Mendalami budaya anime dan perkeretaapian Jepang secara langsung, direktur utama KAORI menghadirkan laporan perjalanan dari Tokyo pada 11-17 Agustus 2015 ke dalam enam bagian.
Bagian 1: Dari Haneda Menjemput si Nambu (artikel ini)
Bagian 2: Karaoke, Satu Jam di Osaka, dan Naik TM 05
Bagian 3: Mencicipi Comiket, Seri 8500, dan Restoran Indonesia
Bagian 4: KFC Seharga 700 Yen dan Membeli Tenga
Bagian 5: Saat Satu Kecamatan Berkumpul di Big Sight
Bagian 6: Perpisahan Emosional di Ayase
Jam menunjukkan pukul 23:10 (waktu Tokyo) saat pesawat A330 maskapai AirAsia mendarat di landasan pacu Haneda. Perlu waktu sekitar 10-15 menit sampai pesawat benar-benar berhenti dengan sempurna pada garbarata.
Tidak ada yang dapat dilihat pada malam musim panas di Haneda, tapi tak henti-henti, munajat rasa syukur dipanjatkan kepada Tuhan saat melewati proses imigrasi.
“Konkai wa hajimete desuka?” tanya petugas imigrasi sembari mengecek paspor.
“Hai, hajimete desu.”
Berlabel stiker Temporary Visitor, rasa suka cita seketika berubah menjadi rasa gelisah setelah melihat jam. KRL terakhir dari Haneda berangkat jam 12 malam lebih sedikit dan jam sudah terlanjur menunjukkan pukul 23:40. Segera setelah bagasi berlanjut, berlarilah dengan tergesa-gesa sampai ke depan stasiun Tokyo Monorail.
Hanya ada loket mesin penjual tiket otomatis dengan menu-menu yang bahkan terasa asing mengingat petunjuk yang diberikan sebagian besar dalam bahasa Jepang. Saya tidak menyangka pengalaman pertama saya berurusan dengan mesin penjual tiket di Jepang akan berlangsung sedramatis ini!
Setelah tiket kereta bandara diperoleh (500 + 160 yen), saya bergegas menuju peron Tokyo Monorail. Koneksi internet yang bagus dengan sinyal 4G bagai bumi dan langit dan setelah hati merasa tenang melihat sepinya suasana peron, saya memutuskan membeli minuman di mesin penjual minuman otomatis yang (lagi-lagi) hanya dalam bahasa Jepang. Dengan bantuan seorang salaryman yang kebetulan melihat muka gelisah, saya membeli minuman pertama saya di Jepang. Sebotol Pocari Sweat seharga 140 yen.

KRL terakhir yang tidak terlalu ramai penumpang tiba di jalur 2 stasiun Haneda dan bergegas mengantarkan saya ke stasiun Hamamatsucho. Pengalaman yang saya rasakan memang tidak se-wah dan semewah mereka yang datang menumpang KRL Narita Express yang nyaman (dan dinaiki oleh dirut KCJ M Nurul Fadilla), tapi rangkaian yang dibuat tahun 1990-an ini menjalankan tugasnya dengan baik.
Tiba pukul setengah satu pagi di Hamamatsucho, saya melihat apa yang saya impikan saat membaca artikel 100 tahun jalur Yamanote di majalah Tetsudoufan: jalur Yamanote! Rasa senang lain bercampur rasa bingung saat melihat kereta jalur Keihin-Tohoku yang berjalan beriringan, dan rasa panik karena sudah mendekati jam KRL terakhir dan tidak tahu harus naik kereta yang mana. Harus naik yang ke arah Shibuya atau arah Tokyo?
Setelah membaca panduan, saya berhasil naik dan turun dengan selamat di stasiun Ebisu. Penginapan mudah dicari dan hal pertama yang dilakukan setelah menemukan penginapan adalah mencari makan malam dan konverter kabel dari colokan model bundar ke model batang (yang tidak terpikir untuk dibeli saat berangkat dari Jakarta).
Menjemput Sang JR 205 Nambu

Menyongsong pagi pertama, setelah tidur sebentar di penginapan, saya menapakkan kaki di stasiun Ebisu dan membeli kartu perdana Suica di mesin otomatis. Niat awalnya, menukarkan Rail Pass agar bisa naik KRL di jalur JR sepuasnya. Dan di stasiun Ebisu, saya menunggu 10 menit, melihat E233-7000 yang menggantikan JR 205 jalur Saikyo yang kini sudah berjalan di Jabodetabek. Terlihat pula pemandangan epik Shinkansen N700A yang berdinas sebagai Kodama (berhenti di setiap stasiun.)
Kali ini tanpa kesulitan, saya berhasil menukarkan Rail Pass di Tokyo dan kemudian membeli tiket Shinkansen pertama. Menyitir kata-kata Gilang, naik Shinkansen sepetak dari Tokyo sampai Omiya dengan tempat duduk dipesan. Tapi betapa kecewa ketika sampai di sana, museum belum dibuka.

Untuk mengisi waktu kosong, maka saya kembali ke Tokyo dengan Shinkansen terbaru seri E7 dan dari Tokyo, naik Shinkansen sampai stasiun Yokohama. Keluar dari peron Shinkansen, saya disambut dengan E233-6000 jalur Yokohama.

Panduan di jalur Yokohama tidak sejelas panduan di tengah Tokyo (dan sempat salah jurusan), namun tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di stasiun Kawasaki. Di stasiun Kawasaki, E233-8000 telah menunggu. Tapi saya tidak terlalu tertarik dengan E233-8000. Saya mencari JR 205 jalur Nambu.
Berbeda dengan di Jabodetabek di mana saya bisa memperkirakan hari ini rangkaian x berdinas di jadwal jam berapa dan di mana, saya tidak tahu ada di mana JR 205 yang berdinas saat itu. Melihat jadwal lintas Nambu yang sama langkanya dengan jadwal lintas Tangerang, saya memutuskan bertaruh, naik E233 ekspres yang akan berangkat ke Mizonokuchi tersebut dan nanti turun saja di Oimachi. Paling apes, setidaknya saya tahu kalau bakal berpapasan dengan 205 yang ke arah Kawasaki dan kalau beruntung, saya bisa naik 205 kembali ke Kawasaki.

Ternyata saya beruntung. Setelah menunggu 15 menit, rangkaian NaHa 3 (204-87) tujuan Kawasaki datang. KRL siang saat musim liburan ini penuhnya seperti lintas Bogor pada akhir pekan, di mana terlihat banyak anak-anak yang bepergian bersama orang tuanya. Saya sempat bingung, apakah benar Jepang kekurangan anak?
Berhasil naik di kereta pertama, saya bisa enjoy melihat pemandangan di lintas, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di Jakarta kecuali bagi perempuan. Kebetulan pula bahwa mulai Agustus, KCJ mewajibkan tirai kabin masinis dibuka selama perjalanan.

Tentu saja, setelah menyempatkan diri memotret 205-87 sampai puas, tidak lupa selfie cekrek dengannya!
Menyambangi Museum Kereta Api Jepang

Setelah menikmati perjumpaan historis, saya meninggalkan Kawasaki dengan menaiki KRL jalur Ueno-Tokyo (yang akan saya bahas pada bagian terakhir seri ini), langsung menuju Ebisu untuk berganti baju di penginapan (panasnya Tokyo seperti Surabaya!) dan kemudian menuju Omiya.
Akhirnya saya sampai di Omiya dan sempat tersesat saat hendak mencari peron untuk berpindah ke LRT menuju Tetsudou Hakobutsu-kan (museum kereta api.) Museum ini hanya menampilkan koleksi-koleksi kereta Japan Railway dan pendahulunya, sedangkan museum khusus Tokyo Metro ada di Funabashi (dibahas di bagian keempat seri ini.)

Bagi para penggemar kereta api Jepang, museum KA ini adalah surga. Ada banyak atraksi di sini mulai dari KRL seri 101 (pendahulu seri 103), kereta tidur Asakaze, dan simulasi menjadi masinis seperti yang ada di BPPT Sofyan Hadi di Bekasi. Sayangnya banyak informasi-informasi mendetail yang tidak tersedia dalam bahasa Inggris.

Dengan penuh percaya diri, saya menunggu sekitar 20 menit agar bisa mencicipi simulator KRL seri 209. Setelah mendapat giliran, dengan gagah berani saya mencoba berdinas dua stasiun dan gagal dengan spektakuler, serta menjadi bahan tertawaan anak-anak yang berdiri di samping saya. Alamak!

Saat saya datang, saya tidak melewatkan pula kesempatan berfoto dengan Shinkalion. Takara Tomy mengubah kereta Shinkansen menjadi mecha dan ternyata tidak ada hubungannya sama sekali dengan Evangelion.

Bila ingin berbelanja, ada toko pernik kereta api di dalam museum ini (yang juga disesaki oleh anak-anak.) Sayangnya saya tidak menemukan sama sekali pernik JR 205.
Menunaikan “Umrah” di Akihabara

Pulang dari museum KA, saya langsung menuju tempat lain yaitu Akihabara. Dari Omiya, saya memanfaatkan kesempatan sebagai orang asing untuk kembali naik Shinkansen. Lumayan karena biasanya cuma bisa melihat lok berseliweran saja di Indonesia. Dari stasiun Omiya, saya memilih turun di stasiun Ueno dan bersambung menggunakan jalur Yamanote.
Aura kemaniakan telah terasa segera setelah saya turun dari KRL. Saat menuruni eskalator, saya disapa dengan Love Live. Keluar dari stasiun, saya melihat dengan mata kepala sendiri apa yang biasanya hanya saya lihat dalam foto-foto. Gedung UDX, gedung Sega, jembatan Manseibashi, dan pernik lain.

Saya bertemu dengan rekan saya Farhan yang sedang menempuh S1 di Tokyo. Dalam kondisi cedera, Farhan memandu saya menikmati senja di Akihabara dan mengantar saya ke toko barang-barang bekas Book-Off.
Bayangkan Book-off seperti Gramedia dan Kwitang. Di sini, berbagai barang-barang seken berkualitas baru dijual dengan harga miring, bahkan sangat murah. Buku, komik, sampai konsol dapat ditemui di sini dengan harga bersaing. Termasuk, komik dewasa.

Di lapak novel ringan, novel-novel lawas seperti Shakugan no Shana dibanderol mulai 100 yen per bukunya, sedangkan novel keluaran terbaru dibanderol 20-25% lebih murah dari harga baru. Saya bisa membeli satu novel Saenai heroine no sodatekata seharga 400 yen saja. Mungkin ini yang disebut khilaf.
Setelah cukup lama melihat koleksi di Book-off, saya menuju toko lain. Melihat sejenak game center dan Farhan yang menunaikan kemampuan bermain Project Diva di dalam gedung Sega, saya menemukan pasangan suami istri yang bermain mesin dingdong dari kejauhan.
Selesai menunggu, saya berjalan menuju Animate dan tidak ada yang spesial sampai saya naik ke toko barang bekas lain, Rashinban (Lashinbang). Menurut penuturan Farhan, toko-toko di Akihabara selalu siap menerima pembelian dari Comiket. Untuk item-item yang hanya tersedia di Comiket atau yang langka, harganya bisa mengalami inflasi. Bahkan menurutnya, ada yang pergi ke Comiket untuk berinvestasi seperti ini. Sebagai bayangan, komik Utahalover yang dibuat oleh komikus Katsurai Yoshiaki dibanderol 3.000 yen di sini dan komik bertemakan Shibuya Rin edisi khusus bisa dijual seharga 4.000 yen.

Kesempatan yang langka ini dimanfaatkan untuk melihat berbagai macam komik dewasa (yang karena gambarnya, tidak dapat ditampilkan di sini.) Setidaknya sudah sempat memegang boks asli gim Grisaia!

Maka, nikmat mana lagi yang engkau dustakan?
Bersambung ke bagian 2: Karaoke, Satu Jam di Osaka, dan Naik TM 05.
KAORI Nusantara | oleh Kevin W
Koreksi: Versi awal menyebutkan BPPT Darman Prasetyo di Bekasi, yang benar adalah BPPT Sofyan Hadi.
Kapan dilanjutkan lagi nih artikelnya? Ditunggu ya