Sudah tiga tahun sejak Undang-Undang Pencegahan dan Perlindungan Korban Penampilan “Video” diterapkan di Jepang. Undang-undang ini awalnya dirancang untuk melindungi performer dari eksploitasi dalam industri “perfilman”. Sayangnya, kenyataannya tidak seindah teorinya. Celah hukum masih banyak dimanfaatkan, terutama di sektor “perfilman” amatir yang makin marak.
Perlindungan Performer Masih Setengah Hati
Undang-undang ini memberikan hak tambahan bagi performer, seperti masa tenang setelah penandatanganan kontrak. Tapi praktik di lapangan justru menunjukkan bahwa tindakan koersif masih tetap terjadi. Beberapa pihak bahkan mengkritik bahwa hukum ini justru melegalkan kontrak seks terselubung.
Data Polisi Ungkap Fakta Mencemaskan
Data dari Kepolisian Nasional Jepang mencatat peningkatan jumlah pelanggaran dari tahun ke tahun. Dari satu kasus pada 2022, melonjak menjadi 11 kasus pada 2023, dan mencapai 29 kasus di tahun 2024. Hal ini bisa jadi mencerminkan meningkatnya penegakan hukum, tapi juga menunjukkan bahwa pelanggaran masih terus terjadi dalam industri “perfilman”.
Banyak Yang Tertipu Rayuan Palsu
Lembaga nirlaba seperti Paps mengungkapkan adanya modus penipuan baru, seperti perekrutan model palsu lewat media sosial atau perekrutan langsung di jalan. Banyak wanita muda yang tak sadar jika mereka direkrut untuk tampil dalam produksi “perfilman”. Belum lagi tekanan ekonomi dari utang di klub host yang kerap jadi alasan utama mereka akhirnya terjebak.
Penghapusan Video? Masih Angan-Angan
Salah satu kemajuan dari hukum ini adalah kemudahan eks-performer untuk meminta penghapusan video. Namun, dengan penyebaran konten digital ke berbagai platform online, menghapus jejak sepenuhnya nyaris mustahil.
KAORI Newsline | Sumber