Evolusi Wacana Otaku dalam Politik Identitas

2

otaku

Aksi unjuk rasa tandingan terhadap unjuk rasa rasis dan anti imigran yang dilakukan di Akihabara hari Minggu (17/5/2015) merupakan suatu peristiwa yang menarik. Ini bukan kali pertama terjadi unjuk rasa menolak keberadaan imigran dan warga keturunan etnis bukan Jepang, khususnya terhadap zainichi atau etnis Korea yang tinggal di Jepang, pun bukan kali pertama unjuk rasa seperti itu dilawan dengan unjuk rasa tandingan. Namun satu hal yang menarik perhatian dari peristiwa kali ini adalah karena identitas “otaku” ikut dibawa dalam aksi pihak tandingan yang melawan sikap rasis tersebut.

Di antara pengunjuk rasa tandingan, terlihat ada yang membawa pernak-pernik bergambar karakter perempuan bergaya anime dengan slogan-slogan anti rasisme. Slogan “otaku tidak mengenal batas negara” bahkan diusung oleh pengunjuk rasa tandingan dalam menolak kebencian terhadap orang asing dan warga keturunan etnis bukan Jepang. Memang dalam industri anime sendiri, dikenal orang-orang etnis Korea atau keturunannya yang berkiprah di dalamnya. Seperti Romi Park yang terkenal sebagai pengisi suara Edward Elric (Fullmetal Alchemist), atau Pile yang mengisi suara Maki Nishikino (Love Live!). Tapi yang akan lebih dibahas dalam kesempatan ini adalah bagaimana identitas “otaku” digunakan dalam agenda menolak rasisme tersebut, yang menunjukkan betapa dinamisnya perkembangan wacana mengenai identitas “otaku” sejak ia mulai dikenal oleh masyarakat.

Kapan dan bagaimana istilah “otaku” pertama kali digunakan di kalangan penggemar anime diperdebatkan. Namun istilah tersebut pertama kali digunakan di media sebagai label sosial dalam artikel-artikel Akio Nakamori yang diterbitkan di majalah Manga Burikko tahun 1983. Artikel Nakamori pada dasarnya mendeskripsikan “otaku” sebagai pemuda dan pemudi pecundang yang terobsesi pada kartun, cerita fiksi ilmiah, kereta, idol, dan lain sebagainya yang gagal bersosialisasi secara normal dalam masyarakat. Pelabelan “otaku” kepada penggemar anime dan manga mencapai titik nadirnya ketika kasus penculikan dan pembunuhan empat gadis kecil yang dilakukan oleh Tsutomu Miyazaki terungkap di tahun 1989. Kasus tersebut diperbincangkan dalam media sebagai pembunuhan yang dilakukan oleh seorang “otaku”. Akibatnya masyarakat mencurigai “otaku” penggemar anime dan manga memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan seksual kepada anak-anak seperti Miyazaki.

Sejak saat itu, wacana mengenai identitas “otaku”, khususnya yang berkaitan dengan penggemar anime dan manga terus berkembang, dengan adanya berbagai penulis dan peneliti seperti Eiji Ōtsuka, Toshio Okada, atau Tamaki Saitō yang berupaya menepis asumsi-asumsi negatif masyarakat terhadap “otaku”. Berbagai definisi, pengertian dan penggambaran “otaku” pun bermunculan, baik di kalangan akademis maupun di masyarakat. Ada yang mengartikan “otaku” secara sederhana hanya sebagai penggemar anime dan manga apapun; hingga yang mengartikannya sebagai penggemar yang memiliki pengetahuan yang detail dan mendalam mengenai hal yang digemarinya. Ada yang mengartikan “otaku” menarik diri dari pergaulan sosial karena obsesi berlebihan terhadap hal yang digemarinya; dan ada juga yang mengartikan “otaku” justru giat bergaul dengan sesama penggemar untuk memperoleh pengetahuan dan reproduksi makna dari hal yang digemarinya.

Peristiwa unjuk rasa melawan rasisme di Akihabara di atas semakin menambah warna kepada pewacanaan identitas “otaku”. Ketika label “otaku” mulai memasuki perbincangan publik di tahun 80-an, siapa yang menyangka bahwa kelak akan ada orang-orang yang mengusung identitas “otaku” untuk membawa agenda sosial yang progresif seperti penolakan terhadap rasisme? Bukannya tidak acuh dengan pergaulan sosial karena tenggelam di dunia anime dan manga, para pengunjuk rasa justru membawa wacana bahwa menjadi “otaku” membuat mereka peduli kepada suatu masalah sosial. Slogan “otaku tidak mengenal batas negara” juga menunjukkan bahwa “otaku” sudah diwacanakan sebagai identitas transnasional. “Otaku” bisa berarti orang dengan kebangsaan dan kewarganegaraan dari manapun. Memang identitas “otaku” telah dikenal dan digunakan dengan berbagai ragam pengertiannya di berbagai belahan dunia, mulai dari negara-negara tetangga Jepang di Asia timur dan tenggara hingga di daratan Amerika di seberang Pasifik.

Soal perkembangan wacana mengenai “otaku” ini, perlu untuk mengingat kembali apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Lamarre dalam perbincangannya mengenai “otaku” bersama Patrick Galbraith. Ini bukan soal definisi “otaku” siapa yang benar dan definisi “otaku” siapa yang salah. Identitas dan definisi perlu dipahami sebagai proses, yang sebagaimana dikatakan oleh Hiroki Azuma, bersifat sosial dan politik. Yang patut untuk direnungkan bersama adalah bagaimana perkembangan dalam masyarakat yang membentuk identitas dan definisi yang ada, serta bagaimana konsekuensi pendefinisian identitas seperti itu mempengaruhi sikap dari dan terhadap “otaku” mengenai posisi mereka dalam masyarakat.

Memang tidak semua pengunjuk rasa yang menentang rasisme adalah “otaku”. Dan tidak semua “otaku” menentang rasisme. Namun, keberanian untuk mengusung identitas “otaku” dalam gerakan melawan rasisme membuka wacana bahwa dalam keragaman pengertian yang berkembang, “otaku” dapat memilih jalannya sendiri. Seperti memilih untuk peduli kepada isu-isu sosial dan politik yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup orang lain, sekalipun dengan atau justru karena identitas yang erat dengan dunia hiburan anime dan manga tersebut. “Otaku” telah dapat diartikan dengan bebas; maknanya sebatas atau seluas yang dikehendaki oleh tiap-tiap orang. Potensi yang ada terbuka lebar untuk dieksplorasi, dan akan terus berkembang selama interaksi sosial terus berlangsung.

Referensi:

Galbraith, Patrick (2011), “Otaku Consumers”, dalam Parissa Haghirian (editor), Japanese Consumer Dynamics, New York: Palgrave Macmillan.

Galbraith, Patrick (2014), The Moe Manifesto, Tuttle Publishing.

Galbraith, Patrick, dan Thomas Lamarre (2010), “Otakuology: a Dialogue”, dalam Mechademia Vol. 5: Fanthropologies, hlm. 360-374.

Graffeo, Clarissa (2014), The Great Mirror of Fandom: Reflections of (and on) Otaku and Fujoshi in Anime and Manga, tesis MA di Department of English, University of Central Florida.

Kam, Thiam Huat (2009), The Common Sense that makes the “Otaku”: Rules for Consuming Popular Culture in Contemporary Japan, tesis MA di Department of Japanese Studies, National University of Singapore.

KAORI Newsline | Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis | Photo Courtesy of Natsuki Kimura

2 KOMENTAR

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses