Laporan Khusus: Otaku dan Konsumerisme

2
Tumpukan puluhan kemasan eroge dan pernik dari seri "Koi Iro Marriage" yang dibeli oleh seorang otaku.
Tumpukan puluhan kemasan eroge dan pernik dari seri "Koi Iro Marriage" yang dibeli oleh seorang otaku.
Tumpukan puluhan kemasan eroge dan pernik dari seri “Koi Iro Marriage” yang dibeli oleh seorang otaku.

Terlihat borju, bahkan oleh orang yang bisa dibilang relatif royal dalam pengeluaran. Bagaimana otaku, konsumerisme, dan kapitalisme kognitif berperan dalam mendorong industri kreatif di Jepang?

Industri Post-Fordisme dan Tren Kapitalisme Kognitif Berbasis Media

Kebudayaan media (media culture) adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebut “kapitalisme” saat ini yang kita alami. Contoh jelas dari media culture tampak dari ramainya kelas menengah di Indonesia mengantri iPhone, antusiasme menonton konser Lady Gaga, maupun menghabiskan waktu di Starbucks atau Seven-Eleven.

Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara maju yang dibangun pasca Perang Dunia II menghadapi kejenuhan dengan industri tradisional mereka. Di sini, tren industri post-Fordisme memegang peranan penting. Mengutamakan inovasi dan sejumlah prinsip lain yang berbeda dari negara yang menganut paham Fordisme tradisional, post-Fordisme menekankan fleksibilitas dan globalisasi sebagai kunci menghasilkan produk yang bernilai lebih, efisien, dan dikenal orang. Secara tidak langsung, post-Fordisme memicu terjadinya globalisasi.

Globalisasi pada awalnya memang membuat produk semakin mudah diakses, terlebih nilai inovasi yang ada dalam setiap produk menjadikan produk tersebut mula-mula dipilih konsumen. Namun resepnya yang umum, komodifikasi produk industri ini menurunkan nilainya. Dari itu, konsumen memilih konsep baru: industri kognitif yang berbasis pengetahuan dan budaya.

Dengan kapitalisme kognitif, konsumen tidak hanya diajak mengikuti sebuah produk semata, melainkan menikmati sebuah kerangka jasa yang dikemas sedemikian rupa sehingga konsumen akan ikut dalam ekosistem yang dibangun oleh industri. Kapitalisme kognitif menekankan pada kecintaan konsumen akan ekosistem yang dibangun daripada nilai marginal produk secara individual.

AKB48 dan para penggemarnya bisa dimasukkan dalam contoh kapitalisme kognitif ini. Penggemar AKB48 beramai-ramai mendukung anggota yang disukai, mengikuti acara-acara mereka, termasuk rela membayar mahal untuk mengikuti pemilihan umum.

Kapitalisme kognitif menjelaskan mengapa penggemar mau membeli puluhan, bahkan ratusan keping CD yang sama demi membeli surat suara yang dibonuskan bersama album itu, untuk mendukung anggota pilihan mereka.

Menelisik Konsumerisme Ala Anime Otaku

Bila konsep yang disinggung di atas menjelaskan bagaimana konsumen berpartisipasi dalam ekosistem yang dibuat oleh industri, lalu bagaimana industri itu sendiri bisa tumbuh?

Thomas Lamarre dalam makalah berjudul “An Introduction to Otaku Movement” menyatakan bahwa industri anime dibangun dari bawah ke atas. Dia meminjam Gainax sebagai pencipta ekosistem.

Dimulai dari Astro Boy oleh Osamu Tezuka (1962), anime masih belum menemukan basis penggemarnya. Comiket dimulai pada 1975, mencoba mengeksplorasi anime dan manga yang saat itu masih dalam masa fajarnya. Bersamaan dengan itu, gaya Superflat menurut Murakami Takashi mulai menjadi pakem dalam anime dan manga (secara kasar mirip dengan kotak-kotakan ala kartun dan komik Amerika).

Pakem Superflat ini diikuti oleh produk anime berikutnya seperti Uchuu Senkan Yamato, MacrossGunbuster, Nadia, dan berada dalam posisi yang mantap saat Neon Genesis Evangelion dirilis. Dalam rentang waktu yang sama, basis otaku sebagaimana yang dipotret oleh Volker Grassmuck sudah cukup mantap, yang kemudian berevolusi menjadi apa yang kita lihat sekarang.

Bila dilihat dalam sejarah anime-manga secara umum, manga dan anime merupakan produk yang didorong oleh penggemar, berbeda dengan konsep AKB48 yang dimulai oleh Aki-P. Geliat anime-manga meskipun dilakukan oleh industri-industri skala menengah maupun besar, namun keberadaan penggemarlah yang mendorong industri ini terus berkembang.

Contoh yang paling mudah adalah kegamangan stasiun televisi di awal-awal untuk menayangkan anime. Konsep “membeli jam tayang” televisi yang dilakukan saat ini merupakan warisan dari kegamangan itu. Stasiun televisi tidak ingin membeli seri anime yang belum teruji peminatnya, dengan konten yang tidak akan digemari oleh audiens pada umumnya, terlebih anime masih identik dengan “otaku” dan segala stigma negatifnya. Produsen anime harus membeli jam tayang (biasanya larut malam, meskipun bisa di jam tayang utama bila mereka mau) agar karya mereka tayang di televisi. Itu pun tanpa jaminan stasiun televisi akan menayangkannya secara konsisten.

Di era 90-an dan hingga kini, basis penggemar yang sedikit (namun loyal) inilah yang bisa membuat industri anime tetap bertahan hidup. Mereka haus akan informasi, menumpuk ratusan keping VHS, memajang berbagai poster dan figur maupun plamo di kamar mereka. ARPU (average revenue per user) dari industri ini begitu tinggi, sebagian juga karena tuntutan modal besar untuk masuk ke industri ini.

Novel visual dijual dengan harga begitu mahal, bisa dua-tiga kali lebih mahal dari harga permainan keluaran Barat. Begitu pula anime, umumnya dijual dua kali lebih mahal dibandingkan saat anime tersebut dirilis di Hong Kong atau Amerika Serikat. Hitungan kasar vnchan menghasilkan angka sampai 50 juta yen untuk biaya pengembangan satu judul novel visual. Dengan harga jual 8.800 yen dan keuntungan 2.300 yen per kopi, sekurang-kurangnya mereka memerlukan penjualan minimum lebih dari sepuluh ribu kopi!

Di sini peran loyalitas penggemar dalam model kapitalisme kognitif yang ada di industri anime. Promosi jor-joran, penjualan habis-habisan pernak-pernik dari sebuah seri dilakukan oleh produsen semata-mata mengharapkan keloyalan dan afeksi konsumen yang tinggi, sehingga barang-barang ini bisa laku terjual. Dengan ARPU yang tinggi, mereka bisa menjual lebih mahal dan tetap meraih keuntungan.

Peran Afeksi Konsumen Dalam Motivasi Membeli

Berbeda dengan hukum permintaan biasa yang mengharapkan nilai guna dari suatu barang, dalam industri anime nilai guna ini bukan menjadi pendorong utama, bahkan perannya cukup kecil untuk mendorong pembelian.

Ada hal menarik yang bisa dilihat di industri anime. Kalau di Barat, film maupun seri yang laku biasanya hanya akan diminati sebatas karena kualitas karya tersebut. Juga, mereka cenderung menjual hanya film itu sendiri (CD/DVD/BD) dan sejumlah pernik terbatas. Hanya seri dengan level kepopuleran tertentu (seperti Batman) yang perniknya banyak diproduksi. Di Jepang kita bisa menemui bahkan sarung guling (dakimakura) bertemakan karakter dari sebuah seri eroge tertentu ditawarkan ke pasar, dan ada peminatnya!

Kapitalisme kognitif dan sifat industri anime yang dibangun dari bawah dapat menjelaskan hal ini. Sesuai yang dibahas sebelumnya, industri anime bisa bergerak berkat dorongan penggemar itu sendiri. Kegiatan Comiket adalah contoh nyata di mana industri bersama-sama dengan penggemar, menunjukkan kesukaan, afeksi, dan menciptakan produk kreatif yang diproduksi, dijual, dibeli, dan dinikmati bersama-sama.

Subjektivitas konsumen berperan lebih besar dalam industri anime. Faktor moe yang tidak dapat dinilai secara ekonomis dieksplorasi dan dinikmati oleh konsumen. Seabsurd citra otaku itu sendiri di Jepang, demikian pula cara pelaku industri memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan.

Pembinaan Industri Kreatif

Pada akhirnya, inti dari konsumerisme otaku adalah industri kreatif yang cerdas dan unik, yang dibangun oleh penggemar itu sendiri. Penggemar mulai mengapresiasi karya-karya kreatif yang dimulai dalam fajar industri anime di Jepang, dilanjurkan dengan eksplorasi (dan terkadang, eksploitasi) pasar oleh pelaku industri.

Dji Sam Soe adalah sapi perah Sampoerna, begitu pula seri Da Capo bagi Circus. Memanfaatkan pakem yang sama, Circus berhasil bertahan dan melanjutkan kehidupannya berkat Da Capo semata, yang hingga artikel ini ditulis, sudah memasuki sekuel keduanya. Keunikan Circus dibandingkan dengan seri seperti Precure, Doraemon, maupun Evangelion adalah mereka mampu bertahan tanpa menjadi mainstream, tetap menghasilkan uang dengan konsep yang sama, dan memiliki penggemar loyal.

Mungkin pergerakan konsumerisme otaku, dipadukan dengan pandangan utuh bagaimana industri kreatif Jepang bergerak, mampu ditiru oleh industri kreatif di Indonesia yang sedang memasuki fajarnya saat ini.

Oleh Shin Muhammad | KAORI Newsline

2 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses