Lima Sebab Industri Animasi Indonesia Tidak Maju-Maju

3

animasi indonesia

Indonesia saat ini disesaki dengan berbagai animasi luar. Misal Doraemon dari Jepang, Upin Ipin dari Malaysia, dan Pororo asal Korea Selatan. Lalu di negara yang banyak anak-anak dengan belasan stasiun televisi, mengapa sulit sekali industri animasi lokal untuk berjaya di negeri sendiri? Teknopreneur mengungkap beberapa poin penting di balik gersangnya animasi lokal di negeri sendiri.

1. Masalah rating

Donny Sugeng Riyadi, Production Assistant Dreamtoon Animation Studios (bagian dari Emtek Group), sukses membuat seri Keluarga Somat di Indosiar. Menurutnya, animasi dengan sinetron atau FTV yang bisa dinikmati pula oleh remaja dan dewasa. Karenanya menayangkan program animasi masih menjadi sebuah “gambling” bagi stasiun televisi apakah akan meraih rating maupun share yang memuaskan atau tidak.

2. Orientasi uang karena studionya terafiliasi televisi

Walau Dreamtoon terafiliasi dengan Indosiar dan SCTV, mereka tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka mendapat peringatan saat rating atau share penonton mereka turun dan hal ini berisiko besar, karena mungkin saja kontrak pengerjaan mereka dipotong jumlah episodenya atau bahkan programnya dihentikan sama sekali.

Alfi Zachkyelle, Co-Founder Kampoong Monster Studios dan pernah memproduksi film animasi Vatalla sang Pelindung, mengkhawatirkan perusahaan in-house televisi yang nantinya mengakuisisi studio animasi independen, menyebabkan langkah mereka terpaku dengan aturan-aturan bisnis.

“Padahal mungkin saja mereka memiliki gagasan yang lebih bagus lagi dalam menghasilkan sebuah film animasi,” ungkapnya.

3, Lemah di sisi manajemen

Rina Novita, Executive Director DNA Creative Production, mengungkapkan kelemahan di studio animasi lokal yang tidak berpikir jauh bagaimana hitungan bisnis mereka, serta menyinggung perilaku pembuat karya yang “cepat puas” dan tidak mencoba menyusun strategi dengan ahli manajemen. Donny mengakui hal ini.

“Ada animasi yang pengerjaan satu episodenya sangat lama, bisa sampai tiga-empat bulan. Kalau yang seperti ini masuk industri, gawat.”

4. Lebih murah beli animasi impor

Membuat animasi pendek 7 menit membutuhkan biaya 42 juta rupiah. Bandingkan dengan animasi impor yang harganya sangat murah, hanya 10 juta rupiah per episode.

5. Pemerintah lepas tangan

Menurut Rina, pemerintah tidak berperan sama sekali dalam mendukung animasi lokal. Simak Korea Selatan yang menerapkan kuota 30 persen wajib animasi lokal di televisi atau Jepang yang mana animasi luar sangat sulit untuk bisa masuk ke televisi nasional. Industri animasi Malaysia misalnya, juga dibantu dengan Multimedia Development Corporation (MdeC)  yang serius sekali ingin memajukan industri animasi negara mereka.

“Kalau hanya training-training, terima kasih. Tidak akan memberikan efek apa-apa,” ungkap Rina.

 KAORI Newsline | sumber

3 KOMENTAR

  1. Padahal animasi lokal itu cukup banyak yg berkualitas
    Sya suka melihat animasi adit sopo jarwo. Animasi nya smooth, desain lingkungan terlihat nyata, dan animasi sudah memiliki ekspresi wajah yg sudah mantap, terlebih software yg d gunakan itu gratis (open source)
    Ya tapi memang terkendala oleh lamanya waktu produksi per episode
    Semoga animasi lokal lebih dan makin berjaya lagi!

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses