Tidak terasa tahun 2019 akan segera berakhir. Setelah bagian sebelumnya membahas 8 tren menarik yang terjadi di dekade ini, artikel ini akan lanjut membahas 7 tren menarik lain yang terjadi dalam satu dekade kebelakang dalam kilas balik pop culture Jepang satu dekade.
Seperti yang telah disampaikan pada artikel sebelumnya, daftar kilas balik pop culture Jepang satu dekade ini merupakan hasil kurasi internal tim Litbang KAORI Nusantara yang dilakukan selama 2 bulan terakhir. Hasil kurasi kilas balik pop culture Jepang satu dekade ini tidak merepresentasikan pandangan KAORI Nusantara sebagai media secara keseluruhan dan sebaiknya tidak diperlakukan sebagai daftar kilas balik pop culture Jepang satu dekade yang saklek, melainkan sebagai sebuah pijakan untuk melakukan diskursus fandom Jejepangan secara keseluruhan. Meski begitu, daftar-daftar yang ada di sini telah diambil melalui proses diskusi yang panjang dan mencakup berbagai pertimbangan. Apabila merasa ada hal yang terlewatkan oleh tim Litbang KAORI Nusantara, jangan ragu untuk menyampaikannya di kolom komentar.
Bagian pertama artikel Kilas Balik Dunia Pop Culture Jepang Dekade 2010-an dapat dibaca di sini.
Berikut adalah daftar kejadian-kejadian menarik yang terjadi di dekade 2010 – 2019, dirangkum dalam kilas balik pop culture Jepang satu dekade:
Dimulainya Era Reiwa (oleh Dany Muhammad)

Pada 1 Mei 2019, Kaisar Akihito secara resmi mengundurkan diri sebagai Kaisar Jepang digantikan oleh putranya, Naruhito. Pergantian ini juga menandai dimulainya era baru bagi masyarakat Jepang. Per 1 Mei 2019, era Heisei secara secara resmi telah telah berganti menjadi era Reiwa. Nama Reiwa sendiri dirumuskan dari kumpulan puisi ‘Manyoshu’, kompilasi puisi tertua yang dimiliki Jepang. Karakter pertama “rei” melambangkan “Keberuntungan” dan karakter kedua “wa” melambangkan “perdamaian” atau “harmoni”.
Pergantian nama era atau gengo merupakan hal yang diperingati secara rutin di Jepang. Nama era tersebut digunakan dalam kalender kekaisaran Jepang yang masih digunakan di Jepang sebagai alternatif kalender Gregorian, kalender umum digunakan di dunia. Umumnya, nama era berganti tiap terjadinya pergantian pimpinan kekaisaran Jepang, meski di masa lampau pergantian nama era juga pernah dilakukan apabila terjadi hal-hal khusus seperti bencana alam atau krisis tertentu. Semenjak terbentuknya kekaisaran Jepang, sudah ada 250 nama era yang digunakan.
Pergantian era ini menarik untuk disimak. Melalui nama Reiwa, ada harapan kepada arah pemerintahan Jepang ke depannya, yaitu harapan pada Jepang untuk memperoleh kemakmuran dalam perdamaian. Setelah era heisei yang dilewati dengan berbagai ketidakberuntungan seperti krisis ekonomi tahun 90-an dan beberapa bencana alam seperti gempa dan tsunami Fukushima, wajar apabila masyarakat Jepang berharap era Reiwa ini akan dilalui dengan lebih baik.
Pasang Surut Industri Novel Visual (oleh Widya Indrawan)

Pada tahun 1980-an, sebelum console game mendominasi industri gim, PC merupakan platform yang terkuat dengan genre dominannya adalah novel visual. Genre ini mulai populer karena visualisasi yang bagus, tidak memakan spesifikasi yang berat, dan mudah dimainkan.
Era sekarang merupakan zaman di mana mobile game atau disebut mobage sangat digemari berbagai kalangan karena kepraktisannya, dibandingkan dengan novel visual yang memerlukan waktu dan hanya bisa dimainkan di satu tempat, yaitu PC. Era ini tidak bisa dihindarkan dan menjadi penyebab peminat dari industri ini menurun. Namun, industri novel visual sendiri masih bertahan sampai sekarang.
Seperti bisa dilihat dari tabel di bawah, yang menunjukkan bahwa tren puncak novel visual mulai naik adalah sejak tahun 2003, di mana jumlah gim visual novel yang terjual sebanyak 9.500.000 unit. Bahkan Hirameki International (salah satu perusahaan yang membawa novel visual Jepang ke Bahasa Inggris) mengatakan bahwa penjualan tahun 2006 saja memenuhi hampir 70% gim-gim yang rilis di tahun tersebut. Tetapi dengan semakin berkembangnya teknologi, novel visual yang dirilis khusus untuk ponsel pintar meningkat, di mana banyak produsen novel visual mulai merilis game mereka untuk platform ponsel, terutama iOS dan Android, seperti Hatsuyuki Sakura dari Saga Planets ataupun Suika dan Da Capo dari Circus. Namun, tentu saja port novel visual tidak hanya dirilis untuk ponsel saja tetapi juga untuk konsol, seperti Hello Lady dari Akatsuki Works yang dirilis di PS4, dan seterusnya.

CEO dari Sol Press, Michael Valdez, mengatakan bahwa suatu novel visual mengalami proses produksi yang panjang di mana mereka harus melokalisasi konten yang ada selama 6 bulan dan harus melampaui target penjualan. Ini juga dibuktikan dengan proses produksi novel visual yang panjang, mulai dari perencanaan skenario sampai merilis novel visual mereka yang terkadang hari perilisannya bisa diundur demi menyempurnakan novel visual yang akan dirilis. Salah satu contohnya seperti novel visual dari Cabbit yang berjudul Kagi wo Kakushita Kago no Tori yang mengalami pengunduran selama 2 kali.
Di Jepang sendiri industri novel visual ini masih dibilang cukup stabil meskipun tren mobage mulai naik sejak 2015 berdasarkan tabel di atas sebelumnya. Hal itu dibantu juga dengan data dari jumlah toko yang menjual novel visual ini, yang memberi harapan bahwa industri ini dapat bertahan untuk beberapa tahun ke depan. Di mana bisa dilihat bahwa daerah Osaka, Tokyo, dan Aichi mempunyai jumlah toko novel visual yang sangat banyak.
Sedangkan industri novel visual di dunia barat cukup mengalami perubahan signifikan di mana sudah banyak novel visual yang sudah rilis dalam bahasa Inggris secara resmi di Steam, seperti yang terbaru ini ada Ao no Kanata no Four Rhythm yang dibawakan oleh Nekonyan, Bokuten – Why I Became a Angel (Boku ga Tenshi ni Natta Wake) yang dibawakan oleh Mangagamer, Winter Polaris dari stage-nana yang dibawakan oleh Sekai Project, dan lain-lainnya.
Investasi Cool Japan Fund yang Dikritik karena Belum Maksimal (oleh Halimun Muhammad)

Douglas McGray memang telah menulis tentang budaya populer sebagai sumber pengaruh baru bagi Jepang setelah pamornya sebagai kekuatan ekonomi dunia mulai memudar di tahun 2002. Namun pemerintah Jepang nampaknya baru benar-benar gencar berupaya memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan diplomasi publik dan kemudian kepentingan ekonomi juga di dekade 2010-an. Awalnya melalui Kementerian Luar Negeri, kemudian melalui Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri, juga dengan menyelenggarakan Cool Japan Fund bersama pihak swasta untuk berinvestasi pada proyek-proyek mempromosikan budaya Jepang di luar negeri.
Namun beberapa artis dan seniman seperti Gackt atau Takashi Murakami mengambil jarak dari agenda Cool Japan, sementara proyek-proyek yang dibiayai Cool Japan Fund banyak yang tidak menunjukkan hasil yang jelas sehingga dianggap menghamburkan uang pajak. Mengingat kembali pada dasarnya wacana Cool Japan memiliki nuansa politik identitas, untuk menjaga Jepang tetap relevan dalam panggung ekonomi-politik dunia sementara pesaing-pesaingnya di Asia berkembang dengan lebih pesat, wajar jika ada keraguan apakah politisi Jepang memang perhatian dan komitmen kepada budaya populer, ataukah mereka hanya peduli karena saat ini hal itu sedang menghasilkan profit dan sekadar ingin ikut mengambil keuntungan darinya.
Apalagi di sisi lain, berkebalikan dengan citra gaul yang ingin dibangun, animator-animator yang mengerjakan anime banyak yang bekerja dalam kondisi yang tidak bisa dibilang gaul, dengan jam kerja yang memberatkan dan dengan upah yang kurang layak. Bahkan para pelaku yang memiliki pengalaman bekerja memproduksi animasi dalam proyek anime ada yang tidak merekomendasikan pekerjaan itu.
Artikel kilas balik pop culture Jepang satu dekade KAORI Nusantara bagian kedua berlanjut di halaman kedua.