Bayangkan Anda sedang menonton acara anime, dorama, siaran berita favorit di Fuji TV. Biasanya, acara-acara dengan rating tinggi akan dijejali iklan. Namun tiba-tiba segalanya berubah: iklan-iklan perusahaan besar menghilang, program lokal kehilangan sponsor, dan nama Masahiro Nakai — mantan anggota grup legendaris SMAP — jadi pembicaraan nasional di Jepang. Inilah realitas Skandal Fuji TV yang mengguncang Jepang sejak Januari 2025. Bagaimana kasus pelecehan seksual ini merobek tabir budaya toxic di balik layar kaca televisi Jepang? Mengapa puluhan sponsor kabur, menghindari nama Fuji TV seperti penyakit berbahaya?

Fuji TV, raksasa televisi dengan pendapatan tahunan 2,3 triliun yen (sekitar Rp275 triliun), kini terancam kehilangan 500 miliar yen dalam hitungan bulan. Penyebabnya? Boikot massal sponsor seperti Toyota, Nippon Life, dan Lion Corporation yang menarik iklan setelah skandal Fuji TV mencuat. Bahkan prefektur Chiba— yang telah mensponsori program “Chiba no Okurimono” sejak 2010 — menghapus nama mereka dari tayangan.

“Ini seperti memotong 80% aliran darah mereka,” ujar Kenji Yamamoto, analis media Jepang. Stasiun ini terpaksa mengganti slot iklan dengan konten iklan layanan masyarakat AC Japan — tanpa meminta bayaran. Konten iklan layanan masyarakat AC Japan sendiri umumnya hanya ditayangkan di televisi dalam situasi-situasi tertentu, seperti bencana alam saat gempa Ishikawa di awal 2024.

Sebuah informasi internal bahkan menyebut bahwa manajemen telah menyiapkan skenario PHK besar-besaran jika situasi tak membaik hingga April 2025.

Masahiro Nakai: Dari Raja Hiburan ke Tersangka Skandal

Nama Masahiro Nakai (52) bukan asing di telinga penggemar J-pop. Eks-kapten SMAP ini sempat dijuluki “Kaisar Televisi Jepang” berkat kharismanya di acara seperti UTABAN dan VS Arashi. Namun pada 23 Januari 2025, dunia hiburan gempar: Nakai tiba-tiba mengumumkan mengundurkan diri lewat situs pribadi “Nonbirinakai”, menyisakan pertanyaan tentang “masalah perempuan” yang disebut-sebut berhubungan dengan フジテレビの闇 (kegelapan Fuji TV).

Investigasi Shukan Bunshun — majalah investigasi ternama Jepang — mengungkap cerita pilu “X子さん” (nama samaran). Perempuan ini mengaku dipaksa menghadiri “pesta BBQ” di rumah Nakai pada Juni 2023 bersama eksekutif Fuji TV, lalu mengalami pelecehan seksual.

“Saya merasa seperti dijebak,” katanya melalui teman dekat dalam laporan eksklusif yang dirilis oleh Bunshun.

Budaya “Female Announcer”: Boneka Cantik di Balik Layar

Di Fuji TV, female announcer (pembaca berita wanita) bukan sekadar profesi — ini adalah sistem hierarki yang sarat kontroversi. Mantan announcer yang diwawancarai Bunshun.jp mengungkap praktik mengerikan:

  • Wajib menghadiri “dinner meeting” dengan eksekutif tanpa agenda jelas
  • Dinilai berdasarkan “kepatuhan” bukan kompetensi jurnalistik
  • Pelatihan khusus “senyum manis dan sikap melayani”

Seorang sumber anonim menggambarkan situasinya: “Kami seperti boneka yang harus tersenyum saat disentuh sembarangan. Bicara? Itu hak pria.”

Budaya ini, menurut Prof. Aiko Tanaka (ahli gender Universitas Tokyo), adalah akar dari skandal Fuji TV.

“Perempuan dianggap properti, bukan manusia.”

Laporan Shukan Bunshun menyoroti peran “Eksekutif A” — pejabat divisi program Fuji TV — yang diduga menjadi dalang pesta BBQ Nakai. Meski manajemen menyangkal, bukti SMS menunjukkan Eksekutif A-lah yang mengundang X子さん dengan iming-iming “proyek kerja sama”.

Yang lebih mengejutkan: pesta itu dihadiri artis papan atas dan “komedian senior” yang diwawancarai Bunshun. “Saya kira ini acara bisnis biasa,” kata salah satu bintang yang namanya dirahasiakan. Fakta ini menguatkan tudingan bahwa skandal Fuji TV bukan kasus perorangan, melainkan sebuah hal yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Dari Johnny Kitagawa ke Fuji TV: Siklus Pelecehan yang Tak Kunjung Putus

Kasus ini mengingatkan pada skandal Johnny Kitagawa — raja talenta pria yang dituduh melecehkan ratusan pria remaja selama lebih dari 50 tahun. Mirisnya, pola serupa terlihat:

  1. Korban diiming-iming karir cemerlang
  2. Pelecehan terjadi di lokasi “eksklusif” (kantor, rumah artis, atau dalam kasus Johnny’s, di rumah Kitagawa sendiri)
  3. Ancaman blacklist jika berani bersuara. Ancaman ini diberikan tidak hanya pada talent yang berani angkat bicara, namun juga kepada televisi atau media massa yang berani menyinggung Kitagawa.

“Industri hiburan Jepang punya kuburan rahasia yang dalam,” ujar jurnalis investigasi Hiroko Nishida. Bedanya, jika kasus Johnny’s terbongkar setelah pelaku meninggal, skandal Fuji TV justru menyeret korporasi pada saat korbannya masih hidup.

Sementara Jepang tersangkut dengan skandal Fuji TV, sejarah Britania Raya menunjukkan jalan berbeda. Tahun 1975, Angela Rippon memecahkan rekor sebagai pembaca berita wanita pertama BBC yang membawakan berita utama — prestasi yang memicu debat nasional tentang kesetaraan gender.

Kini, nama seperti Emily Maitlis (mantan pembaca berita BBC) dan Krishnan Guru-Murthy (Channel 4) membuktikan bahwa pembaca berita dinilai dari kompetensi, bukan gender.

“Di Inggris, kami dilatih untuk menantang pejabat, bukan melayani kopi mereka,” kata mantan pembaca berita ITV Sarah Jane Mee.

Dampak Finansial: Kerjasama Berhenti, Pendapatan Anjlok

Sejak Skandal Fuji TV mencuat, iklan dari AC Japan menggantikan slot iklan berbayar yang kosong. Namun, Fuji TV memutuskan tidak menagih biaya iklan kepada sponsor untuk periode Februari-Maret 2025. Menurut sumber di agen periklanan, langkah ini berisiko mengurangi pendapatan Fuji TV minimal Rp200 miliar. Bahkan, jika penarikan iklan berlanjut hingga April, kerugian bisa melambung ke Rp500 miliar. Angka ini mengkhawatirkan mengingat 80% pendapatan stasiun TV berasal dari iklan.

“Tahun lalu, pendapatan Fuji TV sekitar Rp2,3 triliun. Jika situasi tak membaik, stabilitas finansial mereka terancam,” ujar seorang analis media.

Tak hanya menahan iklan, sejumlah perusahaan seperti Lion Corporation menyatakan tak akan membayar biaya slot iklan yang diganti AC Japan. Perusahaan lain juga mulai menegosiasikan pengembalian dana. “Kami sedang mempertimbangkan langkah hukum,” tutur perwakilan sebuah merek otomotif.

Skandal Fuji TV semakin parah setelah Presiden Fuji TV, Koichi Minato (72), gagal memberikan klarifikasi yang memuaskan dalam konferensi pers 17 Januari lalu. Konferensi pers tersebut diselenggarakan secara tertutup, hanya mengundang media yang terdaftar, tidak mengundang wartawan majalah (termasuk Bunshun), dan wartawan tidak diperkenankan merekam video.

Terkesan menutup-nutupi kasus, konferensi pers ini bukannya menyelesaikan masalah, justru semakin memperparah masalah. Fuji TV berjanji akan menyelenggarakan konferensi pers lanjutan, di mana presiden Fuji TV Minato diperkirakan akan mengumumkan pengunduran dirinya.

Menteri Dalam Negeri Seiichiro Murakami tak main-main. Pada 24 Januari 2025, ia mengeluarkan pernyataan keras:

  1. Fuji TV harus membentuk komite penyelidik independen sesuai pedoman Japan Federation of Bar Associations
  2. Laporan investigasi wajib terbit sebelum 27 Maret 2025
  3. Pemerintah akan mengaudit semua proyek publik melibatkan Fuji TV

“Ini tamparan bagi seluruh industri penyiaran,” sebagaimana ditulis koran Mainichi Shimbun.

Efeknya langsung terasa: Osaka Expo 2025 menunda semua kerja sama iklan, sementara Kementerian Pendidikan membatalkan program edukasi bersama Fuji TV.

Masa Depan Fuji TV: Tenggelam atau Berubah?

Skandal Fuji TV mengguncang masyarakat Jepang. 78% responden survei Asahi Shimbun menilai manajemen “tidak kompeten”. Tagar #フジテレビ潰れろ (hancurkan Fuji TV) trending di X (Twitter) selama 3 hari. Saham Fuji Media Holdings yang terdaftar di Bursa Tokyo anjlok 18% dalam seminggu.

Kao Corp. juga telah menghentikan sementara iklannya di acara pagi “Mezamashi 8” dan program lainnya sejak 18 Januari. Perusahaan barang konsumen besar tersebut menyatakan “kebijakan hak asasi manusia” sebagai alasan utama keputusan ini. Kao mungkin akan melanjutkan kembali pemasangan iklan tergantung pada hasil investigasi Fuji Television terkait masalah ini.

Dai-ichi Life Insurance Co. telah mengganti iklannya untuk acara “R4 Street Dance” dengan iklan dari AC Japan mulai 20 Januari. Keputusan serupa diambil oleh perusahaan-perusahaan terbesar di Jepang, termasuk NTT East Corp., Toyota Motor Corp., Nippon Life Insurance Co., dan anak perusahaannya Hanasaku Life Insurance Co.

Selain itu, Badan Manajemen Kebakaran dan Bencana telah menghentikan peluncuran poster kampanye publik yang dibuat bersama serial drama “Emergency 119” tentang petugas tanggap darurat.

“Industri media Jepang belum belajar dari masa lalu. Mereka masih mengorbankan korban demi melindungi reputasi,” ujar Prof. Akira Tanaka, pakar komunikasi dari Universitas Tokyo.

Skandal Fuji TV bukan cuma kisah pelecehan seksual — ini adalah cermin retak industri hiburan Jepang yang masih memuja kuasa patriarki. Krisis ini memaksa kita bertanya: akankah televisi tradisional bertransformasi, atau menjadi sama seperti Jepang, lapuk dimakan zaman dan tergerus budaya kunonya?

KAORI Newsline

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses