan semuanya secepat mungkin, namun apa daya manusia yang kemampuannya terbatas ini? Setelah melakukan semua yang aku mampu, aku hanya bisa pasrah dan berdoa.

Di tengah pikiran-pikiran yang bercampur aduk, aku memutuskan untuk kembali berbaring di kasurku. Beberapa detik kemudian, aku sudah tertidur seperti seorang bayi.

***

Aku terbangun oleh suara TV. Aku tidak ingat menyalakannya, dan aku tidak ingat memainkan Megaman Legends sebelum tidur… Apalagi mengulanginya dari awal, dari ruins pertama.

“M-maling! Maling menghapus save data-ku!!”

“Oh, pagi.”

Kulihat seorang gadis kecil yang mengenakan seragam SD sedang memegang controller PS-ku. Gadis kecil berambut sepunggung ini, pernah kulihat sebelumnya.

“Anna? Sedang apa kau disini?”

“Eeh… Agak panjang menjelaskannya…” Anna menggaruk kepalanya, dengan senyum yang canggung. “aku membolos, dan mengambil kuncimu diibuku… Karena tidak ada tujuan lain.”

“Kenapa kau membolos?”

“Hari ini ada field trip, tapi aku malas ikut. T-tenang aja, Ibu nggak tahu kok!” Dengan agak gugup Anna mencoba meyakinkanku.

“Oh…”

“Kau waktu itu bilang aku boleh mampir kesini kapan saja kan?”

“Iya sih…”

Anna adalah keponakanku, dari kakak sepupuku yang tinggal dekat sini. Aku memang memberikan duplikat kunci kamar kosku ke sepupuku itu, dan aku bilang pada Anna ia bisa mampir kapan saja. Aku tidak menyangka ia akan datang di saat seperti ini. Sebenarnya ingin sedikit kumarahi dia, tapi karena pikiranku yang masih pegal, kuurungkan niatku.

Setelah berkata pada Anna untuk jangan menumpuk save data-ku, aku berjalan ke kulkas untuk mengambil semangkuk macaroni dan sebotol air putih—menu makan pagiku yang tidak sehat. Aku mengambil cuti hari ini, dan besok hari libur nasional, sehingga aku bisa santai sepenuhnya. Setelah makan, kulihat Anna dari kejauhan. Sepertinya ia sedang kesulitan. Mungkin sedang menghadapi boss?

Pikiranku terpusat ke gadis berusia 8 tahun itu. Bukan anak bandel, namun ia memang cukup aktif, dan sedikit tomboi. Aku melihatnya beberapa kali bermain bola dengan anak laki-laki. Kemudian aku juga mengingat kalau aku tidak begitu dekat dengannya, hanya pernah mengobrol sekali dua kali. Setelah menyadari itu, aku kagum padanya. Tentunya aku tidak akan punya muka untuk menemui orang yang tidak terlalu kukenal, apalagi bertingkah seakan kita ini teman dekat, meski kami saudara. Apa ini kelebihan anak-anak, atau memang sifat Anna?

“Aduh, kalah lagi…”

Kudengar keluhan Anna. Tulisan game over terlihat jelas di layar. Lalu terlihat ia mengulangi pertarungan boss itu sekali lagi. Anak-anak… Mereka tidak jauh beda dengan video game itu. Masalah tidak terlalu berarti bagi mereka. Mereka hidup tanpa mengkhawatirkan apapun. Enak sekali…

Layar game over lagi-lagi muncul. Anna memukul pipinya pelan dan mengulang pertarungan lagi. Jiwa gamer dalam hatiku menyuruhku untuk membantu Anna. Tapi, aku sedikit segan berakrab-akraban. Aku tidak benci anak kecil, tapi memang pada umumnya aku kurang suka bersosialisasi kalau itu tidak terlalu penting.

Namun aku tidak bisa menahan keinginan membantu Anna ketika ia mendapatkan layar game over lagi. Aku bangkit dari kursiku dan merebut controller dari tangan Anna dengan agak kasar.

“Sini, kuajarkan cara mengalahkannya.”

Anna hanya diam ketika aku, perlahan tapi pasti, menghajar habis boss kedua game itu. Setelah menang, ia minta padaku untuk mengulangi pertarungan itu.

“Kan kamu yang mengalahkan robot itu! Nggak adil dong kalau bukan aku yang mengalahkannya!” Sanggah Anna ketika kutanya kenapa ia meminta hal itu.

“Oke deh,” Dengan setengah hati ku-load data Anna, dan iapun mengulangi pertarungan boss itu.

Setengah jam kemudian, setelah kalah dua kali lagi, Anna berhasil menang. Ia bersorak gembira dan melempar controller ke depannya. Kemudian, ia menggenggam tanganku dan mengangkatnya ke atas, seperti seorang penonton maniak di konser musik.

“Hei, jangan senang dulu. Setelah ini langsung ada boss lagi.”

“Eh? Beneran?”

Anna langsung mengambil controller yang tergeletak di depannya, dan memasang wajah serius. Wajah itu berubah masam ketika ia kalah. Kali ini, aku tidak merebut controller Anna, namun hanya memberinya bantuan informasi. Dengan bantuanku, setelah kalah sekali lagi, Anna berhasil menang.

“Yeaah!” Anna bersorak, dan—tanpa sadar—aku mengikutinya. Entah kenapa, melihat seorang gadis kecil berhasil melindungi kota dari serangan robot-robot sangat memuaskan bagiku saat itu.

Kemudian, kami berdua seakan jadi zombie video game. Bergantian kami memainkan game itu. Kami bahkan sudah melampaui tempat save data-ku sebelumnya. Setiap berhasil mengalahkan boss, kami tertawa bersama-sama, bagai bajak laut yang berhasil merampok kapal pedagang kaya.

Di tengah pertarungan yang sengit (di-video game, tentu), aku merasakan beban di bahu kananku. Rupanya Anna yang tertidur bersandar di tubuhku. Aku berniat memindahkannya, namun aku takut membangunkannya. Akhirnya kuputuskan untuk membiarkan Anna bersandar, sementara kuteruskan permainanku.

Kemudian, mataku melirik ke arah jendela. Kusadari hari sudah sore. Aku sama sekali tidak menyadarinya. Kusadari juga pikiranku terasa ringan, permasalahan semalam tidak terbayang sedikitpun.

Kenapa bisa…?

Kurasa, beban di bahu kananku ini jawabannya. Aku biasa bermain game ketika stress, namun hal itu tidak terlalu mempengaruhi kondisi mentalku. Malah, terkadang aku bertambah stress karena kesulitan saat bermain.

Namun, hari ini aku terbawa oleh langkah Anna. Kesenangan dari bermain game dengan anak ini jauh lebih besar dari dugaanku. Tubuh yang seringan ini, bisa menghapus segudang kekhawatiranku akan segala permasalahan. Sebuah momen putih kecil di tengah kegelapan, ketakutan akan masa depan yang tak pasti. Momen putih itu—sangat berharga, meski cuma sejenak, meski cuma buatku. Aku ingin menghargai dan menjaga momen itu dengan sepenuh hati, sebisaku.

“Ohh… Om…” Anna mengusap matanya. Ia sudah bangun rupanya, “sudah sampai mana?”

“Hm… Sudah sampai di reruntuhan bawah air. Hebat kan?”

“Wuah! Aku tidur lama juga ya, hehe.”

Kami tertawa bersama, kemudian melanjutkan permainan sejenak.

Menjelang maghrib, aku mengantarnya ke rumah sepupuku. Setelah itu, aku pamit pulang. Namun Anna berlari keluar dan menarik tanganku. Di bibirnya terdapat senyum yang sangat cerah, secerah mentari pagi.

“Besok aku main lagi ya!”

Aku ikut tersenyum, mencoba untuk tidak kalah dari gadis kecil itu, “Boleh.”

Setelah tertawa kecil, Anna berlari masuk ke dalam rumah.

Aku kemudian berjalan pulang sambil menatap langit malam yang tak berbintang. Masalahku sekarang ini, mungkin bagaikan bintang di luar angkasa sana, banyak dan beragam jenisnya. Namun, bukan berarti aku hanya bisa cemberut dan mengeluh. Aku tetap bisa menikmati hidup, bagaimanapun caranya.

…Yah, kurasa aku boleh santai sejenak, kan Tuhan?

***

*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Mood Maker

1 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses