Kimi no Na Wa atau your name. bercerita tentang seorang gadis bernama Mitsuha yang jemu dengan kota kecil tempatnya tinggal dan memimpikan agar di kehidupan berikutnya ia hidup sebagai pemuda tampan yang tinggal di Tokyo. Akibat semacam kekuatan gaib tertentu, jiwa Mitsuha tertukar ke tubuh seorang siswa SMA di Tokyo bernama Taki sementara jiwa Taki sendiri tertukar ke tubuh Mitsuha secara bergantian. Tak lama kemudian, kehidupan mereka berdua menjadi saling terikat satu sama lain meskipun tidak pernah bertemu tatap muka secara langsung. Mitsuha menolong Taki untuk mendekatkan Taki dengan kakak tingkat yang disukainya sejak lama, dan Taki membantu Mitsuha untuk menghadapi masalah yang dihadapinya di sekolah dan rumah.
Ketenaran film animasi layar lebar Kimi no Na wa atau your name. di belantika animasi Asia saat ini memang tak dapat diragukan lagi. Laris manis dan merajai box office di negeri tuan rumah Jepang serta melampaui pendapatan film Howl’s Moving Castle karya sutradara ternama Hayao Miyazaki. Tak hanya itu, your name. juga sukses besar di Tiongkok sejak pertama kali naik tayang. Di Asia Tenggara, film ini sudah laris manis di Thailand, di Indonesia sendiri your name. baru ditayangkan pada tanggal 7 Desember 2016 dan disusul oleh Filipina pada minggu berikutnya. Seolah tidak cukup, anime ini juga memenangkan penghargaan dari LAFCA (Los Angeles Film Critics Association Awards) dalam kategori Best Animation tahun 2016 dan juga didaftarkan sebagai calon nominasi penghargaan Oscar 2016 untuk kategori Best Animated Feature.
Namun meski dengan kesuksesan dan penghargaan yang mengiringi film ini, your name. tidak luput dari kritik berbagai penonton maupun pengamat yang mungkin merasa kecewa karena antusiasme umum yang begitu besar pada film ini mungkin tidak sesuai dengan harapan mereka. Dengan kritik yang paling keras bahkan mengatakan anime ini adalah anime yang hanya ‘besar sensasi’ tetapi ‘kering substansi’. Tidak bermaksud untuk mengecilkan atau bahkan menolak kritik pada suatu karya, your name. memang bukanlah film sempurna yang sama sekali tidak memiliki cela ataupun plot hole (misalnya kenapa Taki dan Mitsuha tidak memperhatikan tahun di smartphone mereka ketika saling bertukar tubuh) tetapi mengatakan anime ini hanyalah animasi standar yang hanya mengandalkan marketing dan hype itu seolah-olah menolak atau meniadakan kualitas dan nilai seni yang memang ada dalam film tersebut.
Secara umum, kritik banyak ditujukan pada bagian kedua film yaitu ketika plot beranjak menjadi lebih intens setelah sebelumnya bernuansa romantis komedi. Kritik berpendapat bahwa bagian kedua film ini terkesan bertolak belakang dengan setting yang telah dibangun sebelumnya, terasa dipaksakan dan membingungkan. Kritik lain mengatakan bahwa penceritaan your name. terasa flat atau biasa-biasa saja, standar, alur ceritanya berantakan, tidak jelas klimaks antiklimaksnya, dan membosankan karena konfliknya kurang menggigit. Semuanya kritik yang masuk akal dan juga memiliki alasan yang kuat, tetapi agar kita juga bisa bersikap adil pada penulis naskah anime ini mari kita membuka pikiran kita lebih luas.
Di Asia Timur terutama Jepang, terdapat sebuah struktur cerita yang bernama Kishōtenketsu (起承転結). Kishōtenketsu adalah struktur cerita tradisional yang bermula dari puisi-puisi klasik China yang kemudian meluas digunakan untuk struktur narasi. Kishōtenketsu terdiri dari empat babak yaitu:
Ki: Pengenalan cerita, karakter, dan informasi lain untuk memahami latar cerita.
Shō: Pengembangan cerita. Meneruskan latar yang sudah dibangun dan menguraikan cerita lebih dalam.
Ten: Penjungkiran cerita atau twist. Dalam tahapan ini dimasukkan topik lain atau topik baru. Unsur ini bersifat mengejutkan, bahkan walau sebenarnya ada hubungan dengan dua babak sebelumnya terkesan seolah-olah tidak ada hubungan.
Ketsu: Perangkuman cerita. Memadukan kedua babak awal dengan babak ketiga sehingga dapat terangkum menjadi satu kesatuan cerita yang utuh.
Contoh dari kishōtenketsu misalnya seperti pada puisi karya Sanyo Rai:
Pengenalan (ki): Terdapatlah putri-putri Itoya di Honmachi Osaka.
Pengembangan (shō): Yang tertua berusia enam belas dan yang termuda empat belas.
Twist (ten): Sepanjang sejarah, para daimyo membunuh musuh dengan busur dan panah.
Perangkuman (ketsu): Putri-putri Itoya membunuh dengan menggunakan mata.
Atau pada contoh lain:
Ki: Dahulu, menyalin harus menggunakan tangan dan rentan kesalahan.
Shō: Dengan mesin fotokopi, menyalin jadi lebih cepat dan akurat.
Ten: Berwisata dengan mobil menghemat waktu, tapi sulit untuk mengamati pemandangan sekitar. Dengan berjalan kaki lebih mudah melihat pemandangan dari dekat.
Ketsu: Walau fotokopi lebih mudah, menyalin dengan tangan kadang lebih baik, karena informasi yang disalin bisa teringat lebih lama dan bisa digunakan suatu saat.
Yang menarik, kishōtenketsu merupakan struktur narasi yang tidak mewajibkan adanya konflik dalam cerita. Pada struktur-struktur cerita barat yang selalu kita konsumsi setiap saat, plot umumnya selalu berkisar pada konflik yaitu pertentangan antara satu atau lebih pihak dengan pihak lain, dan suatu pihak akan mengungguli pihak lain. Di Barat, umumnya struktur yang digunakan yaitu three-act-sctructure, konflik diperkenalkan di babak pertama, memuncak di babak kedua, lalu diselesaikan di babak ketiga. Secara keseluruhan, konflik merupakan unsur penting di struktur barat, tidak ada konflik maka tidak ada cerita. Bukan berarti dalam kishōtenketsu tidak ada konflik, hanya saja dalam struktur kishōtenketsu cerita tetap bisa berjalan meskipun tanpa konflik.
Bila kita mencoba menganalisa gaya penceritaan yang terdapat di your name., kita bisa menyimpulkan bahwa Makoto Shinkai menggunakan Kishōtenketsu dalam penceritaannya. Ki atau pengenalan yaitu ketika kita diperkenalkan dengan Mitsuha dan kehidupan di Kota Itomori beserta kegundahannya, pengembangan atau shō di bagian pertukaran jiwa antara Taki dengan Mitsuha serta kehidupan Taki di Tokyo, twist atau ten ketika Taki menemukan kenyataan tentang Mitsuha dan kota Itomori, dan terakhir adalah ketsu yang menyelesaikan hint-hint serta twist yang terjadi di sepanjang film.
Penggunaan kishōtenketsu inilah yang menyebabkan mengapa muncul anggapan bagian kedua “Kimi no Na wa” terkesan entah muncul dari mana dan bertolak belakang dengan bagian cerita sebelumnya. Yang menjadi daya tarik dari penceritaan seperti ini bukanlah konflik melainkan kontras dan twist pada babak Ten yang akhirnya terangkum atau menjadi masuk akal di babak Ketsu. Konsep ini bisa kita lihat umum digunakan di komik-komik yonkoma (empat panel) dan juga bahkan digunakan di film-film keluaran Studio Ghibli (perhatikan bagaimana di Totoro tidak ada antagonis) maupun video game dari Nintendo. Tulisan opini ini pun juga disusun dengan menggunakan teknik kishōtenketsu.
Mengenai mengapa your name. terasa flat atau standar, alur ceritanya berantakan, tidak jelas klimaks antiklimaksnya, membosankan, atau endingnya yang “hah gitu doang?”. Selain karena faktor tidak wajibnya konflik dalam kishōtenketsu, gaya penceritaan orang Jepang memang banyak yang tidak terlalu memusingkan bagaimana mengakhiri cerita dan lebih mengutamakan pengalaman dan proses cerita yang berlangsung. Ditambah dengan minimnya konflik dan kecenderungan Shinkai yang gemar menyimpan makna di visual dan suara, tidak mengherankan banyak yang merasa ‘nggak dapet’ setelah menonton “Kimi no Na wa”.
Keanehan alur cerita yang terjadi di “Kimi no Na wa” bukanlah karena kelemahan dari Makoto Shinkai yang kurang lihai dalam bercerita, namun karena memang dirancang seperti demikian. Malah justru kemungkinan besar daya tarik dari “Kimi no Na Wa” terletak dari bagaimana Makoto Shinkai dengan cemerlangnya memanfaatkan konsep kishōtenketsu tersebut sesuai dengan visi yang dimilikinya. Bukan berarti kishōtenketsu lebih baik dari gaya narasi barat, hanya saja ada banyak teknik dan struktur yang berbeda-beda yang dapat digunakan untuk storytelling. Sama seperti karya-karya lain, ada kishōtenketsu yang bagus dan jelek, tetapi alangkah baiknya kita lebih berpikiran terbuka ketika sebuah karya yang kita anggap standar ternyata memperoleh hype dan tanggapan positif dari banyak orang, karena mungkin cara apresiasi kita bukanlah cara yang tepat untuk mengapresiasi karya tersebut.
Oleh Adit Sulistyo | Penulis adalah penikmat video game dan animasi sejak masih belum bisa baca huruf. Saat ini mahasiswa tingkat akhir yang sedang mempelajari game design, writing, dan worldbuilding secara otodidak. Pernah menerjemahkan game Doraemon Resident Evil ke Bahasa Indonesia.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
Mau menulis artikel opini seperti ini dan dimuat di KAORI? Baca cara dan tipsnya di sini!