Sendiri Tapi Tidak Kesepian: Artikel Volker Grassmuck Tentang Otaku (1)

0

figurine

Kepada pembaca KAORI Newsline yang tertarik untuk mengkaji secara dalam dan mendasar mengenai fenomena otaku di Jepang, kami memuat esai dalam bahasa Indonesia yang cukup dalam mengulas mengenai otaku di Jepang. Credits kepada penerjemah aslinya.

Artikel ini akan dimuat dalam 4 bagian di KAORI Newsline, berkaitan dengan panjangnya artikel ini. Mohon memperhatikan klausul Open Content yang menjadi dasar lisensi artikel ini.

Alasan mengapa Newsline memilih untuk memasukkan artikel ini, agar kita dapat mengamati dan melihat fenomena otaku ini lebih kritis. Dengan materi yang dikatakan sudah cukup lama ditulis (medio 1990an), namun sebagian di dalam artikel ini sudah terjadi di dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Kiranya artikel ini bisa bermanfaat bagi semua yang membutuhkannya. Selamat Membaca.

Shin Muhammad | KAORI Newsline | Keterangan dan Sumber Artikel dapat anda lihat di akhir bagian artikel ini. KAORI tidak memiliki, menerjemahkan, maupun mengubah artikel ini serta tidak bertanggung jawab atas hal yang terjadi akibat konten dari artikel ini.


Pengantar Penerjemah:

Tulisan Grassmuck ini dibuat pada tahun 1990. Dilihat dari tahun penulisan, maka sebenarnya tulisan ini bisa dikatakan ketinggalan jaman. Bahkan sebenarnya, fenomena otaku itu sendiri pun sudah tidak marak lagi di Jepang.

Namun demikian, tulisan ini tetap berguna bagi sejumlah orang yang tertarik pada Jepang, terutama dalam rangka mengamati fenomena-fenomena yang saat ini terjadi di Jepang.

Pada beberapa tahun terakhir, Jepang dilanda oleh fenomena yang disebut dengan Hikkkomori (sebutan bagi individu yang menarik diri dalam pergaulan dengan orang lain). Perkiraan jumlah pengidap hikikomori hanya beberapa puluh ribu orang saja. Tapi patut diperhatikan bahwa para pengidap hikikomori semuanya berada di kelompok umur 18-30 tahun, atau bisa dikatakan kelompok generasi muda. Bagi Jepang yang saat ini sedang mengalami masalah serius dalam hal populasi yang terus menyusut, masalah seperti hikikomori yang melanda generasi mudanya tentu adalah suatu masalah yang sangat serius.

Kalau diperhatikan, banyak karakteristik para pengidap hikikomori yang mirip sekali dengan para otaku. Kedua-duanya, hikikomori dan otaku, adalah sama-sama pemuja dunia informasi dan teknologi. Kedua-duanya memiliki kecenderungan untuk tidak bersosialisasi dengan siapa pun (walaupun hikikomori berada pada tingkatan yang relatif lebih gawat). Terakhir, kedua-duanya adalah Singkatnya, mereka adalah orang-orang yang sebisa mungkin hidup sendirian tapi tidak merasakan kesepian. Kata-kata yang digunakan oleh Grassmuck untuk menggambarkan kaum Otaku (isolasi diri, kegandrungan pada dunia maya, dan lain-lain), entah kenapa, juga berulangkali muncul dalam berbagai penggambaran tentang hikikomori. Tentu saja ada banyak perbedaan di antara keduanya. Namun, persamaan yang muncul antara hikikomori dan otaku menunjukkan bahwa tampaknya kedua fenomena tersebut memiliki sejumlah hubungan tertentu yang perlu diketahui lebih lanjut.

Hubungan antara kedua fenomena itu tidak begitu jelas. Tapi bisa jadi, satu-satunya hubungan yang muncul adalah bahwa kedua istilah tersebut dimunculkan oleh kaum professional (psikolog, wartawan, pendidik dan lain-lain), karena mereka:

merasa kecewa karena anak-anak mereka tampaknya tidak ingin meneruskan mengejar mimpi yang dulu pernah mereka kejar. Mereka kecewa karena anak-anak muda ini tampaknya tidak peduli lagi pada kelanjutan ‘proyek modernisasi’. Mereka ingin memahami anak-anak mereka, tapi anak-anak mereka sendiri menolak untuk mengekspresikan diri mereka di hadapan orang tuanya.

Dengan demikian, baik istilah hikikomori maupun otaku (bisa jadi) adalah istilah yang sarat dengan penghakiman: benar-salah, baik-buruk, hitam-putih. Bisa jadi, selama fenomena ini terus dihakimi seperti itu, fenomena yang mirip dengan hikikomori dan otaku akan muncul berulang-ulang, hanya saja dengan nama yang berbeda-beda. Grassmuck sudah dengan baik menunjukan hal ini dengan dalam artikelnya. Dia menjelaskan tentang berbagai istilah yang telah ‘dimunculkan dengan sengaja’ untuk menggambarkan para ‘generasi muda yang menyimpang’. Mulai dari istilah moratorium ningen, hingga istilah otaku itu sendiri. Pada kenyataannya, fenomena ‘hidup kosong dan sepi’ yang dialami oleh sejumlah generasi muda Jepang (patut dicatat bahwa ini tidak dialami oleh semua generasi muda Jepang), tidak menghilang bersamaan dengan memudarnya suatu penggunaan istilah tertentu. Fenomena itu hanya berubah bentuk dan, juga, berubah nama.

Dari sisi Indonesia, kajian tentang fenomena yang banyak melanda generasi muda Jepang perlu dikembangkan lebih lanjut. Apa yang dialami oleh masyarakat Jepang sekarang, bisa jadi akan dialami oleh masyarakat Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, mengkaji fenomena sosial-budaya terkini di Jepang adalah seperti mengantisipasi fenomena mendatang di Indonesia. Mengantisipasi dan, kalau bisa, menghindarinya.

Dengan konteks seperti itu, maka kajian tentang otaku adalah juga bagian dari kajian terkini tentang Jepang. Bahkan walaupun artikel ini dituliskan lebih dari 16 tahun yang lalu. Sebagai sebuah kajian, tulisan Grassmuck cukup penting karena dia menggambarkan kondisi sosial yang melatar belakangi kemunculan otaku, dan yang berlaku pada saat otaku sedang marak.

Artikel ini diterjemahkan agar semakin banyak orang bisa mengakses dan membacanya. Semoga dengan cara ini kami bisa memberikan sedikit sumbangan bagi masyarakat kami.

Ini adalah proyek penerjemahan secara sukarela dari para anggota mailing list J-I_link@yahoogroups. Kami dengan senang hati menerima setiap kritikan dan sumbang saran terhadap hasil penerjemahan kami. Berikut adalah artikel hasil terjemahan kami…

“Sendiri, Tapi Tak Kesepian”

[hak cipta oleh Volker Grassmuck, 1990. Diterjemahkan dan diterbitkan secara elektronik dalam milis ini dengan memperhatikan klausul dalam OpenContent License (OPL). Klausul lengkap dapat dilihat di bagian terakhir]

Volker Grassmuck
(Dec. 1990)

Diterjemahkan oleh:
Dipo D. Siahaan
Raphaella Dewantari
Hanna Sibarani


Uji Baca dan Pengeditan:
Shobichatul Aminah
Mohammad Hassan

Pada tanggal 1 November, Televisi menayangkan berita tentang sebuah kecelakaan mobil. Seorang anak kecil mengemudikan mobil ayahnya keluar dari garasi, dan dan masuk terperosok ke halaman tetangganya. Anak laki-laki itu masih berusia satu tahun. Sang ayah mengatakan kepada media, bahwa anak kecil tersebut belajar mengemudi dari video game di sebuah tempat yang biasa mereka kunjungi setiap hari.

Di sini kita berbicara tentang manusia tipe terbaru, shin jinrui. Tidak kurang, tidak lebih. Paling tidak, tipe ini dapat dianggap sebagai tipe yang terbaru, jika kita membacanya sebagai shinjin-rui. Ya, mereka adalah yang terbaru, dan unik. Dalam hal manusia tipe terbaru, tidak ada yang lebih jelas (kebaruannya) selain daripada para otaku. Sampai-sampai, kemanusiaan mereka pun diragukan. Jangan-jangan mereka sebenarnya berasal dari luar angkasa.

Ada bermacam variasi otaku. Antara lain, otaku yang senang berburu foto-foto penyanyi idola, otaku yang sangat fanatik terhadap game komputer, otaku yang menjadi pecandu komik atau manga, otaku yang menjadi maniak mainan plastik, atau otaku yang gemar menyadap percakapan telepon-mobil. Banyaknya variasi tersebut membuat definisi otaku tidak hanya merujuk pada satu subjek (kesukaan) tertentu. Otaku lebih tepat dipahami sebagai sebuah model keberadaan manusia. Saat ini, sudah mulai ada majalah-majalah yang membahas mereka, bahkan juga festival-festival, lalu juga permainan video, jaringan komputer, dan bahkan sebuah buku telah diterbitkan tentang mereka “Buku Otaku”. Menurut perkiraan seorang editor dari “Do-Pe”, sebuah majalah Otaku, mungkin saat ini ada sekitar 350.000 otaku kelas berat di Jepang. Sayangnya, dia tidak mengatakan berapa persisnya otaku kelas ringan yang ada.

Jika makna dari istilah otaku ditanyakan pada orang yang berbeda-beda, maka akan didapat jawaban yang berbeda-beda pula. Hal itu karena makna otaku mengalami banyak perubahan sepanjang perkembangannya, dan dalam hal-hal tertentu orang-orang juga menggunakan sudut pandang yang berbeda-beda untuk memahaminya. Lalu, apa yang menjadi penanda paling umum dari para otaku? Para otaku biasanya adalah ABG atau remaja. Kebanyakan remaja laki-laki. Mereka senang memakai jins, t-shirt dan sepatu kets. Bagi orang dari luar Jepang, gaya berpakaian seperti itu tampaknya tidak membedakan para Otaku dengan orang-orang lain yang sebaya mereka. Namun, orang-orang Jepang terkenal sangat tergila-gila dengan fashion, sehingga gaya seperti itu justru malah membuat para Otaku tampak berbeda. Para otaku juga membenci sentuhan fisik, mencintai media massa, teknologi komunikasi, dan wilayah reproduksi serta simulasi maya pada umumnya. Mereka mengubah, memanipulasi dan menyelewengkan produk-produk jadi hasil industri, namun pada saat yang bersamaan, mereka adalah contoh paling sempurna dari konsumerisme dan adalah tenaga kerja yang ideal untuk kapitalisme modern Jepang. Singkatnya, mereka adalah anak kandung media.

Sebagai contoh adalah KUSHIDA Riko, seorang game-otaku. Kamar kecilnya dipenuhi dengan mesin-mesin permainan elektronik dan 200-300 papan permainan elektronik yang bisa dihubungkan dengan mesin permainannya. Ia mengenakan sebuah jaket denim dan rok pendek, dan sekilas tampak seperti seorang anak kecil yang tersesat di antara dinding-dinding ruangan editor majalah Log In. Ia mengamati dengan pandangan yang sedikit menunduk dan hati-hati, tapi berbicara dengan kepercayaan diri yang tinggi sambil melihat tepat ke mata (orang seperti itu biasanya tidak bisa diklasifikasikan sebagai otaku kelas berat). Saat dia berumur 8 atau 9 tahun, dia mulai memainkan permainan video elektronik, seperti “Ping Pong” atau “Block”. Kemudian pada umur 10 tahun, ia pergi ke lantai atas sebuah departmen store agar bisa memainkan permainan elektronik lain yang jauh lebih baik dan menarik daripada yang dia bisa dapatkan di televisi rumahnya. Pada pada umur itu pula dia mulai membuat program permainannya sendiri dengan menggunakan pemrograman BASIC (sejenis bahasa komputer). Pada masa itu, anak-anak remaja senang membuat radio sendiri, sehingga banyak majalah-majalah radio amatir yang bermunculan yang bisa dibaca oleh para remaja. Dalam majalah-majalah itulah, kita bisa menemukan artikel-artikel yang mengajarkan cara membuat permainan komputer sendiri dengan menggunakan bahasa BASIC. Umur 13 tahun, KUSHIDA telah berteman dengan manajer game center yang didatanginya tiap hari. Manajer inilah yang kemudian memperkenalkannya pada para penjual permainan elektronik bekas. Saat itu, para penjual permainan elektronik ini kebanyakan hanya menjual produknya kepada para manajer game center. Namun, akhirnya para game-otaku (seperti Kushida) menemukan mereka. Dari merekalah para game-otaku mendapatkan mesin-mesin penjualan elektronik, yang kebanyakan tidak bisa dijual karena telah dianggap sebagai barang rongsokan, mulai dari harga 5000 yen. Kadang-kadang juga mereka menjual satu set perangkat permainan elektronik yang lengkap atau bahkan benda-benda yang langka dengan harga mulai dari 200.000 hingga 300.000 yen. Harga ini tidak menjadi masalah bagi para Otaku, mengingat ‘investasi’ mereka akan kembali dalam beberapa minggu saja karena mereka tidak perlu memasukkan koin lagi ke ke slot mesin setiap kali mereka hendak bermain.

Menurut Kushida, sejarah game, dimulai oleh Space Invader. Game ini dikeluarkan pada tahun 1979 oleh Taito, dan kemudian didistribusikan ke seluruh dunia (secara legal maupun ilegal) oleh berbagai perusahaan software dari berbagai negara. Ini kemudian menghasilkan satu generasi pecandu permainan elektronik. Setelah Space Invader, Pacman menyusul. Namun, bagi Kushida, game nomor satu sepanjang sejarah adalah Pong, yang dikeluarkan oleh Atari pada tahun 1971. Setelah era Invader, pasar permainan elektronik meledak. Perusahaan seperti Namco atau Nintendo bertambah besar, dan beberapa di antara mereka bahkan menjadi sangat besar. Nintendo, sebuah imperium video game, pada awalnya hanyalah sebuah produsen permainan kartu. Tetapi setelah mereka memasuki pasar game, Nintendo menjadi perusahaan dengan penghasilan terbesar pada tahun 1989. Prestasi ini telah mereka pertahankan selama 8 tahun berturut-turut. Mereka menghasilkan sekitar 250 milyar yen dari penjualan video game mereka.

Kushida selalu terbawa oleh perasaan sentimentil saat membicarakan kelahiran dan pertumbuhan fenomena game elektronik. Pada masa-masa tersebut dia memang selalu bermimpi tentang game. Namun, katanya, bukanlah permainan itu yang membangkitkan imajinasinya, melainkan sebaliknya. Imajinasinya sendirilah yang kemudian mendekatkan dirinya ke game-game tersebut. Sebenarnya, Kushida adalah kasus yang unik di dunia otaku, yang didominasi oleh laki-laki. Kenyataannya 98.3% pembaca Log In, majalah game besar tempat Kushida bekerja sebagai editor, adalah laki-laki.

Saat ini Kushida telah berumur 20 tahun dan mengambil jurusan Filsafat di bangku kuliah. Tidak, dia tidak merasa bahwa pilihan jurusannya sebagai hal yang aneh. Dunia game mencakup juga dunia nyata, dan demikian pula sebaliknya. Jadi, selalu ada hubungan antara filsafat dan game. Walaupun, kata Kushida sambil tertawa, hubungan itu sangat rumit dan ia sendiri tidak bisa menjelaskannya.

Toko VN
Toko Visual Novel di Jepang (Quirky Japan Blog)

Generasi Baru
Masyarakat Jepang, sangat ingin mengetahui siapa diri mereka dan ke arah mana mereka bergerak saat ini. Mungkin keingintahuan tentang hal tersebut lebih dalam mengakar pada masyarakat Jepang daripada pada masyarakat lain. Selama lima belas tahun terakhir (artikel ini ditulis pada tahun 1990 – penerj.), masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang makmur. Namun, proses menuju kemakmuran selalu diiringi dengan perubahan dan gejolak yang radikal di dalam masyarakat. Demikian pula di dunia internasional, karena kemajuan teknologinya, masyarakat Jepang secara umum diterima dengan baik dan bahkan dipuji. Namun, baik teknologi maupun kekayaan adalah fondasi yang rapuh untuk membangun identitas diri. Ketiadaan fondasi yang kuat untuk membangun identitas diri tersebut kemudian memunculkan perubahan sikap dan mentalitas yang terlihat dengan jelas di kaum muda. Keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya ingin dilakukan kaum muda Jepang itulah yang membuat media dan kalangan akademisi hampir setiap tahun memunculkan istilah Shinjinrui atau ’Generasi Baru’. Dalam konteks inilah, istilah ‘Otaku’ muncul. Istilah ‘Otaku’ tidak muncul begitu saja, tapi didahului oleh berbagai istilah lain yang pada intinya mencoba merujuk kepada ‘generasi baru’ masyarakat Jepang.

Istilah yang muncul lebih dulu daripada Otaku dan sempat digunakan selama beberapa saat adalah Moratoriumu Ningen (orang-orang moratorium). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Okonogi Keigo, profesor dari jurusan neuropsychiatric universitas Keio, melalui artikel berjudul ”Moratoriumu Ningen no Jidai” yang dimuat dalam jurnal Chuo Koron pada bulan Oktober 1977. Istilah moratorium dipinjam dari buku karya Erik Erickson, ‘psychosocial moratorium’, yang merujuk pada periode pelatihan atau belajar para anak muda sebagai saat-saat dimana mereka tidak perlu memenuhi kewajiban dan tanggung jawab kepada masyarakat (moratorium berarti kondisi tak bergerak, atau mati. Informasi tentang Erickson dan teori ’pembentukan identitasnya’ dapat dilihat di situs wikipedia.). Bagi Okonogi, karakteristik moratorium (lambat, beku, diam) telah menjadi ‘karakter sosial’ yang dominan dalam masyarakat sekarang. Karakteristik dari mentalitas moratorium yang seperti inilah yang dapat dianggap sebagai latar belakang fenomena otaku pada tahun 80an.

Menurut Okonogi, masyarakat konsumen yang makmur seperti Jepang, menyebabkan setiap orang menjadi seperti anak-anak. Iklan dan media massa telah membangkitkan rasa kekanak-kanakan yang ada dalam diri setiap orang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, telah memaksa setiap orang untuk terus menerus menyesuaikan diri dan belajar agar tidak tertinggal. Budaya baru muncul dan menghilang secara terus menerus dalam tempo yang sangat cepat, layaknya kesetanan. Akibatnya, manusia mau tidak mau harus mengadopsi model eksistensi yang bersifat sementara dan tanpa ikatan. Keterlibatan individu dalam masyarakat menjadi seperti bermain-main dan santai. Setiap orang terus berupaya untuk tetap mempertahankan jarak dengan orang lain. Masing-masing orang adalah konsumen yang tidak terikat dengan apa pun, atau bisa juga seperti seorang tamu dengan struktur pribadi yang dikontrol dan dilindungi sendiri. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada para Otaku, hubungan antar manusia yang dangkal seperti ini, membuat orang-orang moratorium dapat bertahan hidup sambil tetap mempertahankan isolasi diri mereka. Kehidupan orang-orang moratorium yang seperti ini menimbulkan ’sindrom kekaburan identitas’ dan juga sebuah ‘kekosongan diri’ yang, menurut Okonogi, telah menjadi suatu hal yang biasa dan umum. Moratorium telah menjadi sebuah tujuan. Kondisi yang mengandung sebuah potensi kekuatan penghancur yang besar.

Okonogi menyalahkan media massa, yang menurutnya telah memproduksi “’kondisi keberadaan maya’… karakteristik media massa yang berjarak dengan masyarakat (self-dissociation) telah diadopsi dan menjadi bagian dari struktur psikologi kaum … Kaum muda saat ini menjadi sangat kuat, karena mereka telah terasimilasi ke dalam media massa yang memiliki kekuatan untuk menyihir masyarakat.”

Nada yang digunakan dalam artikel Okonogi tersebut menyiratkan kepesimisan budaya. Meskipun di akhir artikelnya dia mencoba menghibur dengan menunjukkan adanya tanda-tanda awal masa-masa moratorium ini akan segera berlalu, tetap saja artikelnya merupakan gambaran yang muram tentang masyarakat yang terisolasi dan diam, dan tentang orang-orang yang tersesat dalam gelombang post-modern. Gelombang yang mengancam akan menenggalamkan ‘masyarakat riil’ – yaitu masyarakat produksi dan distribusi, yaitu masyarakat dimana Okonogi berdiri dan menuliskan artikelnya.

Dari artikel Moratoriumu Ningen kita dapat menangkap kondisi sosial masyarakat yang berlaku saat itu. Kondi seperti itu yang kemudian melatar belakangi kemunculan para otaku. Latar belakang yang sarat dengan penutupan diri sendiri dalam dunia hyper-reality. Kemudian setelah itu, istilah Moratoriumu Ningen, digantikan oleh terminologi Shinjinrui. Namun, dalam istilah ini pun, kita lagi-lagi menemukan hal yang sama, yaitu tentang kekosongan hidup, walaupun kadang-kadang dalam nada yang sedikit lebih cerah.

Kata Shinjinrui, sebagaimana halnya otaku, memiliki variasi makna yang sangat besar. Sebagai terminologi non-ilmiah, kata itu kadang bisa dipakai untuk merujuk pada semua generasi baru (apa pun jenisnya). Tapi kadang-kadang juga, kata tersebut digunakan untuk merujuk pada satu kelompok anak muda tertentu, mirip dengan penggunaan istilah Yuppies yang digunakan pada tahun 1970an di Amerika.

Para shinjinrui ini biasanya adalah anak muda yang masih kuliah dan atau yang berada di awal umur 20an. Berbeda dengan Otaku, Shinjinrui sangat menekankan pada penampilan luar yang berkilauan, dengan menghabiskan uang mereka. Mereka biasanya ingin mendapatkan pekerjaan sebagai model atau dalam bidang periklanan, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan cukup uang dan cukup waktu sehingga bisa melakukan hobi utama mereka: memamerkan barang-barang dan mobil-mobil mewah. Trend terakhir mereka adalah memiliki kulit kecoklatan di lengan kiri, karena itu adalah tanda bahwa dia mengendarai mobil import dengan setir di sebelah kiri (sehingga lengan kiri merekalah yang terkena dan terbakar oleh sinar matahari). Shinjinrui juga dipanggil dengan sebutan ‘anak-anak kristal’. Istilah ini diambil dari buku best-seller karya TANAKA Yasuo, Nantonaku, Kuristaru (Tokyo, 1980. Terjemahan harafiahnya adalah “Kristal, Entah Bagaimana”). Buku ini telah menjadi semacam pedoman bagi shinjinrui untuk mencari tahu tentang restoran, butik, ataupun club yang sedang trend di Tokyo pada masa tersebut. Buku ini juga dianggap sebagai buku pedoman tentang cara-cara agar bisa dianggap ‘keren’ dan bergaya. Nantonaku, Kursitaru pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 dalam jurnal bulanan Bungei (seni) dan tidak lama setelah itu langsung diterbitkan menjadi buku yang kemudian mencapai hasil penjualan hingga satu juta eksemplar. Dalam buku tersebut, Tanaka memberikan ‘pandangan dari dalam’ tentang bagaimana menikmati hidup yang kosong. Sebuah dunia kehidupan tersendiri dimana setiap orang di dalamnya hidup dengan sungguh-sungguh mengagungkan keangkuhan dan kepura-puraan. Alur cerita tersebut ‘mengarah pada ketiadaan diri’ (Norma Field), tapi 442 buah catatan kaki yang disediakan dalam buku ini adalah informasi yang dibutuhkan para hyper-consumer , atau paling tidak demikianlah klaim dari sang pengarang. Contoh:

Tanya: kemana kau harus pergi bila pada suatu malam minggu, jam sebelas malam lewat, kau sangat, sangat ingin mendapatkan es krim?

Jawab: panggil taksi, lalu pergilah ke Swensen’s di “Killer” Avenue.

Memang benar bahwa karena perubahan yang terus menerus dalam bidang fashion, kebanyakan informasi yang terdapat dalam buku ini menjadi ketinggalan jaman begitu buku “Nantonaku, Kuristaru” diterbitkan. Namun, beberapa terminologi di dalamnya tetap dipertahankan dan dipergunakan secara luas. Istilah Shinjinrui, misalnya, telah memperkaya bahasa Jepang dengan “sindrom nama terbaru”.

Para Shinjinrui, seperti halnya para otaku, terobsesi pada hal-hal kecil yang terperinci daripada pada suatu ideologi tertentu yang bisa memberikan pandangan umum tentang kehidupan. Seorang shinjinrui harus pergi kemana-mana dan berada dimana-mana sekaligus. Dia juga harus sudah membaca terbitan terakhir Mari Claire, dan juga Popeye and Brutus. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa mengetahui bahwa Armani sudah tidak jadi trend lagi, karena telah digantikan oleh Perier? Jika dia tidak tahu tentang itu, bagaimana dia bisa terlibat dalam percakapan di Gold’s? Shinjinrui memang adalah orang-orang yang angkuh, namun mereka adalah sekaligus juga orang-orang yang terinformasikan dengan baik sekali.

Saat ini, orang-orang yang seperti shinjinrui ini masih ada di sekitar kita, walaupun istilah itu sudah tidak digunakan lagi untuk merujuk kelompok tertentu dengan sifat-sifat seperti di atas. Jadi dalam hal ini tidak masalah jika menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada seluruh generasi selanjutnya

Semua terminologi itu – Moratorium ningen, shinjinrui, ataupun nagarazoku (orang-orang yang melakukan banyak hal secara bersamaan) – diciptakan dalam rangka mengkategorikan orang-orang yang hidup di dunia postmodern ini. Mereka yang menciptakannya adalah para profesional seperti neuropsikiatris, wartawan dan maupun para penulis. Para kaum professional ini menilai generasi muda dengan menggunakan perangkat nilai mereka sendiri, yaitu nilai-nilai seperti ‘kedalaman’, ‘keseriusan’, sejarah, dan atau dengan nilai-nilai dalam bidang keilmuan tertentu. Orang-orang dewasa ini merasa kecewa karena anak-anak mereka tampaknya tidak ingin meneruskan mengejar mimpi yang dulu pernah mereka kejar. Mereka kecewa karena anak-anak muda ini tampaknya tidak peduli lagi pada kelanjutan ‘proyek modernisasi’. Mereka ingin memahami anak-anak mereka, tapi anak-anak mereka sendiri menolak untuk mengekspresikan diri mereka di hadapan orang tuanya.

Walaupun demikian, kelahiran otaku-zoku (generasi otaku), para non-profesional, atau anak-anak ‘tanpa gaya hidup’, pada tahun 1980an, memiliki sedikit perbedaan dengan kemunculan kelompok-kelompok muda sebelumnya.

Bersambung ke bagian 2.

Artikel ini dikutip dari blog Jepang Indonesia (http://jepangindonesia.wordpress.com/2007/08/27/sendiri-tapi-tidak-kesepian/). Untuk lisensi penggunaan artikel ini, anda dapat membacanya di http://opencontent.org/opl.shtml.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses