Songfic: Everybody’s Changing

0

Songfic: Everybody’s Changing karya Sychev

everybody's changing(gambar: musicandlyricss.tumblr.com)

Dengan berat hati Okha menutup netbook yang ada di pangkuannya.

Bersamaan dengan ditaruhnya segelas teh peppermint dihadapannya, ia kembali bertanya kepada seorang laki-laki kurus berpakaian rapi yang membawakan minuman tersebut. Laki-laki itu masih memberikan jawaban yang sama, “bloody mojito, tanpa spasi”, katanya, tapi Okha tahu ia harus menyerah saat itu juga.

“Terima kasih,” Okha memberikan kembali netbook berwarna putih yang sudah ia utak-atik selama lima belas menit terakhir kepada seorang remaja berumuran enambelasan yang duduk disebelahnya, “Sama sekali tidak nyambung. Ada dua koneksi dan koneksinya sendiri ada sambungan, tapi no internet access. Sekedar kasih tahu, start-up kamu terlalu berat, harusnya kamu disable sedikit start-up program itu.”

Remaja tersebut memberi isyarat jempol lalu menaruh netbook itu kembali ke ranselnya.

Okha dengan sedikit kecewa menghirup teh peppermint-nya. Biasanya aromanya membuatnya lebih senang, tapi tidak begitu sekarang. Akhir-akhir ini dia tidak bisa mengakses internet, jadi wajar saja jika dia harus kecewa karena sekali lagi dia digagalkan oleh faktor X. Okha tahu penempatannya tidak sedramatis itu, tapi masih ada dua hari lagi sebelum ia bisa menggunakan akses kampus.

Restoran tempat makan Okha malam itu cukup sepi pengunjung, ia tahu walau makanan di resto itu enak enak, faktor malam senin menentukan jumlah bahkan untuk pengunjung resto di Bandung. Bersama dengan jejeran botol kosong dan bekas selai madu, satu dari sekian sedikit resto yang menghidangkan masakan Perancis itu tidak melihat banyak aktivitas. Okha hanya melihat beberapa orang yang sedang berbincang dengan cukup pelan, dan sekumpulan anak perempuan berumur lima-enam tahun yang sesekali berteriak dengan pitch yang sangat tinggi- tapi sepertinya pengunjung yang lain tidak menghiraukan mereka.

Di sebelah Okha, ayah dan ibunya sedang berbincang riang dengan sepasang teman mereka sewaktu kuliah. Mereka terus membahas cerita masa lalu, beberapa diataranya sudah sangat sering Okha dengar, dan topik favorit– membandingkan bagaimana anak pada tahun 70an bertindak jika dibandingkan dengan anak sekarang, pembicaraan yang kurang lebih membuat Okha bereaksi: ‘here we go again.

“Tapi ya, daya juang anak sekarang itu memang jauh dibandingkan dulu,” ulas Ayah Okha dengan nada yang selalu digunakan jika cerita itu akan dimulai, “Dulu kuliah pun susah, kadang malah terpaksa minta dekan.”

“Ada juga cerita seperti ini, misal karena uang jual sawah sudah habis, akhirnya dengan muka melas minta dekan, dekan tanya ‘kamu dari mana?’- ‘saya dari kampung pak.’ – ‘ini awas jangan dipakai jajan’, waktu itu satu semester paling cuma Rp 75.000.”

Gelegar tawa dari seberang meja, mungkin sekarang memang terdengar sangat menggelikan terutama di usia mereka yang sudah menginjak umur 50-an.

“Naik bus juga,” Ayah Okha melanjutkan ceritanya, “Kadang saking gak ada uang terpaksa masuk dulu, lihat ada ceceran karcis dibawah, misal kalau ceceran karcisnya warna hijau, giliran keneknya datang, sebelum dia sampai ke sebelah kursi acung dulu tiketnya, ‘udah bang!’.”

Lagi-lagi gelegar tawa, mereka melanjutkan cerita tentang tukang bubur kacang dan indomie yang ada di depan kampusnya, karena masalah uang, masalah paling akut untuk mereka yang merantau, dan peralihan uang tidak semudah sekarang. Dibahaslah bagaimana masam muka tukang bubur kacang tersebut ketika ia melihat Ayah Okha dan teman-temannya datang karena ia tahu mereka pasti akan berhutang.

“Kemarin kita panggil di reuni di Riau sana, kita kasih duit sekian juta, dia bilang bangga katanya kita udah pada jadi, Yayan nyerocos ‘alah, muka lu dulu sepat banget liat kita’.”

Kali ini tawa datang dari dua sisi meja.

Sementara itu, Okha masih menghirup the Peppermint*-nya, kali ini sambil memandangi anak-anak teman orangtuanya itu, anak perempuan yang paling tua dan seorang lagi yang lebih muda sedang asyik berbincang sambil menunjuk-nunjuk sesuatu di iPadnya, sementara remaja yang meminjamkannya netbook sedang sangat sibuk dengan Blackberrynya, dan adiknya yang paling muda sedang bermain GTA di PSP dimana si dedek kecil percaya kalau ia sedang memainkan “game balap”.

Okha melepaskan nafasnya ke dalam gelas lalu menghirup tehnya kembali.

“Jadi, Okha. Kamu antar Riska ini ke kosannya. Orangtuanya akan langsung lanjut ke Lembang, karena kosnya ada di Jatinangor, yang bawa balik ke kosannya kamu, ya.”

Okha melongo.

Baru saja dengan seenaknya orangtuanya “memaksa” Okha untuk mengantar anak paling tua teman mereka tadi. Mereka sedang berada di pusat kota, sementara Pasteur dan Jatinangor berada di arah yang berlawanan dan cukup jauh. Berarti Okha harus mengantar anak orang yang ia tidak begitu kenal dan harus rela bermacet-macet dijalan dalam prosesnya.

Pada saat ini Okha biasanya mengeluh, ia kadang berbincang pendek dengan ketiga adik anak ini, tapi ia tidak berbincang dengannya. Sementara ia terdiam, mobil Avanza berwarna hitam melesat dari tempat parkir, dan ia melihat ibunya melambai-lambai dari mobil itu, mungkin sambil tertawa.

Pelan, ia menoleh ke belakang, anak itu sedang sibuk dengan iPadnya

“Hhhhh.”

Okha menghembuskan nafas, lalu meraih kunci mobilnya dan mengarahkan remote-nya pada satu-satunya sedan berwarna perak di tempat parkir itu. “Masuk duluan, terserah mau di depan atau di belakang.” katanya pada anak itu.

Anak itu, Riska, lalu meraih pintu kanan belakang lalu masuk. Okha mengangkat alisnya, karena tidak ada siapa-siapa di depan, secara tidak langsung Riska memperlakukannya seperti supir. Tapi toh dia sudah bilang terserah mau duduk dimana, jadi Okha menahan protesnya.

Sudah jam sebelas malam, dan selarut malam itu di Bandung terutama pada malam senin membuat jalanan sangat lengang. Okha keluar parkir tanpa dipandu tukang parkir, jadi ia menaruh kembali uang kecokelatan yang sudah ia raih dari dompetnya kembali ke dashboard, lalu mulai menancap gas menuju Jatinangor.

Sudah dua puluh menit sejak ia berkendara, suara yang ia dengar hanya suara “tak tuk”, suara hantaman pena menghantam kaca, dan alunan piano yang diputar sangat kecil dari speaker mobilnya.

Okha yang sudah tidak tahan lagi mulai membuka mulutnya, “Kamu kok pendiam sekali, ya?”

“Ya, mungkin ya gitu.” jawab Riska dengan pendek sekali

At least say something supaya gue gak ngantuk,” protes Okha tersembunyi dalam tata kalimatnya, “no offense, tapi gue berasa lagi bawa kuntilanak. Ada orang dibelakang tapi gak ngomong apa-apa.”

Tadi memang upaya ice breaking dari Okha, tapi Okha tahu upayanya tidak berhasil untuk kali ini.

“Terus mau ngomong apa?” tanya Riska dari belakang, masih ada suara tak tuk tak tuk yang ikut serta.

“Ya cerita, dongeng, apalah.”

“Kamu aja yang cerita.”

Yaudah, tanya dulu deh.” Okha mencoba bersabar sambil memutar setirnya ke kanan untuk menghindari sepeda motor yang menepi, “Tadi pas orang tua kita bahas soal cerita soal dulu dan banding-banding dengan cerita kita sekarang, kesel ga?”

“Biasa sih, tapi ceritanya diulang terus.”

“Exactly, exactly.”

Okha menyalakan lampu sennya dan menyalip Xenia yang berjalan sangat lambat untuk ukuran jalan malam hari, “Padahal mereka selalu bilang diakhirnya, ‘ya mungkin karena udah beda ya’, kalau pun mereka bilang anak sekarang gak bisa nyangkul, ya mana ada bisa nyangkul karena sawahnya gak ada. Sama dengan dulu gak ada iPad yang dari tadi tak tok tak tok dibelakang itu. Mana ada mereka ngerti begituan.”

Mungkin Riska menangkap sekilas sindiran Okha, suara itu pun berhenti.

“Tapi bisa dibilang hoki lah, orang tua kita. Kalau bahas udah beda, rasanya agak susah masih bisa jadi teman selama itu. Terutama setelah lost contact, sudah ke jalannya masing-masing. Masih bisa bincang-bincang canda begitu, ya, ada bagusnya mungkin.” lanjut Okha berkomentar, setelah ia yakin suara dari belakang sudah berhenti sama sekali.

“Ya, biasa lah orang tua, kalau udah ketemu, nanti juga ya biasa terus bosen sendiri.”

Okha terdiam, mendengar balasan Riska, ia sedikit sadar. Ia ingat bahwa akhir-akhirnya ayahnya yang cenderung humoris dan selalu mengambil perkara dengan ringan sering mengeluh karena dicurangi temannya, sulit dipercaya dia masih begitu carefree apalagi ia rasa orangtuanya dan orangtua Riska tidak begitu dekat dulu.

Bener, tapi gak sesederhana itu.” kali ini Okha membunyikan klakson pada dua sepeda motor yang nampaknya sedang berbincang dan menahan arus dibelakang. “Coba bayangin. Misal ada cerita seperti ini.”

Okha pun mulai berbicara, ia tidak bilang bahwa itu cerita ayahnya, seakan-akan itu memang cerita yang beredar. Ayahnya biasa menangani kasus tanah dan membantu orang-orang yang memang tidak ada uang dikala itu. Suatu ketika ia mendapat notice bahwa ia mungkin akan memenangkan perkara tersebut, tanah yang dimenangkan untuk kliennya bernilai puluhan milyar.

Karena ayah Okha butuh uang, salah satu teman baiknya yang mendengar bahwa ia akan memenangkan perkara tersebut berkata akan membeli perkara tersebut darinya dengan harga tertentu. Dijelaskannya bahwa kasus bisa dibeli dari advokat lain melalui peralihan surat kuasa dengan persetujuan advokat yang menangani kasus pada awalnya. Tapi sialnya, entah karena serakah atau memang butuh uang, begitu teman ayahnya itu menerima data kliennya. Ia berhasil “membujuk” kliennya, yang sialnya sama serakahnya, dengan persetujuan bahwa ia sanggup menerima persenan lebih kecil, toh tanah tersebut sudah pasti dimenangkan. Ayah Okha sempat menangis kadang-kadang di malam hari, bagaimana bisa, kok, dulu yang sering mengingatkan ayahnya untuk shalat dan mengaji bisa berbuat demikian adanya?

“Jadi makin tua, kayaknya semua jadi makin abu. Garis antar teman dan kepentingan itu agak lebih tipis, kalau mungkin gue atau situ masih tau mana yang layak mana yang gak. Makin kesana ini bakal makin susah. Makin ‘dewasa’ orang akan mikir, ‘anak gue makan apa?’, ‘nanti kalau gue udah pensiunan gimana, apa gue bakal ditaruh di panti jompo?’, jadi susah kalau mau bilang kalau orang makin tua itu makin bijak… gue rasa, harusnya bijak itu diganti jadi kata… ‘adaptatif’.”

Tidak ada jawaban dari Riska, mungkin dia juga merasa perubahan di topik yang mendadak jadi agak lebih serius dari sebelumnya.

“Tapi kalau mau bilang adaptasi pun, kita juga sama. Kita sekarang bisa bilang ‘gue orang jujur, gak mungkin gue zalim ke temen gue’, tapi setelah lima, sepuluh tahun, apakah kita masih bisa bilang gitu dengan jujur?”, lanjut Okha, lantunan lagu dengan string yang keras membuatnya terjaga, tapi renungannya membuat ia merasa tidak enak, “Kadang kita dengar kata orang, kadang kita kebawa. Situ mungkin ngerasa juga, kadang apa yang lu lakuin adalah sesuatu yang seorang lu biasanya gak lakuin.

Seperti saat Okha masih dengan riangnya bercanda dengan teman-temannya, ia masih nyaman ketika ia di SMP. Ketika ia sampai di SMA, lingkungannya telah berubah, dan upaya melucunya tidak “selucu” ketika dia di SMP. Orang memberikan cap “sok kenal” padanya. Padahal ia hanya mencoba menjadi ramah, itu saja.

Dan sadar atau tidak, Okha merasa ia tidak selucu waktu ia di SMP. Dan orang-orang yang menjadi rekan bercandanya di SMP seakan hilang begitu saja. Ada dari mereka yang masih sama, tapi mungkin karena Okha tidak merasa perubahan-perubahan kecil yang terjadi di hidupnya, seperti bagaimana temannya tiba-tiba berhenti bermain DoTA tapi tetap datang ke rumahnya hanya untuk berbagi cerita gurau, padahal Okha tahu gurauannya tidak selucu ketika ia di SMP, dan tidak kembali pada saat ia kuliah.

Ia ingat cerita temannya, dia mulai bercerita sesuatu yang pahit yang didengar dari karyawan yang skeptis, “Kamu kuliah apa gak kepake pas kamu kerja nanti, satu-satunya yang ngaruh itu gimana caranya lu jilat bos lu. Dan disaat yang sama lu juga harus hati-hati sama kolega lu yang main senggol kanan serok kiri.” bahkan Okha masih bisa mengingat naik-turunnya suara temannya saat berkata begitu. Temannya juga mengeluh Okha jauh lebih sabar ketika dia SMP, tapi kalau dikritik seperti itu, orang lain pun akan bilang “ya memang begitu adanya.”

“Dan kadang mungkin orang akan nanya, ‘apa ini gue?’, di saat yang sama mereka juga sadar kalau gak semua yang berubah itu bisa dibalikin. Dan teman yang dulunya juga, kalau ada diantara mereka yang akhirnya bersebrangan arah pada akhirnya, kadang si orang itu akan heran, ‘kemanakah temannya yang ada di ingatannya?’ Mati kah? Pindah kah? Gak, jawabannya sederhana, dia cuma gak sadar bahwa seseorang gak bisa jalan di tempat, tapi kadang kalau lu lewatin tempat yang bagus, lu cenderung gak bisa lupa, padahal orang yang nemenin lu saat lu di tempat itu mungkin udah ga ada.“

Okha sudah mencapai ujung Cileunyi, hanya beberapa menit sebelum sampai ke Jatinangor. Mungkin apa yang dia ucapkan cukup bermakna sampai-sampai Riska merenung dalam diam. Tapi Okha belum sampai ke kesimpulannya.

“Kembali lagi, gue rasa akan ada satu masa dimana kalau lu berjalan di arah yang salah, lu akan benar-benar mau pulang. Kembali lagi ke ilmu paku dan tembok tapi, kadang apa yang sudah ditancap disana, walau dicabut juga, si lubang bekas paku itu tetap bakal ada disana… Kosan lu ada dimana, Ris? Kita udah ada di Jatinangor.”

Tidak ada jawaban.

“Riska?”

Okha menoleh kebelakang, dan terdapatlah seorang Riska yang sedang tertidur pulas sambil memeluk iPad.

“Jabingan, tidur dia! Gue ngomong sendiri dari tadi!”

Dengan marah Okha menepi untuk membangunkan Riska, baru saja ia akan berteriak dan mengguncangkan badan anak itu- ketika ia tiba-tiba berhenti, mematikan kunci mobilnya dan menghela nafas. Lalu berbisik, seakan-akan berbisik pada hatinya sendiri,

“You know what? Right now, I miss myself the most.”

*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita :Everybody’s Changing

 

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses