Siapa Berani Mengembangkan Karakter Kreatif? (Bagian 1/2)
Indonesia adalah negeri kolam susu, kata Koes Plus. Apapun bisa tumbuh di Indonesia. Termasuk yang asalnya dari luar Indonesia, mulai agama, kebudayaan, fetish, semua bisa tumbuh di negeri ini. Pertanyaan: mengapa sulit sekali bagi industri kreatif lokal untuk menaklukkan pasar Indonesia?
Kita mengenal karya-karya ikonik dari beberapa negara yang diingat oleh masyarakat. Tidak usah jauh-jauh, ada Upin & Ipin yang sukses menangkap peluang 30 jutaan pemira televisi Indonesia di sore hari. Atau Shingeki no Kyojin yang tidak pernah masuk secara resmi ke Indonesia, lantas komiknya menyabet predikat komik terlaris menurut penerbitnya pada tahun lalu.
Urusan industri kreatif benar-benar menjadi masalah rumit. Tidak jelas dasarnya dari mana dan tidak jelas apakah industri ini bakal membuat dapur mengebul para partisipannya. Sementara produk-produk asing, entah bagaimana logikanya, terus mendulang uang dengan menjual produknya di Indonesia.
Apakah orang Indonesia kurang pintar? Tidak, karena banyak orang Indonesia yang dipercaya berkarir di luar negeri. Jangankan industri kreatif, orang Indonesia sudah dipercaya di perusahaan sekelas Boeing dan Airbus.
Apakah orang Indonesia tidak menyukai produk dalam negeri? Bisa ya dan bisa tidak. Toh, orang mencari-cari komik Si Juki, menonton Bima Satria Garuda, dan setidaknya masih menyimpan asa saat mendengar rencana PFN mengadaptasi Si Unyil menjadi film tiga dimensi.
Industri kreatif Indonesia barangkali membutuhkan sosok pendobrak sebagaimana Ignasius Jonan berhasil mendobrak kereta api – mengubah BUMN yang lekat dengan citra sejelek-jeleknya menjadi salah satu ikon yang mulai bisa dibanggakan para pekerja dan penggunanya -.
Tugas yang Tidak Semua Orang Bisa
Beberapa waktu lalu saya berbincang agak lama dengan Andi, pengelola sebuah maid cafe di Jakarta. Kebetulan maid cafe ini menemui kesulitan mengembangkan bisnisnya.
Maid cafe ini sebenarnya sudah punya manajemen yang bagus, rencana bisnis yang bagus, bahkan akan menjadi perusahaan dan beroperasi secara komersial. Segi pencitraannya pun sudah bagus karena sudah hadir di beberapa acara dan sudah punya basis konsumen meski memang masih terbilang kecil.
Andi mengungkapkan kegundahannya, “kenapa ya karakter di maid cafe saya masih kurang greget?”
Berkaca dari apa yang dilihat Andi di Jepang, bisnis maid cafe adalah layanan jasa, sebagaimana operator seluler atau layanan perbankan. Yang dijual bukanlah barang jadi, melainkan barang intangible dalam hal ini adalah pelayanan di kafe.
Saya bertanya, apa keunggulan maid cafe di Jepang kalau begitu? Tentu saja pada karakternya.
Terungkap masalah bahwa maid cafe selama ini tidak serius mendefinisikan karakternya. Ia berasumsi kalau ada karakter dengan trait demikian, lalu semua akan jadi dengan sendirinya, akan ada fandom, dan semua akan berkembang dengan sendirinya.
Rupanya maid cafe punya masalah yang sepertinya remeh namun sangat krusial dan boleh jadi maha dahsyat di Indonesia ini: menciptakan karakter yang ikonik dan mudah diingat, dipakai, dan dikreasikan oleh para penggemarnya.
Membuat karakter yang baik rupanya menjadi masalah yang pemecahannya membutuhkan orang jenius dan gila: sebagaimana banyak sekali orang di Indonesia yang paham perkeretaapian namun sebelum saat ini, belum ada yang bisa membereskan masalah kereta api yang semua orang tahu masalah dan penyelesaiannya, yaitu masalah manajemen.
Resep Kesuksesan Kancolle, Vocaloid, dan Touhou maupun Upin & Ipin
Selama lima tahun terakhir, ada sejumlah waralaba yang populer dan menciptakan fandom. Simak saja Vocaloid, Touhou, sampai yang baru dan sedang naik daun seperti Love Live dan Kancolle atau yang sederhana seperti Upin dan Ipin.
Yang menarik dari beberapa contoh di atas, kesuksesannya menitikberatkan pada profil masing-masing karakter sedangkan tema (universe) umum tidak terlalu didefinisikan.
Touhou misalnya, tidak memiliki satu penceritaan absolut. Pertanyaan yang saya yakin tidak akan ada jawabannya adalah bila seseorang bertanya, “apa sih cerita Touhou itu?”
Sejak permainan awal Touhou dikembangkan dalam format gim peluru (danmaku), ZUN sang pencipta hanya memuat alur-alur cerita dengan karakter, taruhlah sebagai Reimu, sebagai Marisa, atau sebagai Cirno. Relasi-relasi antara karakternya tidak tegas didefinisikan; bisa menjadi kawan, bisa menjadi rival, namun dalam harmoni dan tidak sampai menjadi archnemensis atau sejenisnya.
Karena tidak ada alur yang ditetapkan (namun ada basis karakter yang kuat), dalam beberapa tahun Touhou berkembang dan dikembangkan oleh penggemarnya. Touhou muncul sebagai produk derivatif dalam acara seperti Comiket, bahkan muncul acara produk kreatif yang temanya khusus mengenai Touhou, Reitaisai yang dimulai sejak 2004.
Padahal sampai versi 12, karakter Touhou punya desain yang tidak bagus-bagus amat. Padahal ceritanya pun tidak dalam-dalam amat.
Begitu pula dengan Kantai Collection (Kancolle) di mana pemain hanya dikenalkan dengan permainan berbasis strategi, disuguhkan sejumlah kapal dengan profil dan trait tertentu yang kemudian dimainkan. Tidak ada cerita spesifik dari Kancolle sehingga dalam setahun setelah diluncurkan, produk derivatifnya sudah bermunculan bagai jamur di musim hujan.
Dalam pengembangan Kancolle, pihak industri di Jepang sepertinya memang tutup mata akan perkembangan doujinshi (tidak mendukung namun tidak melarang), melihat kepopuleran Touhou yang memang didorong oleh penggunanya.
Konsep Upin dan Ipin juga sebenarnya sederhana. Ditayangkan sebagai acara pengisi waktu berbuka puasa di Malaysia, temanya tentang kehidupan sehari-hari dan tidak ada tujuan tertentu yang harus dicapai oleh Upin dan Ipin. Mirip seperti dunia Mickey Mouse atau Doraemon yang bisa menggelinding puluhan tahun karena memang nggak ada yang harus diselesaikan.
Kemudian orang-orang menggunakan karakter Mickey. Kemudian orang-orang memakai baju Hatsune Miku. Kemudian anak-anak memakai baju bergambar Upin dan Ipin yang dijual murah di lapak kaki lima.
Yoshihito Naito menyebutkan faktor Zeigarnik sebagai alasan orang-orang menggemari produk ini. Alurnya sederhana: orang kasual menikmati jasa yang ditawarkan (bermain Kancolle atau touhou, menonton Upin dan Ipin atau mendengarkan lagu Miku), terpapar, dan muncul ketertarikan yang awalnya tidak ada kemudian menjadi ada, kemudian melakukan penalaran sampai akhirnya membuat output (mengomentari, membuat produk derivatif, menyebarkan ke teman, dsb).
Mudah Dikatakan Sulit Direalisasikan
Nah, apakah produk-produk yang memiliki cerita bagus yang sudah dibuat oleh industri kreatif Indonesia, sudah didesain dengan cermat sehingga orang yang awalnya kasual saja, kemudian tertarik dan mengasosiasikan diri dengan produk yang dibuat?
Saya yakin sekali Kancolle tidak didesain sembarang saja sehingga gambar Akagi buatan Shibafu itu bisa punya banyak penggemar. Saya pun yakin Kancolle tidak sukses hanya karena faktor karakter yang dipikirkan masak-masak belaka.
Maksud saya: kalau Indonesia punya orang seperti Sandiaga Uno atau Dahlan Iskan, tentu Indonesia tidak kekurangan orang yang paham cara menjalankan bisnis dan tentu saja paham bagaimana supaya bisnisnya laku. Kereta api Indonesia juga tidak kekurangan orang-orang yang menimba ilmu di JR East, SNCF, atau Bombardier dan banyak orang Indonesia yang bekerja di Boeing dan EADS (Airbus).
Rekan-rekan yang bergerak di industri kreatif bukannya tidak sadar akan kesalahan cara berbisnis selama ini. Maka mereka belajar bagaimana cara industri kreatif dibangun di Jepang. Lupakan Eropa, Jepang kiblat hari ini yang bersiap mengekspor industri kreatifnya ke seluruh dunia. Yang diikuti pula oleh Korea Selatan. Yang juga mulai diikuti oleh Cina.
Maka, Indonesia saat ini perlu “orang gila” yang kosronya harus 10 kali lipat Farhat Abbas agar karakter yang dia desain bisa terkenal dan mengikat di sanubari rakyat Indonesia, mulai yang ada di warung kopi sampai pemeluk dakimakura jutaan rupiah itu bisa mengasosiasikannya. Tidak cuma kosro dalam mendesain namun juga cukup kosro menggadaikan jiwa dan raganya.
Begitu mudah mendesain karakter, begitu simpelnya, dan begitu sulitnya. Namun bermiliaran bahkan triliunan rupiah menanti mereka yang benar-benar berhasil melakukannya.
(Bersambung ke bagian kedua)
KEVIN WILYAN, Editor in Chief KAORI Newsline. Opini yang dimuat tidak mewakili kebijakan editorial KAORI. Sumber gambar
Wah setuju sangat ini…
Menurut says ih memang selama ini kita itu lebih banyak “meniru”. Saya memang masih jarang sekali melihat sebuah produk dalam negeri yang karakternya bikin greget :3
Tulisan yang bagus…Cuma ada apa nggak ya, yang mau disejajarkan dengan Farhat Abbas, apalagi dibilang harus 10x lipatnya…? -_-a