Presentasi seputar kawaii fashion oleh Japan Foundation, Jakarta, 4 November 2014. (SM)
Jelang Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015, Cool Japan, program pemerintah Jepang untuk menyebarkan kebudayaan Jepang ke seluruh dunia terus bergulir. Apalagi, Jepang akan menjadi tuan rumah Olimpiade untuk yang kedua kalinya pada 2020 mendatang.
Perdebatan menghangat di dalam negeri Jepang dan salah satunya dirangkum dalam buku Cool japan wa naze kirawareru ka (Mengapa Cool Japan Dibenci?) yang terbit beberapa bulan lalu. Bahkan para pendukungnya sendiri kebingungan bagaimana menjawab, “apanya yang ‘cool’ dari Jepang,” dan apa tujuan program ini sesungguhnya.
Dana sebesar 39 miliar yen (4,2 triliun rupiah, sebagian besar dana swasta) disiagakan khusus untuk membantu ekspansi soft power Jepang di luar negeri. Dana tersebut tidak dipergunakan sama sekali untuk mengembangkan ekonomi kreatif di dalam negeri Jepang, tetapi ditanamkan pada perusahaan seperti Tokyo Otaku Mode (TOM) dan Daisuki Inc.
Tokyo Otaku Mode adalah situs jejaring sosial sekaligus toko online yang membantu mendistribusikan barang yang bertemakan budaya pop kontemporer Jepang. Sedangkan Daisuki adalah situs streaming anime legal yang bulan November lalu bermitra dengan Bandai Namco, Asatsu-DK, dan Aniplex untuk membentuk Anime Consortium Japan. Langkah kedua perusahaan ini cukup agresif, contohnya diwujudkan dengan partisipasi mereka pada acara Festival Anime Asia Indonesia yang berlangsung pada 15-17 Agustus lalu.
Kedua perusahaan ini mendapatkan modal yang tidak bisa dibilang kecil. TOM pada bulan September 2014 lalu diguyur dana sebesar 1,5 miliar yen (165 miliar rupiah) dan Anime Consortium Japan diguyur dana 1 miliar yen (110 miliar rupiah.)
Selain kedua perusahaan itu, Dentsu, perusahaan periklanan dan media Jepang, juga melancarkan langkah agresif. Dentsu tahun depan merencanakan untuk menyelenggarakan konser artis Jepang di negara seperti Taiwan pada Mei atau Juni 2015 dan selanjutnya di Indonesia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Cosplay dalam Festival Anime Asia Indonesia 2014, 15 Agustus 2014. (SM)
“Kami ingin menembus Amerika Serikat,” ujar Etsuko Hiramine, pejabat Dentsu sekaligus perwakilan dari Japan Night Executive Commitee. “Tetapi musik (di Amerika) berbeda dengan di sini (Jepang). Kami ingin sukses di negara lain selain Jepang dan memiliki branding yang lebih baik.”
Hiramine optimis mereka bisa menembus Amerika Serikat dan Britania Raya, negara dengan budaya dan industri musik yang sangat majemuk, pada 2017 atau 2018, tepat sebelum Olimpiade.
Tidak hanya musik, di sisi lain fashion pun ikut dibidik. Gaya gyaru yang menunjukkan keinginan wanita Jepang mendobrak pakem masyarakat pada awal kemunculannya, di bawah arahan Susume Namikawa, pimpinan kreatif Asia Kawaii Way’s diolah menjadi ekspor budaya. Namikawa membawahi 30 staf Dentsu yang sebagian besar di antaranya adalah wanita. Dentsu meluncurkan program Gal Labo Asia untuk mengonsolidasikan presentasi kawaii fashion dan produknya baik di Jepang maupun di Asia pada umumnya.
Misi Asia Kawaii Way’s cukup ambisius yakni menggabungkan tiga kutub berbeda, yaitu cosplay, fandom anime dan manga, serta gyaru dalam kemasan yang bisa dijual keluar Jepang.
“Sekarang apa yang dulunya disebut gyaru kini berubah menjadi gal, yang lebih menyenangkan dan cerita. Kami menanyai para wanita akan pengalaman mereka sebab merekalah yang paling tahu apa yang sekarang ini sedang terjadi. Beberapa tahun lalu, cuma ada gyaru fashion. Sekarang apa yang ada di jalanan Shibuya berbeda dari di Harajuku, apalagi Akihabara. Kami memulai proyek Gal Labo pada 2010 untuk mengetahui bagaimana menggabungkan semua fashion itu ke dalam kemasan kawaii Jepang.”
Namikawa menjelaskan bahwa kini produk-produk kecantikan yang seluruhnya buatan Jepang, kini sudah dijual di pusat perbelanjaan di Asia Tenggara. “Kami menyelenggarakan sesi pemakaian kosmetik pada booth kami di acara-acara di Singapura dan Indonesia. Antusiasmenya sangat meriah. Lalu, kami juga membuat peragaan busana dengan model amatir dari Jepang yang mudah ditiru, rill, dan tentu saja menyenangkan.”
Acara peragaan busana bernama “Marble Wonderland” ini membawakan busana dari jalan-jalan di Tokyo yang mewakili unsur kawaii dan menampilkannya dalam satu panggung. Di Indonesia, peragaan kawaii fashion sudah ditampilkan dalam Jakarta Fashion Week yang diselenggarakan akhir Oktober lalu.
Melihat gencarnya Jepang memasukkan kebudayaannya ke berbagai negara termasuk Indonesia, hal ini menimbulkan dua hal yang menarik dipikirkan. Bagaimana Jepang mampu bertahan dengan strategi budayanya yang sangat fokus bertumpu pada konsep kawaii, baik yang dua dimensi (anime) maupun yang tiga dimensi (fashion), dan bagaimana strategi budaya Indonesia menghadapi gencarnya kampanye soft power yang tidak hanya dilakukan Jepang saja, melainkan juga negara lain seperti Korea Selatan dan Inggris.
KAORI Newsline | sumber | Litbang KAORI