Tidak ada yang menyangka bahwa sebuah candaan internal dapat membunuh karir seseorang dan menghancurkan reputasi perusahaan. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh, sebut saja Hanif Kresendo dan tim beserta manajemen Muse Indonesia saat menerima komplain tentang anime Kyokou Suiri alias In/Spectre S2 episode 12.
Usai potongan gambar tersebut beredar luas, ia merilis permintaan maaf yang ternyata membuka beberapa polemik di balik Muse Indonesia. Salah satu mantan mitra lepas Muse Indonesia, Alexander, mengutarakan kekecewaannya melalui media sosial. Tim mereka yang terdiri dari Alexander Yosua, Gilang Pratama, dan Arsyal Surya sebelumnya mengerjakan Kyokou Suiri (In/Spectre) sebelum kemudian digantikan oleh tim Kresendo. Kasus yang menimpa Kresendo kemudian membuat mereka mengeluhkan mengapa bisa-bisanya ada yang bercanda dalam situasi profesional.

Tim KAORI Nusantara kemudian menghubungi saudara Alexander dan Gilang dan membahas bagaimana situasi kerja selama bergabung dengan Muse Indonesia. Wawancara ini telah diedit sedikit tanpa mengurangi makna dan informasinya.
KAORI: Terima kasih telah mau meluangkan waktu membahas hal ini dengan KAORI Nusantara. Mohon dijelaskan mengenai latar belakang rekan-rekan team saat masih menjadi/aktif mengerjakan fansub.
Gilang: Latar belakang kami sebagai tim pada awalnya lebih condong menerjemahkan dorama di fansub, yang pada saat itu dorama belum terlalu banyak sub Indonesianya. Tapi pada dasarnya, kami tetap suka menonton anime.
Bagaimana proses saat bergabung dengan Muse Indonesia? Seperti apa komunikasi/perekrutan yang dilakukan?
Gilang: Proses saat bergabung dengan Muse, waktu itu, pada tahun 2020, kami mencoba menghubungi salah satu akun HR Muse dari negara lain yang memang sedang aktif mencari tim penerjemah di Indonesia. Saat itu, Muse baru diwacanakan untuk rilis di Indonesia. Kami tidak bisa menyebutkan nama akunnya. Setelahnya, kami mengikuti tes, lolos, dan bergabung menjadi salah satu tim di sana.
Apa yang Anda lihat saat bergabung dengan grup Muse Indonesia? Bagaimana kultur/budaya kerja di dalam Muse Indonesia?
Gilang: Kultur atau budaya kerja di sana sebenarnya memang ketat, standar sebuah perusahaan resmi. Diminta untuk tepat waktu, tidak ada kesalahan, dan bisa terus konsisten. Hal yang bagus untuk membentuk kedisiplinan. Kalau untuk hubungan antar individu, kami sebenarnya tidak terlalu sering berbaur dengan tim-tim lain jadi tidak bisa banyak komentar tentang ini. Tapi, pada dasarnya, kami tetap menjaga komunikasi antar tim dengan baik. Meski lebih sering membahas tentang pekerjaan dibanding obrolan-obrolan kasual, karena ada kalanya kami merasa sungkan untuk berbaur.
Apakah Anda pernah bertemu/berkomunikasi dengan pimpinan (manager/general manager/country manager) atau pernah berdiskusi dengan representative (orang asingnya)?

Berdasarkan cerita dari dalam postingan Anda, Anda menyampaikan bahwa Anda diberhentikan oleh Muse Indonesia. Apa yang terjadi?
Gilang: Waktu itu, awalnya sudah diberi peringatan, lalu selang seminggu kemudian kami diberhentikan. Untuk jaraknya, dari pertengahan tahun 2020 sampai akhir tahun 2022 (Desember). Untuk performance review tentu ada. Lalu pada 2022 khususnya menjelang akhir tahun, kinerja kami semakin menurun, termasuk secara prosedural seperti pengurusan berkas-berkas. Hingga puncaknya pada In/Spectre S2 sampai selesai arc Yuki Onna, yang mereka katakan kualitasnya turun jauh. Untuk hal ini, kami sebagai tim mengakui kesalahan dan menghargai keputusan mereka untuk mencopot kami.
Apakah benar bahwa orang-orang yang bekerja sebagai freelance translator di Muse Indonesia mengutamakan hubungan kedekatan/antar teman? Apakah situasi saat bekerja lebih mirip seperti bekerja dengan rekan fansub ketimbang bekerja secara profesional?
Gilang: Sebenarnya, karena memang sejak awal formasi penerjemah di Muse itu berbentuk tim, jadi mungkin suasananya terkesan seperti “terlalu akrab”. Tapi, sejauh kami mengamati di sana, profesionalitas mereka tetap dijaga. Karena jika mereka asal-asalan atau memasukkan anggota baru tanpa kualitas dan mementingkan kedekatan, pasti akan berbahaya bagi tim mereka sendiri. Hanya saja, setelah melihat kejadian kemarin, sepertinya memang banyak yang kami tidak ketahui tentang bagaimana setiap tim mengolah pekerjaannya masing-masing.
Menanggapi isu mengenai kasus saudara Kresendo, apakah benar bahwa sehari-hari situasi kerja di Muse adalah seperti itu? (dalam artian, tidak ada pantauan, kontrol yang ketat atas hasil dan kualitas kerja, budaya yang longgar dan permisif terhadap kecerobohan seperti kasus ybs)
Gilang: Sebenarnya kalau untuk tim kami, kami biasa bekerja dengan cara menerjemahkan seperti biasa, lalu jika penerjemah ingin menambahkan catatan atau sesuatu untuk kemudian ditinjau editor, maka penerjemah menaruhnya di notepad dan memberi time stamp. Ini kami lakukan untuk mencegah terjadinya keteledoran. Karena format hasil akhir di sini biasanya adalah SRT, jadi style-style yang ada di ASS pasti tidak terkonversi dengan benar. Kami juga sering mendapat feedback dari QC jika ada hal yang kurang tepat atau untuk improvement di episode berikutnya. Tapi kami tidak tahu penerapan bagi tim lain seperti apa.
Menurut Anda, apakah setelah adanya kasus ini, Muse Asia (Muse Communications) maupun Muse Indonesia akan melakukan perubahan? Atau justru hanya akan sama saja?
Gilang: Menurut kami, ini sebuah tamparan yang keras bagi Muse, ya. Karena kalau tidak ada kasus ini, mungkin saja salah satu tim akan tetap sering bercanda di file kerjaannya. Kami pribadi juga berharap Muse bisa lebih baik ke depannya, dan juga stafnya bisa semakin profesional lagi untuk membedakan pekerjaan dan hal-hal yang bersifat pribadi.
Sampai artikel ini diturunkan, Muse Indonesia tidak memberikan tanggapan.
KAORI Newsline | Wawancara dilakukan oleh Kevin Wilyan