Comic Frontier 20 (Comifuro 20) akan hadir pada 24-25 Mei 2025. Comifuro kali ini, entah mengapa, di-branding dengan nama Comifuro XX. Mungkin seperti slogan sebuah situs X, X makes it cool. Setelah lima kali di ICE, Comifuro masih menyimpan sejumlah masalah yang berpotensi menjadi besar apabila tidak segera disadari dan diselesaikan. Marahnya beberapa circle yang menuding keberadaan konser sebagai hal yang menurunkan omset penjualan mereka sebenarnya hanya sebagian kecil dari segudang masalah yang sudah terakumulasi menjadi bom waktu dan menunggu meledak di CF XX.
Baca Juga: Laporan Comifuro 19 Day 1: Seru-Seruan di Tengah Hujan
Comifuro 19 adalah acara pertama yang menghadirkan konser. Dengan bintang tamu yang dibawa oleh sponsor acara, hal ini tentu menjadi angin segar. Ini menandakan ada usaha untuk bisa menggaet pengunjung baru atau memberikan nilai tambah kepada pengunjung setia Comifuro. Tetapi, sebagaimana konser artis Jepang lainnya di Indonesia, konser artis “tier 2” atau “tier 3” tampak tidak cukup efektif untuk benar-benar menggaet jumlah massa secara signifikan. Keterisian area konser yang terisi kurang lebih 40-50 persen tentu menimbulkan pertanyaan, apakah cost benefit yang dilakukan telah sebanding, terlepas apakah konser tersebut dibuat secara swakelola oleh Comifuro atau menggandeng pihak ketiga sebagai promotor dan penyelenggara. Amat sangat disayangkan, mengingat kualitas setup area konser yang di atas rata-rata dan jauh lebih baik dari segi tata suara dan tata cahaya dibandingkan konser, misalnya, seperti di AFA ID.
Selain menjadi inovasi yang harus diapresiasi, menyelenggarakan konser sebenarnya tidak benar-benar menyelesaikan masalah landainya pengunjung Comifuro. Apabila Comifuro 15 menjadi rujukan awal dengan lompatan pengunjung dari 13 ribu tahun 2020 menjadi 20 ribuan sehari pada 2022-2023, maka landainya jumlah pengunjung Comifuro 19 menjadi suatu lampu kuning. Ada kemungkinan ke depannya pengunjung Comifuro di hari pertama akan stabil atau stagnan di angka 20-25 ribu orang. Ini berarti ada glass ceiling, langit-langit kaca, di mana ada masalah fundamental yang harus segera diselesaikan atau yang harus didisrupsi.
Maka hal tersebut membawa kita untuk mengevaluasi hal ini: mengapa orang tidak mau ke Comifuro? Mengapa orang enggan untuk datang ke ICE? Atau mengapa orang tetap mau ke ICE meskipun mahal, jauh, dan melelahkan? Hal ini bisa dijawab dengan melakukan survei kepuasan pelanggan. Namun untuk membuka wawasan, ada baiknya kita sejenak melihat situasi Comiket selaku acara yang menginspirasi Comifuro.
Kisah dua acara pasar komik yang kesulitan bersaing
Berkaca dari pengalaman saya saat mengunjungi Comiket, dengan segala pesonanya, Comiket di tahun 2024 adalah acara pasar komik yang sedang berjuang untuk bertahan. Comiket digempur oleh perkembangan zaman: distribusi digital, acara Only-event (acara kecil-kecilan dengan pelapak 100-500 meja), sistem online order, berlangganan (Fansly atau Patreon). Kalau buat baca doujinshi saja sekarang bisa dilakukan di rumah tanpa perlu dijemur panas-panasan, kenapa harus repot-repot? Apalagi tiket Comiket sekarang berbayar, tidak lagi gratis seperti dahulu. Bahkan menjual meja saja susah. Sekarang circle diizinkan membeli meja untuk dua hari, asalkan berbeda fandom. Atau membeli dua meja untuk berdagang dalam satu hari. Padahal dahulu dibatasi hanya satu hari dan satu meja saja. Harga mejanya pun mahal, sekitar 8 ribu yen per meja (800 ribu rupiah).
Konteks tersebut harus dilihat dalam situasi skena doujinshi Jepang yang sudah dewasa, sudah mature dan saturated. Kita lihat dari segi partisipan. Di Jepang, sudah tersedia infrastruktur hulu ke hilir untuk sebuah pasar doujinshi. Pelapak tidak perlu repot-repot membawa barang dan mobilnya ke venue. Cukup hubungi vendor percetakan seperti Sun Group atau perusahaan doujinshi insatsu lainnya. Datang di hari H, buku sudah siap dijual. Buku tidak habis? Bawa ke perusahaan pengiriman seperti Yamato yang sudah siap mengirim kembali buku ke alamat yang diinginkan. Biaya cetak buku di Jepang pun jauh lebih rendah dibandingkan di Indonesia, dengan kualitas kertas yang beragam dan bervariasi.
Adalah mimpi di siang bolong, berharap acara pasar komik bisa semakin penuh berisi circle yang jualan komik, kalau ekosistemnya tidak terbentuk dan biayanya tinggi. Kalaupun ada, harga bukunya jadi sangat mahal. Sulit menjual murah karena harus memperhitungkan biaya biaya logistik hanya untuk sekadar berjualan di Comifuro.
Apabila hal ini diselesaikan, yang terangkat tidak hanya Comifuro, tetapi juga akan menyelesaikan suara-suara nyinyir sumbang seperti yang beberapa waktu lalu menulis komik Indonesia ada dan tiada (meskipun sebenarnya ini lagu lama yang sudah diputar dari awal 2000-an).

Uang dan energi habis duluan sebelum sampai di Comifuro
Kembali ke Comiket sedikit. Sebagai pengunjung, datang ke Comiket, yang notabene masih berlokasi di kota Tokyo proper, sangatlah melelahkan. Setelah sampai venue, harus ikut acara baris-berbaris selama 1-2 jam. Apalagi datang ke Cisauk, yang mana pengalaman perjalanannya bisa dibandingkan seperti saat pergi ke acara yang diselenggarakan di Makuhari Messe. Jarak dari stasiun Kaihinmakuhari ke stasiun Tokyo adalah 42km, berbanding jarak stasiun Cisauk ke Tanah Abang sepanjang 32km. Bagi yang biasa naik KRL, bepergian 30an km dari Jakarta atau 70an km dari Bogor mungkin hal yang tidak terlalu melelahkan. Tetapi bagi banyak orang yang tidak terbiasa berjalan jauh dengan angkutan umum, naik KRL sangat menguras energi. Pilihan lain? Naik taksi dengan biaya 150an ribu rupiah belum termasuk tol. Akibatnya, untuk bisa menikmati Comifuro, sejumlah orang memilih menginap di dekat ICE. Itu berarti uang yang harusnya bisa dibelanjakan untuk mendukung kreator komik lokal, terpaksa dihabiskan untuk kamar, apartemen, dan biaya taksi, serta biaya logistik beserta perintilannya. Ini belum memperhitungkan peserta yang datang dari luar Jabodetabek. Celakanya, harga tiket Comifuro terus merangsek naik, dari 50 ribu saat Comifuro 15 menjadi 75 ribu di Comifuro 19. Besar dan mahal sekali perjuangan untuk berbelanja di Comifuro.
Adalah mimpi di siang bolong, berharap acara pasar komik bisa menghasilkan bisnis yang baik dan menjadi ajang apresiasi kreator komik lokal, kalau uangnya sudah habis duluan sebelum sampai ke event.
Apabila tidak ada tempat lain seperti di ICE, hal yang bisa dilakukan adalah mengurangi friksi untuk menuju Comifuro. Buatlah shuttle dari tengah kota. Buat yang mau naik KRL, sudah dilayani dengan shuttle bus. Tetapi untuk yang tidak sanggup naik KRL namun punya daya beli sedikit di atas rata-rata, shuttle bus dari tengah kota akan sangat membantu menghemat pengeluaran. Dengan biaya perjalanan misal 40-50 ribu sekali jalan (100 ribu PP), duduk di dalam bus yang nyaman akan sangat membantu mengurangi pengeluaran untuk menginap di hotel. Serahkan hal ini pada swasta atau perusahaan bus, yakinkan bahwa pasarnya besar, dan iklankan dengan masif sehingga banyak orang yang tahu.
Kembali lagi pada Comiket. Selaku acara pasar komik, sesi jualan seharusnya sudah selesai pada pukul 5 sore dan area benar-benar bersih pukul 6 sore. Bahkan Comiket saja sudah tutup jam 16:00 sore (16:30 di hari pertama). Sempat ada suara-suara kritik yang mengatakan harusnya Comifuro sampai malam sekalian. Saya berpikir sebaliknya. Apabila acara jualan selesai sore hari, orang masih punya tenaga untuk pulang ke rumah, masih punya waktu untuk bercengkrama bersama teman-temannya, dan masih bisa beristirahat untuk datang lagi esoknya atau kembali bekerja. Panitia pun bisa cukup beristirahat dan melayani pengunjung dengan baik. Tidak semua pengunjung Comifuro punya privilege untuk bisa cuti di hari Senin. Bagi yang menonton konser, konser bisa open gate lebih awal, serta dimulai tepat waktu pukul 18:00. Selesai konser, masih ada kereta atau bus terakhir untuk balik ke rumah.

Dengarkan suara pengunjung
Sebenarnya masih cukup banyak PR yang bisa diselesaikan dan jawabannya sudah ada di depan mata. Di media sosial, di Discord, dan dari suara pengunjung yang langsung menyampaikan pendapatnya kepada panitia. Wayfinding yang menurun kualitasnya, masalah sinyal telekomunikasi yang jelek sehingga orang gagal bertransaksi, kurangnya antisipasi saat hujan deras, katalog web yang masih kurang optimal, dsb. Belum lagi cedera reputasi karena ulah pihak ketiga, seperti kasus “jebolnya” situs milik mitra penjualan tiket, yang berdampak pada reputasi acara secara tidak langsung.
Hemat saya, konser sah-sah saja tetap ada, namun sebaiknya tidak menjadi jualan utama, melainkan cukup sebagai penarik magnet pengunjung. Biarkan Comifuro tetap menjadi doujin market dengan target segmentasi pengunjung yang jelas. Meskipun “berubah haluan” menjadi seperti Comic Fiesta atau Anime Expo terlihat menggiurkan, hal tersebut sebenarnya menjadi distraksi. Waktu dan tenaga yang bisa diluangkan untuk memperbaiki hal fundamental justru malah akan habis untuk mengurusi birokrasi mendatangkan artis konser, mengurusi panggung, mengurusi FOH, dan mengurusi riders-nya yang terkadang unik-unik.
Menerima kritik memang tidak mudah. Tapi demikianlah risiko bekerja di usaha yang berhubungan dengan pelayanan. Pengunjung Comifuro yang sudah membayar tiket cukup mahal tentu berharap pelayanan yang baik dan profesionalitas dari penyelenggara. Penguatan sisi perencanaan dan evaluasi mutlak diperlukan serta dibutuhkan komitmen kuat dari top management untuk berubah. Berubah ke yang lebih baik dengan benar-benar memperbaiki sesuai harapan pengunjung, bukan asyik menyelesaikan yang sunnah atau tidak penting-penting banget dan meninggalkan yang wajib serta seharusnya diperbaiki.
Perhitungan aspek bisnis hendaknya tidak melupakan bahwa kita melayani manusia, melayani orang yang punya hati dan yang ingin didengar, diperhatikan, dan dipenuhi ekspetasinya. Jangan sampai hari esok justru lebih buruk dari hari kemarin.
Semoga di Comifuro ke-20 (Comifuro XX), penyelenggara tidak “salah jalan” dan “salah belok” sehingga acara Comifuro ke depan menjadi acara yang lebih baik lagi untuk seluruh pihak, pengunjung, penjual, dan pengisi acara. Seraya berdoa kepada Tuhan, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, bukan jalan yang dimurkai dan jalan yang tersesat.
Baca Juga: Apa Beda Comiket Setelah Pandemi? Kami Mewawancarai Pemimpin Comiket