“… little if anything is known about the people called otaku in Japan. We talk about them but not to them; the discussion is almost entirely framed by mass media, which deals in stereotypes – easily recognizable characters and narratives.” (Galbraith, 2010)
Sebutan “otaku” telah menjadi lekat dengan penggemar anime, manga, dan media-media terkait. Namun identifikasi tersebut juga lekat dengan berbagai kontroversi, yang menjadikan pembahasannya tidak sederhana. Prasangka negatif dari masyarakat mengenai orang-orang yang dianggap sebagai “otaku” beserta media-media yang mereka minati telah beredar selama puluhan tahun (sebagian sejarahnya bisa dibaca di artikel berikut ini). Memang citra yang lebih positif mengenai “otaku” belakangan ini mulai berkembang, misalnya seperti yang digambarkan dalam kisah Densha Otoko (Galbraith, 2010). Tetapi menurut komikus Genshiken Kio Shimoku, secara umum “otaku” masih dipandang sebagai sesuatu yang aneh.
Sebagaimana disampaikan dalam kutipan Galbraith di awal artikel ini, wacana “otaku” sebagian besar dibentuk dan disebarkan melalui narasi, citra dan stereotip dalam media, termasuk media anime dan manga itu sendiri. Maka seiring dengan menyebarnya media-media tersebut di luar Jepang, “otaku” beserta kontroversinya juga menjadi dikenal di luar Jepang, khususnya di kalangan yang mengonsumsi anime dan manga. Di satu sisi, ada yang menerima dan memanfaatkan sebutan tersebut untuk membentuk identitas yang khas bagi penggemar anime dan manga di luar Jepang1. Di sisi lain, ada juga kalangan penggemar yang menolak identifikasi “otaku” tersebut karena prasangka negatif terhadap “otaku” yang ada di negara asalnya2.
Di samping kontroversi publik mengenai “otaku,” mungkin yang kurang banyak diketahui adalah keberadaan minat akademis untuk mempelajari otaku secara ilmiah. Melalui pendekatan-pendekatan etnografi, psikoanalisis, kajian media, dan sebagainya, studi otaku secara akademik memberi alternatif yang lebih dalam dan sistemik untuk memahami fenomena otaku.
Ada apa dengan “otaku” yang menjadikannya menarik dikaji secara keilmuan? Secara garis besar, setidaknya ada dua hal yang menjadi minat kajian oleh studi “otaku” yang telah ada. Pertama, “otaku” dianggap menunjukkan pola perilaku yang khas dalam berinteraksi dengan media dan berinteraksi melalui media. Mengkaji “otaku” dianggap dapat memberi pemahaman mengenai bagaimana perkembangan media-media baru mempengaruhi perilaku dan relasi sosial manusia di masa kini.
Kedua, dapat juga ditelaah secara kritis bagaimana sebutan “otaku” itu sendiri dimaknai dan digunakan sebagai label dari masyarakat atau pun untuk identifikasi diri sendiri. Narasi yang berkembang mengenai pengertian “otaku” dan kontroversi mengenai identifikasi “otaku” menunjukkan bagaimana masyarakat bereaksi terhadap interaksi dengan media-media baru, serta bagaimana media sendiri ikut mereproduksi hal-hal tersebut.
Berikut adalah contoh beberapa karya ilmiah yang membahas mengenai fenomena “otaku,” baik dari salah satu aspek di atas atau pun keduanya. Sebagian besar referensi yang disertakan di sini cukup mudah untuk dicari di internet. Ada artikel, esai atau bab dari buku yang relatif cukup ringkas untuk dibaca. Ada juga buku atau naskah tesis yang mungkin perlu meluangkan lebih banyak waktu untuk membacanya. Namun saya yakin masing-masing dapat memberi perspektif mengenai otaku yang merangsang pikiran.
Sekarang, kesampingkanlah terlebih dahulu prasangka-prasangka yang ada mengenai otaku, baik yang negatif maupun positif, dan buka pikiran untuk membaca berbagai pandangan. Selamat belajar!
“Otakuology: A Dialogue” oleh Patrick W. Galbraith dan Thomas Lamarre, dalam Mechademia 5: Fanthropologies, (University of Minnesota Press, 2010) hlm. 360-374
Dialog antara Patrick Galbraith dan Thomas Lamarre mengenai studi otaku ini mencakup permasalahan definisi/pengertian otaku, apa yang bisa dipelajari mengenai otaku dan bagaimana mempelajarinya, serta implikasi dan konsekuensi dari studi mengenai otaku. Lamarre dengan pendekatan kajian media lebih melihat otaku sebagai suatu bentuk relasi sosial baru dengan dan melalui media. Otaku tidak hanya mengonsumsi media secara pasif, tapi juga aktif memproduksi makna, karya derivatif, hingga membentuk hubungan-hubungan sosial baru. Sementara Galbraith dengan pendekatan etnografi menelaah secara kritis bagaimana otaku dinarasikan dalam konteks waktu dan tempat yang berbeda-beda, siapa yang menarasikannya, serta apa konsekuensi dari berbagai narasi yang ada mengenai otaku.
“Otaku Culture as ‘Conversion Literature'” oleh Eiji Otsuka, dalam Debating Otaku in Contemporary Japan: Historical Perspectives and New Horizons (Bloomsbury, 2015), hlm. xiii-xxix
Kata pengantar dari Eiji Ōtsuka untuk buku Debating Otaku in Contemporary Japan ini menyajikan tantangan kritis bagi akademisi yang mempelajari otaku. Ōtsuka mempertanyakan implikasi politik dari studi otaku dengan membawa konteks sejarah dan politik dari perkembangan budaya otaku, mulai dari estetika zaman perang, konversi aktivis Kiri pasca-perang ke media, kaitan antara stratifikasi sosial dengan otaku sebagai ekspresi identitas sosial dan budaya, hingga konservatisme dalam politik Jepang kekinian. Mengabaikan pertimbangan kritis mengenai konteks-konteks tersebut beresiko menguntungkan kepentingan politik dari pemerintah Jepang yang semakin mengarah pada konservatisme dalam menegaskan identitas nasionalnya melalui propaganda seperti “Cool Japan.”
“An Introduction to Otaku Movement” oleh Thomas Lamarre dalam edisi khusus EnterText 4.1 (2004), hlm 151-187
Dalam artikel ini, Lamarre membahas kontribusi dari tokoh-tokoh seperti Toshio Okada, Takashi Murakami, dan Hiroki Azuma dalam memahami bagaimana perkembangan relasi afektif terhadap media visual melalui anime menghasilkan gerakan otaku yang aktif bermain memproduksi dan menyebarkan afeksi mereka. Namun berbeda dari tokoh-tokoh tersebut, Lamarre melihat gerakan otaku bukan sebagai sesuatu yang terlepas dari modernitas atau pun sebagai sesuatu yang khas Jepang. Menurutnya gerakan otaku terbentuk dari elemen-elemen dalam sistem kapitalisme modern, namun menghasilkan pola-pola yang tidak menyerupai elemen-elemen pembentuknya. Karena itulah, bagi Lamarre gerakan otaku pada dasarnya bersifat transnasional dan tidak dapat sepenuhnya dikendalikan melalui disiplin korporat. Hal ini memberi kesempatan untuk membayangkan kemungkinan suatu ruang alternatif yang independen dalam sistem kapitalisme.
“Otaku Sexuality” oleh Tamaki Saito, dalam Robot Ghosts and Wired Dreams: Japanese Science Fiction from Origins to Anime (University of Minnesota Press, 2009)
Bagi sang psikiater Tamaki Saitō, karakteristik utama otaku dalam berinteraksi dengan media adalah seksualitas. Dalam tulisan ini, Saitō menjelaskan perspektif psikoanalisis mengenai hasrat seksual otaku dan fujoshi terhadap rekaan fiksi berupa bishojo dan yaoi. Bagi Kaorin yang tidak dapat membaca atau memperoleh buku Saitō yang berjudul Beautiful Fighting Girl (terjemahan oleh J. Keith Vincent & Dawn Lawson, University of Minnesota Press, 2011), tulisan ini dapat memberi gambaran ringkas mengenai garis besar argumen utama Saitō dalam bukunya.
The Common Sense that Makes the “Otaku”: Rules for Consuming Popular Culture in Contemporary Japan oleh Kam Thiam Huat (tesis S2 di National University of Singapore, 2008)
Dalam tesis ini, Kam melihat “otaku” sebagai suatu fenomena pelabelan daripada suatu kelompok yang dapat digolongkan dengan pasti. Dari riset wawancara yang dilakukannya, Kam menemukan bahwa pelabelan “otaku” dalam masyarakat dikenakan kepada orang-orang yang dalam kegiatan mengonsumsi budaya populer dianggap melanggar norma-norma yang dianggap sebagai common sense oleh masyarakat. Norma-norma yang dilanggar berkaitan dengan nilai-nilai realita (konsumsi “otaku” dianggap menjauhkan seseorang dari tanggung jawab kehidupan nyata seperti pekerjaan), komunikasi (konsumsi “otaku” dianggap menyulitkan hubungan sosial dengan orang lain), maskulinitas (konsumsi “otaku” dianggap tidak pantas untuk lelaki “sejati”), dan mayoritas (konsumsi “otaku” berbeda dari yang digemari masyarakat kebanyakan).
The Great Mirror of Fandom: Reflections of (and on) Otaku and Fujoshi in Anime and Manga oleh Clarissa Graffeo (tesis S2 di University of Central Florida, 2014)
Dalam tesisnya ini, Clarissa Graffeo menelaah bagaimana otaku dan fujoshi digambarkan dalam media anime dan manga seperti Genshiken, Welcome to the N.H.K., Lucky Star, dan Oreimo. Graffeo melihat bagaimana penggambaran positif dan negatif dari otaku dan fujoshi, serta penggambaran identitas gender dan seksualitas mereka dalam media komersial seperti anime dan manga, dipengaruhi oleh norma-norma sosial dan selera pasar (sebagaimana dapat dilihat dalam Lucky Star atau Oreimo di mana karakter otaku digambarkan sebagai tipe karakter yang disukai oleh otaku itu sendiri seperti loli atau imōto).
Otaku Spaces oleh Patrick Galbraith (Chin Music Press, 2012)
Buku yang lebih bertipe bacaan populer ini sebenarnya berisi materi mentah penelitian Galbraith, yaitu wawancaranya dengan berbagai orang yang diidentifikasi oleh lingkungannya sebagai “otaku.” Subyek yang diwawancara terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang gemar mengumpulkan mainan, mengoleksi manga, memainkan visual novel, jalan-jalan ke lokasi yang digambarkan dalam anime, cosplay, membuat ilustrasi dōjin, menghias itasha, dan lain sebagainya. Ada yang masih kuliah, menjadi model, bekerja di perusahaan kereta, hingga yang sudah berkeluarga. Biarpun masing-masing menunjukkan karakteristik-karakteristik stereotipikal mengenai “otaku” namun perbedaan minat, kegiatan, dan pandangan di antara mereka memberi tantangan pada persepsi populer mengenai “otaku” sebagai satu kelompok yang seragam.
Otaku: Japan’s Database Animals oleh Hiroki Azuma (diterjemahkan oleh, University of Minnesota Press, 2009)
Dalam buku ini Azuma menjelaskan bahwa otaku mencerminkan peralihan masyarakat secara umum dari kondisi modernitas ke kondisi pasca-modern. Peralihan minat otaku dari anime yang berfokus pada cerita kepada konsumsi karakter moe melalui narasi-narasi kecil yang diproduksi sendiri dianggap menandakan hilangnya narasi besar atau perjuangan ideologis yang menjadi ciri sejarah dari masyarakat modern.
Catatan Tambahan
1 Penggunaan “otaku” sebagai identitas spesifik bagi penggemar anime dan manga di luar Jepang itu dapat dilihat misalnya dari acara bertajuk Otakon atau dari majalah bernama OtakuUSA (Galbraith, 2012).
2 Beberapa contoh penolakan sebutan “otaku” tersebut dapat dilihat dari survei sederhana yang dilakukan oleh narablog Amerika Narutaki (Kate) dan Hisui (Alain) terhadap sejumlah narablog anime di tahun 2009: https://reversethieves.com/2009/08/03/otaku-diaries-part-2-otaku-threat-or-menace/.
KAORI Newsline | Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis