Otaku, produk generasi muda masa kini. (Hector)
Pada artikel bagian pertama, kita diajak menelaah lebih dalam dan menelusuri latar belakang budaya yang menyebabkan fenomena "otaku" dapat muncul. Kini, kita akan masuk lebih dalam ke terminologi "otaku" itu sendiri.
Dalam artikel 2 ini, anda akan melihat bagaimana terminologi "otaku" ini berawal, serta perubahan makna yang cukup drastis, yang dialami oleh mereka sendiri, hingga keterkaitan antara pemujaan informasi dan otaku itu sendiri.
Selamat membaca.
Shin Muhammad | KAORI Newsline | Keterangan dan Sumber Artikel dapat anda lihat di akhir bagian artikel ini. KAORI tidak memiliki, menerjemahkan, maupun mengubah artikel ini serta tidak bertanggung jawab atas hal yang terjadi akibat konten dari artikel ini.
Kelahiran dan Perkembangan ‘Otaku’
Ada kerancuan dalam makna kata otaku. Otaku, sebagaimana halnya Shinjinrui, diambil dari kata yang digunakan sehari-hari. Secara harafiah, istilah ini berarti “rumah anda”, lalu bisa juga diartikan (secara sebagian, atau pars pro toto) sebagai “suami anda”. Namun, pada umumnya kata ini digunakan untuk kata ganti orang kedua: ”anda”. Penggunaan kata otaku sebagai kata ganti orang kedua berhubungan dengan budaya Jepang yang selalu memandang indivu sebagai anggota dari kelompoknya. Oleh karena itu kata otaku (’rumah anda’) digunakan sebagai kata yang merujuk pada ‘anda’ (sebagai anggota ’rumah anda’).
Sudah umum diketahui bahwa ada 48 cara untuk mengatakan “saya” dalam bahasa Jepang, demikian pula kosakata untuk “anda” juga kurang lebih sama banyaknya. Biasanya, kata-kata “saya” dan “anda” memang dihindari dalam percakapan, namun bila anda ingin memanggil dan berbicara dengan seseorang, maka biasanya anda akan menggunakan nama orang tersebut, atau “anata” (kepada orang sederajat atau yang di atas kita), “kimi” (kepada orang yang sederajat atau di bawah kita), “omae” (kepada teman akrab atau kepada orang di bawah kita), atau… Otaku. Otaku adalah cara yang sopan untuk berbicara dengan seseorang yang posisi sosialnya relatif belum kita ketahui, kata ini cukup sering muncul dalam bahasa kaum perempuan. Singkatnya, kata ini bertujuan untuk menjaga jarak dengan orang lain/lawan bicara. Apabila digunakan di antara orang-orang yang sederajat, maka kata ini akan terdengar ironis atau bahkan sarkastis. Secara umum, kata ini memiliki nuansa arti: “Jangan mendekat!”. Bayangkan jika seorang ABG berbicara dengan teman sebayanya menggunakan kata “Tuan!”. Seperti itulah nuansa dari kata otaku apabila digunakan di kalangan teman sebaya.
Demikianlah bagaimana kata itu dahulu digunakan. Lalu suatu ketika (sekitar 10 tahun lalu dalam perhitungan dunia nyata), beberapa orang mulai menggunakan kata ini dengan maksud untuk menjauhkan diri mereka dari rekan dan teman-teman mereka sendiri. Tidak ada konsensus tentang kapan tanggal dan tempat pasti kejadian ini. Masa lalu yang baru saja lewat tampaknya justru adalah yang paling sulit dipahami, karena diturunkan hanya dari mulut ke mulut tanpa petunjuk yang pasti. Kita butuh seorang sejarawan yang mencatat kehidupan sehari-hari untuk bisa mengetahui apa yang baru saja terjadi kemarin. Beberapa orang informan mengatakan bahwa penggunaan kata otaku dengan cara seperti itu pertama kali terjadi di dunia periklanan, ada juga yang bilang bahwa itu terjadi di lingkungan para kolektor gambar-gambar animasi. Mungkin ada yang di antara mereka berkata “bisakah menunjukkan koleksi anda (otaku) pada saya?” Demikianlah penggunaannya yang seperti itu pun mulai menyebar. Namun tampaknya, rumor yang paling bisa dipercaya mengatakan bahwa hal itu terjadi pertama kali di antara orang-orang yang bekerja di stasiun televisi dan perusahaan pembuat video animasi. Dari situ, penggunaan kata ‘otaku’ yang seperti itu menyebar kepada para penonton anime, di dunia manga (buku komik Jepang) yang sangat dekat dengan anime , serta di dunia game komputer.
Untuk menentukan syarat-syarat agar seseorang bisa disebut sebagai otaku merupakan hal yang cukup sulit. Makna konotatif yang paling umum dari kata tersebut sepertinya hanyalah tentang ‘jarak’ serta ‘keterpisahan’. Untuk mengetahui makna dari sebuah kata yang sedang trend, hal pertama yang perlu dilakukan adalah dengan mencarinya di buku “Pengetahuan Dasar tentang Istilah Modern” (Gendai Yogo Kisochishiki), sebuah ensiklopedi tahunan yang berisikan berbagai artikel tentang macam-macam gaya hidup di Jepang dan tentang perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi dalam bahasa Jepang. Pada “Pengetahuan Dasar tentang Istilah Modern” edisi tahun 1990, ada sebuah artikel yang berjudul Otaku dengan penjelasan sebagai berikut:
‘(Otaku) telah digunakan sebagai kata ganti orang kedua di antara para maniak manga dan animasi. Kata ini mulai populer setelah penerbitan artikel NAKAMORI Akio pada tahun 1984, Manga Burikko (penjelasan tentang burikko dapat dilihat di bawah, dalam sub-judul ‘idols’). Kata ini merujuk pada jenis orang yang tidak dapat berkomunikasi baik dengan orang lain, sangat perhatian pada detail, dan punya ketertarikan yang bersifat sangat khusus, bahkan maniak. Para Otaku cenderung bertubuh gemuk, berambut panjang, dan menggunakan T-Shirt serta jins. Kata ini punya makna yang sama dengan kata ‘nerd’ yang di Amerika Serikat digunakan untuk menunjuk pada para maniak komputer dan Science Fiction.”
Seorang teman Amerika pernah berkata padaku bahwa nerd belum tentu punya arti yang sama dengan otaku, walaupun tidak bisa dikatakan juga sebagai sama sekali berbeda. Seorang Nerd adalah seorang remaja pria SMA yang membetulkan kacamatanya yang patah dengan menggunakan lakban, bertipe mirip-ilmuwan, suka membawa berbagai jenis bulpen di kantong bajunya (baju yang ada noda warna birunya karena salah satu bulpennya pernah bocor) dan, tentu saja, tidak punya teman.
Gambaran seperti itu sangat mirip dengan gambaran yang pernah dikatakan oleh TSUZUKI Kyoisi, seorang mantan wartawan dari majalah “Popeye” dan saat ini menjabat sebagai editor seni. Dialah yang memperkenalkanku pada sudut-sudut tersembunyi dari dunia Otaku: “Pada awalnya otaku digunakan dalam makna yang negatif, dan dimaksudkan untuk mereka yang penampilannya buruk, yang tidak memiliki pacar, yang senang mengkoleksi benda-benda yang konyol, dan tersingkir dari pergaulan. Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa otaku adalah seseorang yang tertarik pada sesuatu yang benar-benar tidak berguna. Idol-otaku, manga-otaku atau apapun-otaku berarti bahwa dia tidak punya ketertarikan apa-apa lagi di luar hal-hal tersebut. Namun seorang Otaku akan benar-benar mencurahkan hati dan pikirannya pada ketertarikannya yang satu itu. Ini sebenarnya adalah cara yang bodoh untuk menghabiskan waktu, dari sudut pandang normal. Namun, mereka memainkan permainan mereka dengan tingkat keseriusan yang tinggi sebagaimana orang lain sangat serius memandang setiap kegiatan mereka.
Mereka dapat dilihat dengan mudah, karena mereka tidak peduli dengan cara mereka berpakaian. Mereka berbicara dengan cara yang aneh, dan selalu melihat ke tanah apabila harus berbicara berhadapan muka. Mereka tidak suka aktivitas fisik, sehingga tubuh mereka gemuk, atau bisa juga kurus tapi tidak kekar, dan yang pasti mereka tidak pernah berkulit kecoklatan. Mereka tidak peduli pada makanan yang lezat, karena mereka pikir mereka bisa menghabiskan uang mereka untuk hal-hal lain yang (dalam pandangan mereka) lebih penting.
Mereka baru benar-benar aktif, ketika mereka duduk berhadapan dengan komputer mereka. Para programer komputer ini terkenal dapat hidup dengan keripik kentang (yang mereka makan dengan menggunakan sumpit) serta segelas kopi susu. Ritme kehidpan mereka berbeda dengan orang biasa. Mereka dapat tidak tidur selama 40 jam, dan tidur selama 12 jam. Konon katanya, computer-otaku dapat bercinta dengan seorang gadis yang ada di layar komputer mereka. Namun aku pikir, kebanyakan dari mereka sebenarnya menginginkan pacar yang asli, namun tidak bisa mendapatkannya.
Dalam banyak hal, otaku adalah bagian dari fenomena media. Medialah salah satu sebab utama kemunculan mereka, kemudian media jugalah yang menciptakan nama untuk mereka. Mereka hidup di dalam dunia maya-informasi yang disediakan oleh media, dan bahkan penelitian tentang otaku sebenarnya adalah penelitian tentang sejarah media. Pada saat terminologi Otaku dimunculkan pertama kali, Nakamori (29), yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah seorang editor untuk sebuah mini komi (majalah komunikasi kecil [1], yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah majalah kebudayaan yang aneh, dan bagi sebagian orang lain jenis majalah soft-porn kecil) bernama “Tokyo Otona Kurabu” (klab laki-laki dewasa Tokyo). Ketika dia memunculkan terminologi otaku-zoku (generasi otaku) di dalam artikelnya dan pada saat diskusi publik antara Nakamori dengan YAMAZAKI Koichi, saat itu sudah ada banyak sekali kelompok-kelompok anak muda yang menunggu untuk mendapatkan ‘tanda pengenal’ atas identitas diri mereka. Mereka selama ini hidup di dalam cengkeraman media, jadi adalah wajar kalau mereka juga ingin menjadi objek media itu sendiri. Dari satu sisi mereka adalah orang-orang Jepang yang biasa-biasa saja. Mereka cenderung sama dengan orang-orang yang lain dalam hal statistik sosial (dari sisi pendapatan, misalnya, atau dari sisi pandangan-pandangan politik), dan dalam debat-debat tentang kritik kebudayaan. Mungkin sebenarnya, bukanlah perjuangan mencari identitas yang membuat buku-buku bertipe ’siapakah-kita-sebenarnya’ atau ‘kenapa-kita-unik’ menjadi populer di tengah-tengah anak muda Jepang, tapi adalah nafsu untuk bisa terpatri (ikut ambil bagian) dalam dunia media. Selanjutnya, kebudayaan Jepang yang menekankan agar setiap orang menyebutkan benda-benda sesuai dengan namanya yang tepat ikut berperan pula (dalam penyebaran penggunaan istilah otaku). Tak dapat dipungkiri, istilah itu menyebar dengan sangat cepat. Massa, yang biasanya tanpa nama dan sunyi, juga dapat meletup sewaktu-waktu. Istilah otaku, juga muncul (dalam kesadaran publik) melalui letupan yang seperti itu. Konon, kata itu pertama kali digunakan secara luas saat pemutaran perdana film animasi “Spaceship Yamato”. Perusahaan produsen film itu telah, sebagaimana biasanya, menyewa sebuah aula yang dapat dimasuki oleh hanya beberapa ribu orang. Namun ternyata, penonton yang datang lebih dari satu juta orang, semuanya dalam usia yang kurang lebih sama. Saat itulah istilah otaku menjadi populer.
“Otaku adalah hasil dari hyper-capitalism dan masyarakat hyper-consumption“, demikian kata Yamazaki (36), seorang sejarawan-kehidupan-sehari-hari dan juga seorang ahli otaku. Dia adalah seorang penulis, editor, desainer grafis dan, yang paling penting, seorang kritikus pop untuk koran Asahi Shinbun dan majalah-majalah seperti Asahi Journal, Popeye, Takarajima dan Weekly Bunshun. “Otaku saat ini memiliki arti yang sangat luas. Pada awalnya, kata ini berhubungan erat dengan sebuah stereotip tertentu. Kata ini menyimbolkan sebuah kondisi hubungan antar manusia, dimana cara-cara lain untuk berkata ‘anda’ dianggap sebagai terlalu akrab. Penggunaan otaku dahulu kala adalah dengan maksud menciptakan nuansa jarak antara seseorang dengan yang lainnya, antara orang-orang yang tidak saling mengenal.” Dia melihat bahwa asal-usul penggunaan otaku untuk merujuk pada fenomena sosial sekarang adalah pada masa-masa perubahan kebudayaan Jepang di dekade 70an. Otaku adalah anak kandung media dan teknologi. Mereka bertumbuh, sebagaimana halnya seorang anak laki-laki satu-satunya dari sebuah keluarga dimana sang ayah selalu ada di kantor, dan ibunya sangat ingin agar anak laki-lakinya itu belajar dengan keras agar bisa masuk ke sebuah universitas yang baik agar bisa masuk ke sebuah perusahaan yang baik juga. Sebuah kisah sukses ala Jepang. Dan sang anak pun memilih untuk bersembunyi di antara tumpukan mainan, komik, dan permainan elektroniknya.
Oang tua mereka berasal dari generasi tahun ‘68, sangat demokratis dan toleran. Mereka ingin memahami anak mereka, namun sang anak dengan sengaja mencari dan menampilkan hal-hal yang tidak bisa dipahami orang tua mereka. Bisa jadi, para orang tua itu sendiri masih kekanakan dan tidak dewasa. Mungkin saja di Jepang, memang tidak ada bayangan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ‘menjadi dewasa’. Semua orang adalah kanak-kanak.
Komunikasi yang terhalang dengan demikian parah antara orang tua dan anak-anak mereka telah menyebabkan serangkaian pembunuhan oleh sejumlah anak laki-laki terhadap orang tua mereka. Kasus pertama terjadi pada tahun 1980, ketika seorang remaja laki-laki (mungkin sekarang remaja itu sudah bisa dikategorikan sebagai seorang otaku) membunuh orang tuanya dengan pemukul bisbol dari logam. “The Kinzoku Bat Murderer”, demikianlah sebutan untuk kasus itu di kemudian hari. Kasus itu kemudian diikuti dengan segera oleh 5 sampai 6 orang anak. Kasus-kasus serupa masih terjadi sampai hari ini. Awal dekade 80an adalah masa-masa kekerasan di sekolah. Agresi para murid tersebut dicoba untuk dihentikan dengan menciptakan seperangkat peraturan sekolah, yang mengatur segala sesuatu. Bahkan mengatur hingga bagaimana seorang murid sekolah harus berjalan dan menyapa orang lain. Bagi Yamazaki, masa-masa itu mengingatkannya pada tulisan Orwel: “1984″. Otaku dengan demikian adalah generasi ‘pasca kekerasan-sekolah’. Dari luar, mereka tampak seperti murid-murid dengan perilaku yang baik dan sopan, pekerja keras dan memiliki nilai yang baik, namun di balik itu mereka ternyata adalah pelarian. Otaku adalah tempat perlindungan bagi mereka.
Masyarakat yang dekat dengan komputer. (The Raw Feed)
Pemujaan Terhadap Informasi dan In-animisme
Sistem pendidikan, yang berfungsi untuk melatih para ‘pejuang industrial’. biasanya dianggap sebagai salah satu latar belakang dari kemunculan generasi otaku. “Di sekolah,” kata yamazaki, “anak-anak diajarkan untuk melihat dunia sebagai kumpulan dari data dan informasi-informasi. Data dan informasi yang diberikan ini selalu bersifat sepotong-sepotong dan tidak pernah menyeluruh. Sistem pendidikan dirancang untuk mencekoki anak-anak dengan tanggal-tanggal, nama-nama, dan juga jawaban pilihan ganda untuk setiap ujian. Keping-keping informasi ini tidak pernah dikombinasikan untuk membentuk satu pandangan yang utuh dan menyeluruh tentang dunia. Apa yang mereka dapatkan di bangku sekolah sebenarnya tidak bernilai sebagai sebuah pengetahuan, namun sarat dengan nuansa fetishisme (pemjuaan/kegandrungan yang berlebihan) informasi”. Penekanan yang demikian kuat terhadap fakta (terhadap ingatan daripada pemahaman), diekspresikan dengan baik sekali dalam bahasa Jepang dengan frase: ‘pendidikan manual’. Pendidikan seperti ini tidak menyiapkan seseorang untuk menghadapi kehidupan, tapi untuk menghadapi acara kuis di sebuah stasiun televisi, dimana para peserta harus dapat dengan segera menceritakan kembali tentang kehidupan Amadeus Mozart, tentang Ultraman, atau tentang penyanyi idola Mtsuda Seiko. Tanpa konteks apa pun, ‘pengetahuan’ yang didapatkan seseorang selamanya akan berupa koleksi ‘keping-keping’ informasi.
Pemujaan-terhadap-Informasi (information fetishism) adalah konsep dasar yang digunakan oleh Yamazaki dalam menjelaskan tentang otaku. Para otaku melanjutkan terus pola akuisisi dan reproduksi informasi yang mereka pelajari di bangku sekolah. Hanya saja sekarang subjeknya telah berubah menjadi: bintang idola, kamera, dan musik rock ‘n’ roll. Isi memang tidak pernah penting. Para otaku memiliki banyak sekali variasi kesukaan. Hal itu adalah sebuah model keberadaan. Mereka dapat ditemukan di dunia fashion. Namun, mereka tidak menutupi diri mereka dengan pakaian yang trendi. Fashion-otaku menutupi diri mereka dengan informasi. Mereka akan memamerkan apa yang mereka ketahui pada orang lain, dengan berkata “Apakah kau tahu ini? Oh, kau tidak tahu rupanya!” Begitu saja. Seorang Rock-otaku, misalnya, tidak mendengarkan musik, tapi mengumpulkan data tentang kaset-kaset rekaman, nama musisi, produsernya, para teknisi, studio rekaman dan lain sebagainya. “Otaku yang tulen menunjukkan kepada kita bahwa semua orang pada dasarnya adalah pemuja informasi,” kata Yamazaki, “mereka adalah gambaran karikatural dari orang Jepang sendiri”.
Sampai di sini agaknya koleksi kepingan informasi kita tentang otaku sudah cukup dekat dengan inti dari fenomena tersebut. Tampaknya memang ada hubungan antara Otaku dengan kesia-siaan dan informasi, namun peranan media dan teknologi dalam fenomena otaku masih belum jelas. Tsuzuki berpikir bahwa tidak tepat untuk mengidentifikasikan fenomena otaku sebagai fenomena media, karena itu berarti akan mengeluarkan sebagian orang yang memang otaku tulen sebagai otaku. Oleh karena itu, kita harus menggunakan lagi “Basic Knowledge of Modern Terminology” (yang mana sebenarnya adalah juga ekspresi dari ‘budaya pengetahuan sepotong-seoptong dan kepingan informasi’). Di dalam entri tentang otaku-zoku, kita mengetahui bahwa generasi ini:
‘hanya dapat berpikir dengan cara me-ism karena dampak dari upaya untuk memahami dan menghadapi masyarakat berteknologi tinggi. Generasi otaku ini cenderung menginginkan keberadaan yang sifatnya terisolasi dan non-manusiawi. Gejala kecenderungan ini dapat dilihat mulai dari necrophilia, pedhopilia dan fetishism hingga illness of partiality dan hacking. Fenomena ini seperti kanker yang menyebar dan kemudian meledak dengan ‘masyarakat keyboard’ yang inorgarnis sebagai pusatnya.”
Saya cukup terkejut ketika menemukan hacking berada dalam satu daftar yang sama dengan necrophilia, tapi aku menyukai istilah ‘masyarakat keyboard’. Jepang adalah masyarakat yang paling semiotized (banyak menggunakan simbol dan tanda), segala sesuatu ditandai, segala sesuatu adalah permukaan dan kulit luar. Orang Jepang hidup dengan mengikuti majalah gaya hidup. Hanya dengan melihat wajah-wajah orang di jalan, bisa ditahui majalah apa yang mereka biasa baca. Segala sesuatu tersedia dalam bentuk jadi. Otaku adalah contoh ekstrim dari mentalitas Jepang yang senang mengumpulkan dan menggabung-gabungkan keeping-keping informasi. Para otaku pada dasarnya telah menjadi manusia cangkokan, karena telah bergabung dengan mesin-mesin yang mereka ciptakan. Sebuah ‘media saibogu’ (cyborg – cybernetic organism – robot organik) dalam buku Store of Wisdome, sebuah buku tiruan dari buku Basic Knowledge, adalah pada dasarnya orang yang tergantung pada orang lain e.g. sebuah sofa berbentuk kentang (kaucipoteto – couch potato). Otaku adalah Cyborg media yang hidup karena media. Di jaman cyber-medialism yang memberikan penekanan utama pada dunia maya, media berteknologi tinggi adalah syarat utama untuk tetap bertahan hidup. Robot media yang masih dalam kandungan kadang juga dipanggil sebagai ‘aliens’ (mahluk asing).
Hubungan masyarakat Jepang dengan teknologi memang tampak sedikit aneh. Anak-anak Jepang sangat jenius dalam hal pengoperasian teknologi, seperti cerita di atas tentang seorang bocah satu tahun yang menabrakkan mobil ayahnya. Namun, demikian menurut Yamazaki, mereka tidak bisa berbicara dan mengekspresikan pendapatnya dengan baik. Mereka merasa tidak nyaman bersama sesama manusia daripada saat bersama dengan mesin, materi-materi tidak hidup, dan kepingan-kepingan informasi. Oleh karena itu, mereka cenderung bergerak menuju ke arah ke-tidak-bergerak-an (in-animism) . Mahluk hidup dianggap sebagai benda-benda tak bergerak. Yamazaki pernah berkata bahwa ledakan jumlah binatang peliharan terjadi karena anjing dan kucing dianggap sebagai sejenis mainan mekanis. Ketika mereka mulai merasa bosan, binatang peliharaan itu pun dibuang. Arnold Scwharzenegger dan Silvester Stallone dianggap sebagai pahlawan besar bagi banyak Otaku. Namun, mereka tidak pernah ingin melakukan body building untuk menjadi kuat seperti pahlawannya. Mereka hanya menganggap gumpalan otot Arnold dan Stallone sebagai sejenis robot juga, sebuah mesin yang dirancang dengan baik, sehingga tidak berbeda dengan tokoh-tokoh komik seperti Gundam. Kecenderungan in-animism ini adalah kebalikan dari tradisi shinto tentang animisme alam, yang masih bertahan dalam kebudayaan Jepang umumnya hingga sekarang. Yamazaki memberikan contoh tentang para pekerja pabrik yang menamakan mesin mereka Monroe, Hanako, atau Madonna. Nama-nama perempuan adalah yang paling populer, karena mesin-mesin itu adalah bagian dari sistem kelaki-lakian. “Masyarakat Jepang, dalam satu sisi, adalah masyarakat fetish. Mereka tidak membedakan antara yang bergerak dengan yang tidak bergerak. Fakta ini adalah latar belakang yang penting dalam memahami fenomena otaku. ‘Two-dimension complex’ adalah sejenis animisme juga. Mereka memperlakukan manusia sebagai benda, dan benda sebagai manusia”. Dengan mengamati dunia dua dimensi melalui layar dan hasil cetakan, para otaku pada akhirnya menghasilkan ‘two-dimension complex’ tersebut untuk diri mereka sendiri. Gambar dua dimensi menjadi lebih nyata daripada hal-hal lain. Gambar yang digabungkan dengan imajinasi kemudian berubah menjadi hyper-reality.
Artikel ini dikutip dari blog Jepang Indonesia (http://jepangindonesia.wordpress.com/2007/08/27/sendiri-tapi-tidak-kesepian/). Untuk lisensi penggunaan artikel ini, anda dapat membacanya di http://opencontent.org/opl.shtml.