Menilik Perbedaan antara Ekosistem Esports Indonesia dan Malaysia

0
esports indonesia

Indonesia dan Malaysia, 2 negara ibarat kakak beradik yang mirip, punya kedekatan, namun juga tak jarang bertengkar. Indonesia dan Malaysia punya kedekatan dalam hal bahasa, sosial, budaya, dan yang lain-lainnya. Lalu bagaimana soal industri atau ekosistem esports Indonesia dan Malaysia? Apa sajakah perbedaan antara keduanya?

Untuk menjawab pertanyaan tadi, Dylan Chia, MPL Indonesia Marketing Director berbagi ceritanya. Pasalnya, sebelum Dylan fokus menggarap esports MLBB di Indonesia, ia berkecimpung di industri esports Malaysia. Perjalanan kariernya di esports Malaysia berawal dari tahun 2011. Meski sempat hiatus dari esports dan menggarap ekosistem sepak takraw di sana, ia kembali terjun ke esports saat MPL MY/SG  memulai musim pertamanya.

Event dan Fans Esports

Dalam gelaran Grand Final M1 World Championship 2019 (15-17 November 2019) yang digelar di Axiata Arena, Kuala Lumpur, Malaysia, ada tiket masuk yang harus dibayarkan untuk bisa menonton langsung. Tiket 3 hari termurah saat itu dibanderol dengan harga RM55 alias sekitar Rp185 ribu. Total pengunjung (3 hari) yang datang langsung menonton ajang tersebut mencapai 18 ribu orang.

Di sisi lain, Grand Final MPL ID Season 3 adalah satu-satunya gelaran MPL dengan tiket berbayar (Rp60 ribu untuk harga tiket termurah selama 3 hari) dan, faktanya, gelaran ini jadi event paling sepi sepanjang sejarah MPL di Indonesia.

Lalu pertanyaannya, apakah memang fans esports di Malaysia lebih mau mengeluarkan uang untuk menonton langsung? Dylan pun menjawab, “iya, mereka lebih mau keluar uang karena di Malaysia sudah sering event-event berskala internasional seperti tahun ini ada Kuala Lumpur Major untuk Dota 2. Meski memang untuk event-event berskala nasional di sana juga lebih banyak yang gratis ketimbang berbayar.”

Meski, untuk urusan dompet, fans esports Indonesia lebih pelit namun usaha yang dikeluarkan atau semangat yang ditunjukkan oleh para pendukung esports tanah air jauh lebih besar. “Untuk semangatnya, asalkan gratis, fans Indonesia jauh lebih baik ketimbang Malaysia. Saya kemarin sempat terkejut sekaligus terharu saat melihat para pengunjung Grand Final MPL ID S4 (26-27 Oktober 2019) yang rela kehujanan demi menonton jagoannya bertanding.”

Pengunjung Grand Final MPL ID S4 memang tumpah ruah melebihi kapasitas gedung Tennis Indoor Stadium, Gelora Bung Karno, sehingga memang ada banyak sekali pengunjung yang tidak bisa masuk. Dalam 2 hari event, ada 20 ribu orang yang memadati lokasi. Namun, mereka-mereka yang tak bisa masuk tetap bertahan sembari menonton di layar lebar yang disediakan di samping gedung.

Dukungan Pemerintah

Di akhir bulan November 2019 kemarin, Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq merilis sebuah dokumen setebal 144 halaman yang berjudul “Strategic Plan for Esports Development 20202025. Di dalamnya, sang menteri menuliskan rencananya membangun esports negeri jiran selama 5 tahun ke depan. Lalu, pertanyaannya, apakah dukungan pemerintah di sana lebih baik ketimbang dukungan pemerintah Indonesia untuk ekosistem esports? Pasalnya, jika ‘hanya’ sebatas dukungan moril, pemerintah Indonesia juga sudah berulang kali menyatakannya. Bentuk konkret dukungan esports dari pemerintah Indonesia yang sudah terealisasi mungkin hanyalah Piala Presiden.

Dylan tidak bisa mengatakan dukungan pemerintah mana yang lebih baik antara kedua negara namun yang pasti pemerintah Malaysia jelas lebih berani dan frontal dalam membela komunitas esports. “Mungkin karena memang usia menterinya lebih muda dan familiar dengan esports.”

Dari sisi institusi pendidikan formal, di Malaysia ada sebuah universitas yang menawarkan program studi esports, yaitu Asia Pacific University, lengkap dengan sertifikasi buat para peserta didiknya. Sedangkan di Indonesia, pionir untuk esports di institusi pendidikan formal adalah SMA 1 PSKD. Sayangnya, di sekolah tersebut, esports masih jadi sebatas kegiatan ekstra kurikuler. Dalam hal ini,

Malaysia nampaknya lebih unggul ketimbang kita. Universitas tadi benar-benar menawarkan jurusan khusus esports ya — bukan hanya program studi game secara umum karena di Indonesia juga sudah banyak yang seperti itu.

Profesionalisme dan Industri Tadi kita sudah membahas dari sisi event, fans, dan pemerintah. Lalu bagaimana soal profesionalisme dan industri esports-nya? Nampaknya, Indonesia bisa dibilang lebih unggul dalam hal ini.

Jika berbicara soal tim/organisasi, ada sejumlah organisasi esports Indonesia yang sudah melebarkan sayapnya ke luar negeri. EVOS Esports punya tim yang tersebar di 6 negara di Asia Tenggara. ONIC punya tim yang turut serta di MPL PH. RRQ juga punya divisi di Thailand. Bigetron juga sempat punya tim yang ikut serta di MPL MY/SG Season 2. Aerowolf pun punya tim Rainbow Six: Siege di Singapura. Jika berbicara tentang tim esports asal Malaysia, baru Geek Fam yang punya divisi di lain negara, setidaknya di ekosistem esports MLBB. Geek Fam punya tim MLBB yang ikut serta MPL ID sejak Season 4. Namun demikian, di Dota 2, ada Fnatic yang punya basecamp di Malaysia — meski Fnatic adalah tim yang asalnya dari Eropa.

Ditambah lagi, menurut pengakuan Dylan, karena perubahan MPL ID S4 yang jadi sistem franchise timtim MLBB di Indonesia boleh dibilang lebih profesional soal pengelolaan dan manajemen tim.

Sedangkan untuk tim-tim peserta MPL MY/SG, rata-rata pesertanya masih bisa dikategorikan sebagai semi-pro.

Lalu bagaimana jika berbicara soal pelaku industri non-endemic? Saat ini, banyak perusahaan raksasa ataupun bahkan konglomerasi asal Indonesia yang sudah investasi ke esports, seperti Salim Group, Sinarmas, grup Djarum, dkk. Dylan mengatakan, “jumlah perusahaannya mungkin hampir sama, seperti Air Asia, U Mobile (sponsor M1 World Championship 2019), dan yang lainnya. Namun sponsorsponsor di Indonesia lebih berani mengeluarkan dana yang lebih besar.”

Penutup

Akhirnya, dari sisi prestasi, setidaknya untuk MLBB, Indonesia juga boleh dibilang lebih unggul dari Malaysia. MSC 2019 dan M1 World Championship 2019 jadi bukti konkret soal torehan prestasi, demikian juga dari capaian SEA Games 2019 untuk MLBB.

Meski begitu, ada hal-hal lainnya yang mungkin bisa kita pelajari dari ekosistem ataupun industri esports di sana. Misalnya, kenapa Malaysia lebih sering menjadi lokasi event internasional? Apakah dukungan menteri yang lebih vokal di sana memang hanya karena usia beliau yang lebih muda? Atau ada penyebab lainnya? Kenapa juga fans esports di sana lebih rela mengeluarkan anggaran untuk menonton event esports secara langsung?

KAORI Nusantara | Informasi yang disampaikan merupakan sudut pandang pihak pemberi siaran pers dan tidak mewakili sudut pandang maupun kebijakan editorial KAORI.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses