Lanjutan dari halaman sebelumnya.
Sisi Lain Budaya Jepang

Sebagian besar sidang pembaca seharusnya sudah familiar dengan kebudayaan Jepang, mulai dari itadakimasu hingga keirei. Sebagaimana kebudayaan lain di dunia, Jepang juga memiliki banyak simbolisme di setiap sisi kebudayaan dan kebiasaan warganya. Misalnya saja yang dibahas di novel ini soal pandangan orang Jepang tentang payung, filosofi kyuudo (panahan Jepang) dan makna di balik kue mochi. Bagian menariknya adalah semua kebudayaan Jepang yang diceritakan di sini bukan hanya dilihat dari kacamata orang Jepang, melainkan juga dari kacamata orang asing: Maya. Dan bukan orang asing pada umumnya yang lebih sering terlihat di Jepang pada masa itu (ingat bahwa Maya berasal dari negara sosialis yang cukup tertutup), sehingga pandangannya soal Jepang akan menjadi sangat baru dan murni.
Membaca novel ini akan membuat kita paham lebih dalam soal kebudayaan Jepang melebihi sushi dan Tokyo. Kita akan dihadapkan pada berbagai hal yang mungkin sudah menjadi common sense di sana, namun masih merupakan hal baru bagi pembaca di luar Jepang. Sehingga, muncul banyak sekali istilah-istilah bahasa Jepang yang mungkin masih baru di telinga pembaca, atau perilaku-perilaku yang hanya bisa dimengerti oleh orang Jepang.
Di satu sisi, novel ini dapat menjadi sarana pembelajaran yang baik untuk memahami Jepang dari sisi yang berbeda. Namun di sisi lain, ini juga bisa membuat kebingungan bagi beberapa pembaca. Meskipun sudah dibantu dengan banyak catatan kaki, saya sendiri terkadang masih sulit memahami kesimpulan dari suatu bab cerita.
Selain itu, adanya catatan kaki juga membuat novel ini “semakin terlihat bukan seperti novel” yang dalam beberapa hal justru mengurangi keindahan dalam membacanya sebagai novel. Meskipun tentunya hal itu tidak mungkin dihindari mengingat jika tidak ada catatan kaki justru akan membuat kita semakin tidak paham. Lagipula, novel ini pada awalnya ditujukan pada pembaca Jepang yang notabene sudah mengerti dengan kebudayaan mereka sendiri.
Selain soal istilah, ada juga kesulitan untuk memahami cerita di novel ini dalam hal penerjemahannya. Menerjemahkan suatu buku bukan hanya soal mengganti kata-kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain, tapi juga menerjemahkan budaya dan kebiasaan dari bahasa asalnya, apalagi untuk novel. Ada beberapa hal dari Bahasa Jepang yang memang sulit untuk dijelaskan dalam Bahasa Indonesia di novel ini, misalnya soal peribahasa dan istilah Jepang yang tidak ada padanannya di Bahasa Indonesia. Penerjemah menyiasatinya dengan beberapa hal: menggunakan padanan terdekat, menulis istilah asing tersebut apa adanya lalu langsung diterjemahkan secara harafiah, atau dengan menambahkan catatan kaki. Sayangnya, pada banyak kesempatan hal ini tidak banyak membantu. Terlebih lagi untuk pembaca yang memang tidak memiliki pengetahuan soal Jepang secara mendalam. Saya pribadi memang bisa mendapat garis besar atau kesimpulan dari suatu bagian cerita, namun untuk memahami detail-detail kecil, saya masih merasa cukup sulit.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tema yang paling menonjol dari keseluruhan cerita Goodbye Fairy adalah perbedaan budaya. Penulis menampilkan kebudayaan Jepang dari sudut pandang Tachiarai dan Moriya, lalu penulis juga menghadirkan Maya yang berasal dari Yugoslavia dengan kebudayaan dan cara pandangnya yang tentu jauh berbeda dengan orang Jepang. Bagaimana Maya melihat dan menanggapi kebudayaan Jepang, lalu respon Moriya dan kawan-kawan dalam menghadapi pertanyaan Maya, adalah fenomena unik yang hanya terdapat di novel ini. Hal tersebut disajikan juga secara menarik dalam balutan misteri ala penulis, yang berarti adalah gaya penceritaan misteri yang mirip dengan seri Hyouka.
Jejak langkah Hyouka

Tidak bisa dihindari untuk membicarakan Goodbye Fairy tanpa membicarakan karya asalnya, Hyouka. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di bagian awal, Hyouka menceritakan misteri dengan latar kehidupan sehari-hari, menghasilkan cerita yang santai namun tetap menantang. Dan pada bagian awal Goodbye Fairy pun, ‘rasa’ Hyouka tetap bisa kita rasakan. Yang membuat Goodbye Fairy berbeda adalah mulai dari pertengahan hingga akhir cerita, segala sesuatunya menjadi serius. Serius dalam artian mulai melibatkan politik, perang, dan nyawa manusia
Namun ciri khas Hyouka memang tidak bisa dihilangkan dari keseluruhan cerita Goodbye Fairy: Cerita yang mengandalkan kekuatan dialog. Dan tentunya ini didukung dengan sifat tokoh-tokohnya yang memang berbicara dengan ciri khasnya masing-masing. Ada Tachiarai dan Moriya yang selalu berbicara dengan nada sinis, lalu ada juga Shirakawa yang selalu bersikap sopan, dan tokoh utama kita, Maya, yang rasa penasarannya sering membuat dirinya lupa dengan keadaan sekitar.
Kita juga bisa membandingkan beberapa tokoh Goodbye Fairy dengan Hyouka. Misalnya saja Maya yang rasa penasarannya bisa kita bandingkan dengan Chitanda Eru. Tak lupa juga latar belakang kedua karakter ini berasal dari keluarga terpandang: Maya berasal dari keluarga dengan posisi politik yang tinggi di Yugoslavia, sementara Chitanda berasal dari keluarga yang berpengaruh di bidang pertanian di Kamiyama. Hal ini juga yang membuat sifat serius mereka berdua muncul ketika dihadapkan dengan saat-saat yang penting, selayaknya seseorang yang berasal dari keluarga yang berpengaruh di masyarakat.
Lalu kita punya Oreki Houtaro yang mungkin di Goodbye Fairy dibagi dalam dua orang: Tachiarai dan Moriya. Moriya mewakili sifat pemalas dan sinisme dari Oreki, ada juga sedikit sifat ‘database’ dari Fukube yang bisa kita temukan di Moriya. Sementara kemampuan analisa Oreki bisa kita dapati pada Tachiarai, di mana hampir semua konklusi di cerita selalu dijelaskan olehnya. Ada juga sifat tidak ingin bersosialisasi pada Tachiarai, menjadikannya karakter yang terkadang menyebalkan bagi Moriya. Melihat kedua karakter ini saling berinteraksi seperti melihat Oreki yang sedang berdialog pada dirinya sendiri.
Goodbye Fairy memiliki banyak kesamaan dengan Hyouka. Promosi dari penerbitnya pun jelas-jelas selalu mengaitkan novel ini dengan Hyouka, yang mungkin tujuannya untuk meningkatkan keterkenalan novel ini, mirip-mirip dengan yang pernah dilakukan anime Gun Gale Online dengan tetap mengusung judul Sword Art Online Alternative di depannya. Namun tetap saja, meskipun awalnya novel ini diperuntukkan untuk serial Hyouka, ia telah dirubah untuk menjadi cerita tersendiri yang berbeda dengan Hyouka. Selain pembawaan ceritanya yang lebih serius, Goodbye Fairy juga lebih banyak menjelaskan soal kebudayaan Jepang (dan juga Yugoslavia) ketimbang Hyouka.
Pada akhirnya, apakah anda penggemar Hyouka atau tidak, novel ini tetap menarik untuk dibaca bagi peminat genre misteri. Bagi penggemar Hyouka, ia menarik sebab kita seolah-olah diajak membaca Hyouka namun dengan pendekatan dan latar yang cukup berbeda. Cerita yang mulanya santai namun kemudian diiringi oleh konflik yang melibatkan politik dan perang.
Sementara bagi yang belum pernah membaca Hyouka, novel ini menyuguhkan cerita misteri yang mungkin belum pernah anda lihat sebelumnya. Dialog antar tokohnya menjadi kekuatan cerita novel ini. Selain itu, anda juga dapat mengenal lebih jauh tentang kebudayaan Jepang, bukan hanya dari sudut pandang orang Jepang sendiri, namun juga dari sudut pandang seorang gadis asal Yugoslavia.
Sebagai penutup, inti dari novel ini adalah bagaimana manusia selalu ingin memuaskan rasa keingintahuannya pada segala hal. Dan pertanyaan soal itu menjadi berkembang dari perkataan khas Chitanda “Saya Penasaran!” menjadi perkataan Maya:
“Apa ada makna filosofisnya?”
Judul | Goodbye Fairy, さよなら妖精 (Sayonara Yousei) |
Penulis | Honobu Yonezawa |
Penerjemah | Andry Setiawan |
Editor | Prisca Primasari |
Penerbit | Penerbit Haru |
Ukuran | 13 x 19 cm |
Tebal | 304 halaman |
ISBN | 978-623-7351-31-3 |
Harga | Rp. 99500 |
KAORI Newsline | Ditulis oleh Razif Kurniawan