Ulasan Tokusatsu: Kamen Rider Fourze

1

Kamen Rider Fourze

Kamen Rider Fourze adalah drama tokusatsu (drama live action yang menggunakan special effect) dari seri populer Kamen Rider yang diproduksi oleh Toei dan tayang di TV Asahi antara September 2011 sampai Agustus 2012. Fourze berkisah tentang Gentarō Kisaragi, seorang murid SMA yang baru pindah ke SMA Amanogawa dan bertekad untuk berteman dengan semua orang di sekolah tersebut. SMA Amanogawa diganggu oleh monster-monster yang disebut Zodiarts, yang sebetulnya merupakan jelmaan dari murid-murid sekolah yang diberi Zodiarts switch oleh pihak misterius. Dengan menggunakan Fourze Driver yang diperoleh dari teman sekelasnya, Yūki Jōjima dan Kengō Utahoshi, Gentarō berubah menjadi Kamen Rider Fourze dan bertarung melawan para Zodiarts untuk menjaga kedamaian di sekolah. Melalui aksinya Gentarō memperoleh teman-teman baru yang ikut membantunya melawan Zodiarts, dan juga berteman dengan murid-murid yang sebelumnya menjadi Zodiarts. Sementara konspirasi pihak yang memberikan Zodiarts switch kepada para murid sedikit demi sedikit mulai terkuak.

Untitled

Gentarō (tengah) dan kawan-kawan

Artikel ini akan membahas bagaimana pendekatan karakter jagoan Kamen Rider Fourze terhadap resolusi konflik menampilkan sisi maskulin dan sisi feminin. Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan argumen tersebut, sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu konsep jender, maskulinitas dan femininitas; serta bagaimana peran jender berpengaruh kepada perbedaan ekspektasi terhadap pendekatan karakter laki-laki dan karakter perempuan dalam mengatasi konflik dalam cerita. Dari situlah dapat dilihat bagaimana pendekatan resolusi konflik dalam cerita Kamen Rider Fourze menunjukkan ciri maskulin dan feminin, walaupun dalam proporsi berbeda.

Jender, Maskulinitas, dan Femininitas

Dalam ilmu sosial, konsep gender dibedakan dari sex atau jenis kelamin. Jenis kelamin merujuk kepada pembedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan organ reproduksi. Sementara yang dimaksud dengan jender adalah “perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan oleh masyarakat antara laki-laki dan perempuan” (Sunarto, 2004: 110). Dengan kata lain, terdapat sifat-sifat dan perilaku-perilaku yang oleh masyarakat dikaitkan sebagai sifat dan perilaku laki-laki (maskulin) atau sifat dan perilaku perempuan (feminin). Contoh sifat dan perilaku yang dianggap biasanya dianggap maskulin adalah kuat, keras, agresif, dan menguasai. Sementara contoh sifat dan perilaku yang dianggap feminin adalah lemah lembut, suka menolong, dan peduli terhadap orang lain. Peran jender bukanlah hal bawaan dari lahir, melainkan hal-hal yang dipelajari oleh seseorang dari masyarakat melalui sosialisasi (Sunarto, 2004: 109, 111). Hal tersebut dibuktikan dari adanya kelompok-kelompok masyarakat yang persepsi terhadap sifat-sifat laki-laki dan perempuan yang berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya.

Pengaruh Peran Jender Kepada Perbedaan Ekspektasi Terhadap Peran Karakter Laki-Laki dan Perempuan dalam Resolusi Konflik

Perbedaan sifat-sifat yang dikaitkan oleh masyarakat kepada laki-laki dan perempuan menimbulkan ekspektasi yang berbeda terhadap sikap karakter laki-laki dan karakter perempuan terhadap konflik yang mereka hadapi dalam cerita. Cerita ber-genre action untuk pemirsa laki-laki, lazimnya memiliki jagoan laki-laki yang menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk bertarung melawan penjahat. Toshihiko Satō menyebutkan seri Kamen Rider sebagai salah satu contoh yang paling dikenali dari cerita seperti ini (Galbraith, 2014: 49). Karena laki-laki disandingkan dengan sifat kuat, maka pemirsa mengharapkan karakter jagoan laki-laki untuk menuntaskan konflik dengan musuhnya melalui pertarungan. Jagoan laki-laki diharapkan untuk menaklukkan lawan dengan kekuatan, bukan berdamai dengan lawan. Cara-cara damai dianggap menunjukkan sifat lemah lembut yang biasanya dikaitkan dengan perempuan.

Kalau jagoan laki-laki memilih untuk berdamai dan bukannya menuntaskan konflik dengan pertarungan, pemirsa cenderung akan menganggapnya sebagai laki-laki yang lemah, karena lebih menunjukkan sifat feminin daripada sifat maskulin. Hal tersebut diutarakan oleh Yuji Nunokawa dari studio animasi Pierrot yang memproduksi seri animasi Naruto dan Bleach (Galbraith, 2014: 63). Masashi Kishimoto selaku pembuat komik Naruto, juga memilki komentar serupa. Menurutnya, menyelesaikan pertarungan dengan dialog untuk membangun rasa saling pengertian dan saling memahami dengan lawan, dianggap sebagai hal yang tabu dalam komik shōnen (komik untuk pembaca anak laki-laki) (Ohara, 2014).

Sisi Maskulin dan Feminin dalam Resolusi Konflik di Kamen Rider Fourze

Kamen Rider Fourze sebagai tontonan ber-genre action yang ditujukan bagi penonton anak laki-laki, tentunya masih menonjolkan sisi maskulin dalam resolusi konflik. Gentarō sang jagoan laki-laki, dengan kekuatan sebagai Kamen Rider Fourze, bertarung melawan monster-monster jelmaan murid sekolah yang menimbulkan kekacauan. Pertarungan tersebut biasanya berakhir dengan Gentarō/Fourze menggunakan jurus maut sehingga tubuh monster yang dilawannya hancur, diiringi dengan efek ledakan yang dahsyat (walaupun tubuh manusia dari murid yang menjelma menjadi monster tersebut masih hidup).

Untitled

Tendangan maut masih jadi kewajiban

Namun terdapat juga sisi yang lebih feminin dari karakter Gentarō/Fourze tersebut. Seperti telah disebutkan, Gentarō ingin berteman dengan semua orang di sekolah, termasuk juga orang-orang yang menjadi Zodiarts. Dalam upayanya tersebut, Gentarō seringkali harus menghadapi konflik dengan orang-orang di sekitarnya, yang membuat mereka enggan menjadi teman Gentarō, atau menjadi cobaan bagi persahabatan Gentarō dengan orang-orang yang telah menjadi temannya. Menghadapi kendala seperti ini, Gentarō berupaya untuk lebih mengenali dan memahami permasalahan yang dialami oleh mereka, dan membantu mengatasi masalah-masalah tersebut. Dengan begitu, Gentarō dapat membangun rasa saling pengertian dan kepercayaan untuk saling menerima sebagai teman.

Dalam beberapa kasus yang dihadapinya, Gentarō bahkan berhasil menyadarkan Zodiarts lawannya bahwa perbuatan merusak yang dilakukannya salah, sehingga lawannya mau berdamai dan menerima tawaran persahabatan dari Gentarō tanpa harus dikalahkan dulu oleh Gentarō/Fourze dalam pertarungan. Dengan kata lain, terdapat konflik-konflik yang dapat diselesaikan Gentarō dengan cara-cara yang lebih damai, dan justru aspek itulah yang penting bagi tujuan pribadi Gentarō yang paling utama, yaitu berteman dengan semua orang.

Untitled

“Mari berteman.”

Kesimpulan

Sebagai drama ber-genre action, Kamen Rider Fourze memang harus menyajikan pertarungan di tiap episodenya. Namun di sisi lain, Fourze juga menampilkan tokoh utamanya berupaya membangun hubungan damai dengan orang-orang di sekitarnya, dengan berupaya memahami dan membantu mengatasi masalah mereka. Jadi, karakter jagoan laki-laki dalam seri action bisa menunjukkan sisi maskulin dan juga sisi feminin terhadap resolusi konflik dalam cerita, yang dapat membantu memberi pelajaran yang positif. Dengan adanya pertarungan yang seru, drama yang memikat, dan diimbangi dengan humor yang jenaka, Kamen Rider Fourze merupakan tontonan yang menarik, menghibur, dan berkualitas.

Referensi

• Galbraith, Patrick. The Moe Manifesto: An Insider’s Look at the Worlds of Manga, Anime, and Gaming. Tuttle Publishing, 2014.
• Ohara, Atsushi. “Kishimoto: ‘Naruto’ reflects my childhood of ‘inferiority,’ breaks taboo of boys’ comics.” Asia & Japan Watch by The Asahi Shimbun, 12 November 2014, http://ajw.asahi.com/article/cool_japan/style/AJ201411120021
• Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

KAORI Newsline | Oleh Halimun Muhammad

 

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.