Metode “Tunjuk-Sebut” Dan “Tunjuk-Jawab” Di Perkeretaapian Jepang

1
Tunjuk dan Sebut oleh KP (di Jakarta, PPK) di stasiun Mizonokuchi, Kawasaki, Jepang. Foto: Kevin W
Tunjuk dan Sebut oleh KP (di Jakarta, PPK) di stasiun Mizonokuchi, Kawasaki, Jepang. Foto: Kevin W
Tunjuk dan Sebut oleh KP (di Jakarta, PPK) di stasiun Mizonokuchi, Kawasaki, Jepang. Foto: Kevin W

Ketika melihat video kereta api di Jepang, seringkali kita melihat adegan dimana masinis atau petugas di belakang KRL (Di Indonesia disebut Petugas Pelayanan Kereta) melakukan gerakan menunjuk. Gerakan ini disebut gerakan Tunjuk-Sebut.

Tunjuk-Sebut (Yubisashi Kanko / 指差呼称) sudah digunakan oleh pegawai kereta api di Jepang sejak 100 tahun yang lalu. Tunjuk-sebut bermula dari seorang masinis lokomotif uap Jepang bernama Yasoichi Hori, yang mengalami sakit mata saat berdinas. Untuk memastikan sinyal yang dilihatnya, ia menyebutkan status sinyal (aman, hati-hati, atau berhenti) kepada stocker (Asisten Masinis). Asistennya lalu membalas menyebutkan status sinyal itu, jika sesuai maka apa yang dilihat Hori adalah posisi sinyal yang benar.

Para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa cara ini sangat tepat untuk mengurangi kesalahan dalam bekerja. Tahun 1913, sistem ini diperkenalkan secara resmi di panduan berdinas kereta api Jepang, dan dikenal sebagai “kanko oto” (Sebut dan Jawab). Tunjuk diperkenalkan belakangan, kira-kira sekitar tahun 1925. Pada tahun tersebut, kombinasi tunjuk dan sebut lalu menjadi peraturan wajib di seluruh perusahaan transportasi di Jepang.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Railway Technical Research Institute, metode ini berhasil mengurangi kemungkinan kesalahan (human error) dari 2,38 kesalahan per 100 aksi menjadi hanya 0,38 kesalahan per 100 aksi.

Tunjuk-sebut ini sebuah metode untuk mengurangi kesalahan dalam bekerja. Banyak orang Jepang beranggapan bahwa orang luar Jepang (terutama Barat) akan sangat sulit mengaplikasikan tunjuk sebut, karena memang dalam budaya mereka tidak ada hal seperti itu.

Orang-orang barat lebih suka meminimalisir kesalahan pada teknologi daripada meminimalisir kesalahan pada manusia. Menurut mereka, human error bisa diatasi dengan teknologi. Sementara itu orang Jepang beranggapan bahwa secanggih apapun teknologi yang digunakan, yang mengoperasikannya tetaplah manusia, sehingga manusia adalah faktor yang paling penting untuk diperbaiki.

Jadi, apakah Indonesia memerlukan metode ini?

Meski terlihat tidak terlalu memberikan efek, ternyata metode ini cocok untuk Indonesia yang secara umum masih sangat mengandalkan ketajaman mata masinis. Hal ini juga memang sebaiknya tetap dibarengi dengan peningkatan teknologi keamanan seperti ATS (Automatic Train Stop) dan ATC (Automatic Train Control). Dengan perpaduan keduanya, tingkat kemungkinan kecelakaan akan semakin kecil.

KAORI Newsline | oleh Fasubkhanali

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses