Tirto, salah satu situs berita daring membuat klaim menghebohkan. Kawaii adalah sumber penindasan terhadap perempuan. Tidak hanya itu, isi artikelnya juga datang dengan klaim tak kalah bombastis. Perempuan Jepang menolak menjadi kawaii. Klaim yang sangat berani dan bisa menjadi perdebatan hangat di program studi Jepang berbagai penjuru dunia.
Sebagai salah satu situs berita dengan standar yang lebih tinggi dari media daring pada umumnya, klaim ini patut dicermati, andai saja klaimnya benar. Masalahnya, klaim ini dibuat dengan dasar yang lemah, bahkan cenderung menyesatkan. Jadi, di mana problemnya?
Kekeliruan Menerjemahkan Artikel, Kecerobohan Memahami Artikel
Usut punya usut, artikel tersebut dibangun dengan pembacaan dari artikel Bloomberg berbahasa Inggris. Artikel berjudul Cute ‘Kawaii’ Culture May Be Holding Back Japan’s Women ini kali pertama terbit di situs berita ekonomi Bloomberg pada 7 Desember 2016, kemudian direpro dengan tambahan data oleh Tirto. Artikel Bloomberg berbahasa Inggris ini rupanya merupakan terjemahan dari artikel berbahasa Jepang, juga dari Bloomberg, dan dikerjakan oleh staf yang sama.
Bila benar istri PM Abe menuding budaya kawaii sebagai penyebab ketidaksetaraan gender, tentu artikel ini sudah heboh pada saat itu di situs-situs lainnya. Tetapi Akie Abe tidak berbicara dalam konteks budaya kawaii, namun mengkritisi budaya yang menuntut perempuan lebih rajin mempersolek dirinya untuk memenuhi ekspetasi kalangan laki-laki.
Pembacaan lengkap dalam artikel berbahasa Jepang hanya menyinggung istilah kawaii onnanoko, perempuan cantik atau imut, kemudian berlanjut dengan pembahasan ketidaksetaraan gender di Jepang. Ada kemungkinan staf di desk bahasa Inggris Bloomberg (yang mungkin dituntut lebih fokus dalam berita ekonomi dan pasar) tidak terlalu memahami istilah kawaii, dan secara sengaja tidak sengaja menggunakan istilah kawaii dalam judul artikel terjemahannya.
Bahkan pada tahun 2002, Bloomberg menulis artikel berjudul In Japan, Cute Conquers All dan menulis bahwa dengan menjadi kawaii, perempuan Jepang merasa lebih mandiri – alih-alih menjadi tunduk, menjadi budak laki-laki -. Penulis pun menjelaskan bahwa di Jepang pun banyak pandangan miring terhadap fenomena kawaii (khususnya dari segelintir feminis), namun pandangan ini ditepis.
“I don’t think they’re acting in a submissive way at all. They’re trying to be cute to get more attention from the boys.”
Baca Juga: Studi Otaku: Kajian Ilmiah terhadap Penggemar Anime
Bicara Panjang Lebar Soal Kesetaraan Gender, Nihil Tentang Kawaii
Bagian yang menarik adalah pembahasan ketidaksetaraan gender di Jepang. Kenyataannya, perempuan di Jepang akrab dengan diskriminasi dan wartawan senior Bloomberg William Pesek justru menyerukan Jepang untuk segera memberikan kesempatan setara kepada kaum perempuannya untuk kembali menggerakkan perekonomiannya.
Dalam artikel rilisan Tirto, hampir seluruh faktor-faktor umum mengenai ketidaksetaraan gender di Jepang dibahas dengan lengkap (kecuali matahara) dan bagi pembaca awam, membaca artikel Tirto adalah bekal yang bagus sebagai pengantar masalah feminisme di Jepang. Tetapi penjelasan kawaii nyaris tidak diberikan, bahkan terkesan ditabrakkan dengan masalah ketidaksetaraan gender.
Sejatinya kawaii adalah ungkapan yang berarti umum untuk menyebut cantik dan imut. Istilah serupa namun tak 100% sama bisa ditemui pula dalam kata chic, yang sejatinya berarti “modis”, namun kini lekat untuk menyebut gaya berbusana khas Prancis.
Telah banyak penelitian maupun laporan yang membahas mengenai budaya kawaii, namun hampir semuanya menyebutkan bahwa budaya kawaii adalah cara perempuan untuk keluar dari konformitas yang melekat dalam masyarakat Jepang. Menjadi kawaii dengan berbagai turunannya adalah bentuk penolakan akan shakai no waku, tempurung masyarakat, yang mengharuskan setiap individu berlaku sesuai dengan harapan orang-orang.
Menjadi kawaii dalam berbagai bentuknya dan peranannya sebagai sebuah gerakan pembebas yang dilakukan perempuan Jepang bisa menjadi sebuah artikel tersendiri, namun opini oleh Deborah Shamoon untuk Channel News Asia ini bisa menjadi bacaan menarik tentang budaya kawaii dan bagaimana konsep kawaii diadopsi oleh seorang pensiunan polisi, sembari tetap mempertahankan unsur “pemberontakan”nya.
Tetapi terlepas apakah seorang perempuan Jepang ingin bergaya ala lolita, bergaya Harajuku, atau menjadi gyaru, menjadi kawaii tidak sama dengan bersolek dan menjaga penampilan (bibit, bebet, bobot) demi tampil pantas sebagai sekretaris di kantor sebagaimana yang dimaksud oleh Akie Abe. Bagaimana mungkin suatu perilaku bisa menjadi defiant sekaligus konform dengan nilai dan norma sebuah masyarakat, khususnya masyarakat Jepang yang sangat menghargai harmoni dan intoleran dengan perbedaan?
Bekerja dengan Kehati-hatian
Maka tentu menjadi pertanyaan mengapa Tirto, media dengan standar konten yang lebih tinggi dari outlet daring kebanyakan, berani membawa klaim seperti ini. Termasuk mempromosikannya melalui berbagai media sosial.
Kami yakin bahwa setiap ruang redaksi punya proses verifikasi faktanya sendiri dan tentu editor akan berdiskusi dengan kontributor sebelum menaikkan topik yang kontroversial. Tetapi artikel ini bukan contoh yang baik dari proses tersebut. Bangunan artikel – yang menjual kawaii sebagai cara laki-laki Jepang menjajah perempuan – justru tidak menjelaskan tentang kawaii sama sekali. Data pendukung yang diperlukan bahkan tidak ada yang secara eksplisit menjelaskan (kalau bukan menuduh) korelasi kawaii dengan, katakanlah, tingkat pelecehan seksual, selain mengutip pendapat-pendapat beberapa feminis yang cukup ekstrem. Logika berpikir seperti ini seharusnya tidak pernah lolos dari tingkat draf.
Media massa sebagai pilar keempat demokrasi memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan perspektif yang benar kepada masyarakat, terutama di tengah banyaknya berita palsu saat ini. Menulis topik yang menghasilkan kontroversi dan perdebatan di masyarakat adalah salah satu fungsi pers, yang harus dilakukan dengan cermat, teliti, dan penuh kehati-hatian.
Hati-hati menjadi penting agar media tidak terjerumus dalam kacamata yang salah saat memahami budaya Jepang. Artikel perempuan Jepang menolak menjadi kawaii bukan cerminan kehati-hatian tersebut.
Kevin W
Managing Editor
KAORI Nusantara