Selama beberapa tahun belakangan, dalam ranah budaya populer Jepang mulai sering terdengar adanya sesuatu yang disebut Cool Japan. Sebenarnya apakah Cool Japan itu? Saya bersama rekan-rekan saya dari perkumpulan siswa dan alumni program studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang menggemari anime dan manga, telah mengadakan suatu diskusi untuk membahas topik ini; mulai dari apa yang dimaksud dengan Cool Japan, asal-usulnya, perkembangannya, hingga agenda pemerintah Jepang di dalamnya. Peserta diskusi ini terdiri dari:
1. Halimun Muhammad (HM), pengamat kebudayaan anime sebagai moderator;
2. Bagus Yudoprakoso (BY), pengamat Cool Japan dan ekonomi kreatif sebagai pembicara utama;
3. Ganesh Aji Wicaksono (GAW), pengamat politik Asia Timur sebagai peserta diskusi;
4. Jochanan Lintang (JL), mahasiswa aktif HI UI sebagai peserta diskusi; dan
5. Tangguh Chairil (TC), dosen HI Binus sebagai peserta diskusi.
Berikut ini adalah rangkuman dari diskusi tersebut. Selamat menyimak, dan semoga informasinya bermanfaat.
HM: Selamat pagi, selamat bergabung dalam diskusi kelompok kita mengenai Cool Japan. Dalam kesempatan kali ini, kita akan mengadakan tanya jawab dan diskusi, khususnya dengan narasumber kita mengenai topik Cool Japan ini. Yang akan menjadi narasumber kita adalah Bagus Yudoprakoso yang skripsinya meneliti Cool Japan dalam politik dan ekonomi luar negeri Jepang selama periode 2002-2013. Saya sendiri akan memandu diskusi ini sebagai moderator. Supaya tertib, peserta diminta untuk memberi tanggapan atau pertanyaan, sesudah dipersilakan oleh moderator.
Sebagai pembuka, mari kita mulai dengan beberapa pertanyaan yang mendasar kepada Bagus. Pertama, Cool Japan itu apa?
BY: Baiklah, selamat pagi.
Cool Japan itu makhluk apa? Ini pertanyaan yang sulit.
Hari ini kita mengenalnya sebagai langkah Jepang untuk memasifkan promosi budaya populer secara global.
Awalnya Cool Japan dipakai di hadapan publik dalam sebuah acara NHK WORLD (siaran internasional dari lembaga penyiaran publik Jepang, Nippon Hōsō Kyōkai) dengan judul yang sama untuk memperkenalkan keunikan-keunikan Jepang pada warga asing.
Dalam penggunaannya secara luas, Cool Japan ini menjadi bagian dari kebijakan MOFA (Ministry of Foreign Affairs; Kementerian Luar Negeri Jepang) untuk promosi budaya populer Jepang.
Namun pada 2011, pemerintah Jepang bergerak lebih jauh. Cool Japan diletakkan dalam asuhan METI (Ministry of Economy, Trade and Industry; Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang), yang berarti Jepang mempunyai agenda perekonomian terkait Cool Japan secara global. Atau mudahnya, berusaha menguangkan budaya-budaya populernya secara terstruktur dan masif.
HM: Jadi tepatnya, Cool Japan itu konsep yang merujuk kepada keunikan dan budaya populer dari Jepang, yang kemudian berusaha dimanfaatkan melalui program pemerintah, begitu?
BY: Iya, kurang lebihnya demikian.
Budaya populer Jepang sudah tersebar ke berbagai negara sejak 1960-an. Lucunya, kesadaran pemerintah Jepang akan potensi budaya populernya baru muncul pada tahun 2000-an setelah seorang jurnalis asing, (Douglas) McGray, menyebut Jepang sebagai negara cultural super power. Dari artikel itu pula istilah Cool diperoleh. McGray menyebut Jepang saat itu bukan sebagai negara yang kaya secara ekonomi, tetapi secara budaya. Bukan unggul dalam Gross National Product (GNP), tapi Jepang unggul dalam Gross National Coolness (GNC).
Setelahnya pemerintah Jepang berusaha memanfatkan popularitas budaya populer secara global untuk diplomasi budaya dan diplomasi publiknya untuk membentuk image baik Jepang. Baru dalam perkembangannya, pemerintah Jepang juga memanfaatkannya untuk perekonomiannya.
HM: Oke. Jadi apa yang “cool” dari Jepang? Apa saja yang menjadi bagian dari Cool Japan?
BY: Okey, pertanyaan tentang Cool dulu. Apa sih yang “cool” dari Jepang?
Ini merupakan perdebatan yang panjang. Sebagian akan berkata ‘anime/manga’, lainnya akan berkata ‘J-music’, atau mungkin kuliner, dll. Bahkan ada pula yang berkata Jepang tidak cool! Apa yang dianggap cool secara luas tentunya akan relatif.
Jika dilihat dari artikel McGray, kata kuncinya ada pada budaya populer; anime, manga, kuliner, fashion. Kemudian jika dilihat dalam acara Cool Japan di NHK World, apa yang Cool bisa mencakup semua aspek unik dan positif dari Jepang seperti toilet super canggih, gaya diet sehat, kemasan cup puding inovatif, dan sebagainya. Mungkin dari sinilah pemerintah Jepang tetap menggunakan kata Cool.
Yap, kata Cool tersebut adalah jargon dari pemerintah Jepang. Politis. Digunakan sebagai branding karena ‘rings well’ (enak didengar).
Dan satu lagi, Cool Japan juga bisa ditelusuri ke Cool Britannia, kebijakan serupa Britania Raya terkait industri kreatif mereka. Karena Cool Britannia inilah benchmark dari Cool Japan.
Berikutnya, apa saja sih yang termasuk Cool Japan?
Anime, manga, musik, kuliner, fashion…
Adakah lagi? Banyak!
Telah saya singgung sebelumnya istilah ‘industri kreatif’. Industri ini tidak seperti industri otomotif atau elektronik yang jelas terbayang awam apa produknya. Industri kreatif bisa bermacam-macam.
Cool Japan mengadopsi 13 industri yang dikelompokkan dalam Cool Britannia sebagai industri kreatif, dan menambahkan 5 lagi. Total, ada 18 industri dalam industri kreatif Jepang.
• Advertising (periklanan)
• Arsitektur
• Kesenian
• Kerajinan
• Desain
• Fashion designing, tekstil
• Film & video
• Musik
• Pertunjukan seni
• Penerbitan
• Computer software & service
• Televisi & radio
• Tableware (peralatan makan)
• Perhiasan
• Stationary (alat tulis)
• Olahan kulit
• Mainan
• Furniture
HM: Oke. Jadi memang persepsi mengenai apa yang “cool” itu relatif. Tapi ada beragam aspek dari Jepang, baik dari budaya populer maupun inovasi desain dan produk untuk kehidupan sehari-hari yang bisa dimanfaatkan untuk menarik pihak-pihak yang beragam minatnya juga, begitu? Menarik!
Baik, saya mulai membuka juga kesempatan kepada peserta diskusi yang lain untuk memberi komentar/tanggapan atau pertanyaan.
Kembali ke soal pemerintah, bagaimana keterlibatan pemerintah Jepang dalam berusaha memanfaatkan Cool Japan itu? Dan apa tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah Jepang?
BY: Sebetulnya sudah saya singgung juga sebelumnya.
Pemerintah Jepang awalnya ingin menggunakan Cool Japan, terutama budaya populernya untuk tujuan diplomasi budaya/publik. Untuk menciptakan image Jepang yang baik di mata dunia, sebagai negara yang damai dan kaya akan budaya.
Namun kemudian, mereka juga menyadari adanya potensi meraup keuntungan ekonomi. Pada tahun 2005, Japan Export and Trade Organization (JETRO) melaporkan industri kreatif Jepang (anime, manga, penerbitan, perfilman, rekaman, dan lain-lain) menghasilkan keuntungan yang bila digabungkan mencapai setengah dari nilai keuntungan industri otomotif Jepang.
Sejak adanya laporan dari JETRO tersebut, pemerintah Jepang menjalankan dua strategi. Cool Japan sebagai alat diplomasi publik dan sebagai motor ekonomi. Ini terlihat dari ambisi Aso pada saat menjadi perdana menteri, yang berangan-angan industri anime dan manga akan menghasilkan sektor produktif baru dan membuka banyak lapangan kerja baru.
Tentunya, ini berbeda dengan sebelum munculnya artikel McGray. Dahulu industri kreatif ini sebetulnya sudah ada, namun masih dijalankan oleh swasta tanpa banyak campur tangan pemerintah.
Bila kita tengok kampanye Japan Foundation (JF) pada masa sebelum 2000-an atau awal 2000-an, juga tampak pemerintah Jepang belum banyak mengkampanyekan budaya populer. Ikebana (seni merangkai bunga), chanoyu (upacara minum teh), kursus shodo (kaligrafi), dan budaya tradisional yang masih dipromosikan. Baru pada 2004, JF mulai aktif membawa budaya populer. MOFA sendiri baru mulai pada 2005-2006 mulai aktif menjadi sponsor dalam beberapa acara budaya populer sepertiWORLD COSPLAY SUMMIT.
Sementara METI menyusul menjadi sponsor pada 2008 dan aktif jadi koordinator penyebaran budaya dan perdagangan komoditas budaya Jepang mulai 2010-2011.
Saat ini pemerintah Jepang dapat dikatakan adalah koordinator sekaligus suporter aktif kampanye penyebaran budaya populer Jepang di berbagai negara. Tujuannya, image dan ekonomi.
HM: Jadi, ada aspek diplomasi publik terkait dengan image Jepang di mata internasional dan juga aspek ekonomi. Dan untuk aspek ekonomi berarti ada faktor domestik dan internasional ya? Untuk membuka lapangan kerja di dalam negeri dan memperoleh keuntungan dari penjualan produk mereka di luar negeri?
BY: Iya betul. Untuk aspek ekonomi ada faktor domestik dan internasionalnya. Domestiknya, ini adalah salah satu way out terkait masalah pertumbuhan lapangan kerja yang nyaris tidak tumbuh. Diharapkan sektor kreatif mendorong munculnya lapangan kerja baru. Internasionalnya, produk kreatif yang beragam bisa membantu Jepang masuk ke pasar yang lebih luas ke berbagai negara dan memperoleh keuntungan darinya.
GAW: Apakah Cool Japan ini, mengingat alasan politisnya, merupakan salah satu upaya Jepang untuk memperluas fondasi dari implementasi politik mereka?
BY: Ya, itu betul. Jepang punya ambisi besar dengan memanfaatkan budaya populer tersebut. Dalam laporan diplomasi tahun 2005-nya, Jepang menyebutkan ambisinya untuk menunjukkan negaranya sebagai negara yang cinta damai dan berkeinginan untuk masuk sebagai anggota permanen dalam Dewan Keamanan PBB.
Penggunaan budaya populer adalah sebagai sarana/media untuk menyebarkan dan membentuk image baik Jepang secara global.
Mungkin logika yang digunakan adalah negara yang aktif memproduksi dan kaya budaya adalah negara damai… mungkin.
GAW: Aku mencoba nyambungin ke moefikasi militer…. Dalam konteks strategis/hankam ya, di mana pasca 1997 mereka sibuk melakukan capacity building dan fasilitasi dialog di Asia Tenggara. Faktor tambahannya (kompetisi, I guess) berupa posisi kontra terhadap klaim/pengaruh RRC (Republik Rakyat Cina) di lokasi yang sama.
HM: Kalau untuk “military moe,” setahuku awalnya itu memang kreasi yang tidak ada hubungan dengan agenda pemerintah. Jadi hal-hal seperti itu memang dibuat oleh orang yang suka dengan tema seperti itu (misalnya Humikane Shimada, desainer karakter Strike Witches), atau menjadi produk yang dipasarkan kepada orang-orang yang suka dengan tema tersebut. Baru belakangan ini saja, misalnya ada penggunaan ilustrasi “moe” untuk promosi perekrutan Pasukan Bela Diri. Atau baru-baru ini ada kolaborasi antara JMSDF (Japan Maritime Self-Defense Force; Angkatan Laut dari Pasukan Bela Diri Jepang) dengan Arpeggio of Blue Steel (Aoki Hagane no Arpeggio). Tapi apakah ada keterikatan yang lebih dalam dan strategis daripada sekedar urusan PR (public relations), aku belum tahu.
Bagaimana pendapat Bagus?
BY: Untuk moefikasi aku setuju dengan Halimun. Lebih ke kreatornya dan tidak ada agenda khusus pemerintah. Tapi juga ada kemungkinan pemerintah Jepang ikut andil dengan ‘membiarkan’ tema-tema tersebut disebarkan sebagai pesan bawah sadar atau pesan sambil bergurau. Misalnya saja moefikasi tadi bisa saja secara tidak langsung menunjukkan Jepang punya kapasitas militer yang mumpuni, tapi efek moe-nya seakan menunjukkan bahwa itu bukan ancaman. Tapi sekali lagi, secara resmi tidak ada kaitannya dengan kebijakan/agenda pemerintah.
HM: Bahwa kemudian Kantai Collection dimainkan secara luas, saya dengar dari staf KAORI bahwa sebenarnya pemain KanColle, setidaknya yang di Indonesia, kebanyakan tidak terlalu peduli dengan aspek sejarah dari game tersebut. Mungkin mereka hanya tertarik dengan cewek imutnya saja?
Bagaimana tanggapan Aji? Apakah sudah terjawab atau masih belum puas?
GAW: Berarti awalnya tetap lebih ke niche market ya. Nanti kusambung lagi.
JL: Jadi ketika tujuan utamanya adalah “pencitraan” jadi menarik ketika METI mulai mempermasalahkan hak cipta untuk beberapa anime dan manga terutama dengan memberikan lisensi yang justru menpersulit “pencitraan” dari Cool Japan itu sendiri?
Kampanye anti-pembajakan METI
BY: Nah, bagus Jochanan… pertanyaan menarik.
Di situ ada perdebatan tentu saja. Pencitraan, atau monetizing.
Menurutku pemerintah Jepang melihatnya secara global/general. Saat ini Cool Japan berada di bawah METI. Jadi boleh kita asumsikan fokus utama METI adalah memastikan budaya populer Jepang menghasilkan uang. Dan pembajakan diartikan sebagai kebocoran profit.
Tapi di satu sisi, pemerintah Jepang tetap menjalankan diplomasi publik lewat budayanya.
Lalu apa yang terjadi? Ada scroll to adjust. Selama tidak dianggap merusak tujuan pencitraan secara signifikan (misal masih banyak ‘amunisi’ budaya lain yang bisa dikonsumsi tanpa mengorbankan HAKI (hak atas kekayaan intelektual) dan lisensi), mereka akan kukuh ke perolehan secara ekonomi harus terpenuhi.
Dalam salah satu grand plan METI untuk Cool Japan pun memang menyangkut pengawasan HAKI dan lisensi itu tadi. Jadi sisi ekonominya cukup kuat di sini.
Sementara untuk pencitraan, selama enggak mengorbankan popularitas total secara signifikan, ya no problem. (Ingat, politik, pemerintah. Yang dilihat makro)
JL: Memangnya secara makro Cool Japan berpartisipasi yang cukup besar? Kayaknya sumbangan ekonomi dari bidang Cool Japan sendiri masih cukup kecil bagi Jepang… Sementara dari segi popularitas sih kayaknya kita harus berterimakasih pada pembajakan deh…
HM: Ingat, seperti yang sudah disampaikan Bagus sebelumnya, Cool Japan juga tidak terbatas hanya kepada animasi dan komik.
JL: Emang sih kak… Kalau saya emang masih ngelihat utamanya di anime, komik. Tapi bangsa musik, bahkan gunpla (model plastik Gundam) atau hasil industri juga tidak dapat dipungkiri masalah harga. Jadi fans pun masih banyak yang nyari bajakan atau barang KW… Which means akhirnya gak masuk dalam pendapatan Jepang… Tapi menjaga popularitasnya juga.
HM: Di luar musik, hal-hal yang kamu sebutkan masih merupakan produk yang terkait erat dengan budaya anime dan manga lho.
Bagaimana tanggapan Bagus?
BY: Ada dua faktor besar, Jochanan.
1. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, produk Cool Japan tersebar dalam 18 industri berbeda;
2. produk-produk Cool Japan disebarkan ke berbagai negara.
Secara total ini pengaman yang bagus untuk memastikan Jepang memperoleh keuntungan.
Kemudian terkait anime, manga, produk-produk terkait seperti toys & merchandise, Jepang kuat mengincar “otaku” atau kolektor. Alias middle-premium buyers.
Jadi di sini memang Jepang tidak serta merta menyasar semua kalangan bisa beli. Jepang sedari dulu sadar di negara-negara ASEAN ada persewaan komik/DVD, harga merchandise mereka relatif mahal, dll. Tapi menurutku Jepang berusaha menghindari perang harga dengan China.
Contohnya, kamu bisa saja beli Tamiya merek China, tapi tetap akan berbeda kepuasannya dengan beli produk asli TAMIYA. Atau produk-produk lain. Jadi di sini konsep marketing dan membaca pasar dari kelas menengah Asia yang besar porsinya sepertinya juga sudah diperhitungkan oleh Jepang.
HM: Baiklah, pertanyaan selanjutnya dari saya. Kita sudah bahas bagaimana agenda dan keterlibatan pemerintah terkait Cool Japan ini. Selanjutnya, bagaimana keterlibatan dari kalangan swasta/bisnis/industri dalam program promosi Cool Japan?
BY: Kalau kuamati dari pihak swasta/bisnis/industri, mereka cenderung riding the wave. Mereka lihat apakah keterlibatan pemerintah ini memberikan mereka insentif untuk ekspansi atau tidak. Sejauh ini kulihat tidak ada komplain atau keluhan khusus dari pihak swasta/bisnis/industri. Justru tampaknya mereka terbantu.
Meskipun sempat ada kritik bahwa agenda-agenda Cool Japan hanya menguntungkan swasta-swasta besar saja, tapi secara total swasta tidak terganggu dan justru mendapat kesempatan ke pasar global lebih luas. Dan industri kreatif juga dalam batas tertentu tidak membatasi skala usaha tertentu untuk ekspansi ke luar negeri. Artinya, usaha kecil menengah pun bisa ikut serta menjajakan produknya ke luar negeri. Jadi peran swasta/usaha/industri di sini adalah memperkaya produk-produk Cool Japan itu sendiri.
HM: Di dalam skripsi anda, anda menyebutkan Cool Japan sebagai keunggulan kompetitif Jepang. Apa yang menjadikan Cool Japan ini sebagai keunggulan kompetitif bagi Jepang dibandingkan negara lainnya? Atau bagaimana Jepang berusaha menjadikan Cool Japan sebagai keunggulan kompetitifnya terhadap negara lain?
BY: Terkait keunggulan kompetitif. Jepang di sini percaya, keunikan dari produk-produk dan kualitasnya adalah keunggulan kompetitif. Jadi tidak hanya sekedar lebih canggih saja. Misalnya Jepang saat ini memiliki jenis kain paling tipis di dunia, lebih tipis dan ringan dari sutra sampai disebut ‘selendang bidadari’. Atau anime dan manga sendiri memiliki dimensi pembeda dengan komik-komik dari negara-negara lain.
Lalu mengapa Cool Japan menjadi keunggulan kompetitif? Menurut saya sisinya lebih kepada keragaman.
Pada 2012, saat saya memulai penelitian tentang Cool Japan dan bahkan sampai belakangan ini, banyak yang mengatakan Korea Selatan lewat Korean Wave-nya lebih unggul. Argumennya adalah K-Pop dan K-drama jauh lebih populer saat ini. Jawaban saya sederhana. Tren memiliki siklus! Akan ada masanya K-Pop dan K-drama sampai di titik jenuh penonton. Sementara di luar K-pop dan K-drama, Korea Selatan mengembangkan industri kosmetik dan pariwisata. Sebetulnya di situlah Korea Selatan bermain.
Lalu apa unggulnya Jepang? Ingat, Cool Japan punya 18 industri. Artinya, ada 18 industri yang memiliki banyak produk dan dapat saling dukung. Tidak hanya 1-2 industri. Bahkan 18 industri tersebut belum memasukkan kuliner dan pariwisata. Integrasi dan variasi itulah keunggulan Jepang. Cool Japan sepintas tidak sepopuler Korean Wave, tapi saya percaya akan lebih bertahan dengan nature-nya yang mencakup berbagai aspek.
Kemudian, Cool Japan sendiri tidak melawan dan berkompetisi langsung dalam budaya populer. Dalam banyak kasus, Jepang mengambil jalan kerja sama. Seperti pertukaran aktor/aktris dengan Korsel dan China, kerjasama animasi dengan Malaysia dan India, kerjasama pengembangan produk aneka teh botol dan mi instan di Indonesia, dan lain-lain. Ini memberi ruang bagi Jepang untuk masuk ke berbagai negara dengan lebih soft.
TC: Gua tertarik apa yang bisa dipelajari sama Indonesia dari Cool Japan, mengingat kemarin baru saja dibentuk Badan Ekonomi Kreatif (walau di pemerintahan sebelumnya juga sudah ada Kemenparekraf).
BY: Sebetulnya sejak penelitianku dimulai, sudah ada indikasi Jepang-Indonesia akan bekerja sama di bidang industri kreatif. Ini pernah dikemukakan Mari Elka Pangestu (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif era SBY).
Dan salah satu indikator jelas bisa dilihat dari berita yang dimuat KAORI mengenai Badan Ekonomi Kreatif terkait industri-industri yang termasuk dalam industri kreatif Indonesia (100% Cinta Indonesia). Pola dan jenis-jenis industrinya dapat dikatakan mirip dengan yang ada dalam Cool Japan.
Lalu apa yang bisa dipelajari? Kurasa yang paling jelas adalah model pengelolaannya oleh pemerintah, terutama untuk mendorong produk-produk dari industri kreatif tersebut bisa ke depannya ikut bersaing secara global. Kalau dikelola dengan baik, sektor UKM bisa mendapat momentum yang baik untuk masuk ke pasar yang lebih luas dan mendorong adanya pengolahan bahan baku dan penjualan nilai tambah. Ini juga didukung dengan banyaknya produk budaya nasional dan mulai tumbuhnya budaya populer Indonesia seperti tren software/games, animasi, ataupun film-film lokal yang sekarang semakin baik gaungnya.
HM: Oke, untuk hubungannya dengan Indonesia sekian dulu. Lebih detailnya mungkin bisa kita bahas di kesempatan lain. Selanjutnya saya ingin bertanya lagi, mengapa sepertinya pemerintah Jepang agak lambat dalam menyadari potensi budaya populernya dan mengembangkan strategi untuk memanfaatkannya?
BY: Teori Golden Age dan satu lagi, scattered values.
Sejak tahun 1970, otomotif & elektronik adalah raja industrinya Jepang. Saat itu Jepang merasa masuk dalam “Golden Age/Golden Era.” Akibatnya, otomotif dan elektronik seakan segalanya untuk Jepang. Bahkan pasca economic bubble, selama kurang lebih satu dekade Jepang masih berkutat dengan bagaimana menghidupkan kembali kejayaan industri elektronik dan otomotifnya.
Di lain sisi, industri kreatif dulu masih tersebar dan berdiri sendiri-sendiri. Industri penerbitan Jepang ke luar negeri masih rendah nilai transaksinya, anime dan manga belum luas audiensnya, penjualan merchandise masih relatif terbatas, dan pasar kelas menengah masih belum sebesar sekarang.
Akibatnya, tidak tampak industri-industri yang saat ini ada dalam Cool Japan dulu punya potensi yang cukup besar untuk dikelola secara strategis oleh pemerintah Jepang. Ditambah diplomasi budaya juga masih mengandalkan budaya tradisional sampai dekade lalu.
HM: Sebagai pertanyaan terakhir; kalau anda perhatikan, bagaimana kondisi Cool Japan saat ini, terutama kalau dibandingkan dari tahun 2013 saat anda mengerjakan skripsi anda mengenai Cool Japan? Kemudian, bagaimana prospek perkembangan Cool Japan ke depannya?
BY: Hmm… seperti yang sudah mulai disadari para penyuka budaya Jepang, saat ini Cool Japan sedang giat-giatnya dijalankan. Project-project yang direncanakan sedang dijalankan. Dan menembus Hollywood untuk membawa cerita-cerita Jepang pun betul-betul dilakukan. Budaya populer Jepang juga mulai jadi komoditas bahkan di beberapa negara Timur Tengah, ASEAN, sampai India.
Indonesia saat ini sudah menjadi pasar utama bagi Cool Japan. JKT48, AFA, pameran-pameran merchandise, sekolah-sekolah manga, dan lain-lain.
Bagaimana ke depannya? Prospek Cool Japan masih akan terus berkembang. Jepang masih akan mengembangkan industri kreatifnya ke berbagai negara. Model-model usaha baru lintas negara seperti Rakuten.com, gerai-gerai UNIQLO, kedai-kedai makan milik Jepang yang berlabel Halal, dan konten-konten Jepang via Hollywood masih akan terus mengalir dan jadi bagian dari kehidupan masyarakat ASEAN dan beberapa negara lainnya. Selama ini dijalankan konsisten, ini akan jadi bagian dari budaya global, bukan sekedar tren. Dari sinilah Jepang akan memperoleh keuntungan dari segi image dan ekonomi secara sustain.
Beberapa film Hollywood dalam dua tahun ini yang mengadaptasi konten dari Jepang
HM: Baik, terima kasih kepada Bagus Yudoprakoso yang telah meluangkan waktunya dan berbagi ilmu dan pengetahuannya mengenai Cool Japan. Terima kasih juga kepada Ganesh Aji Wicaksono, Jochanan Lintang dan Tangguh Chairil yang telah ikut berpartisipasi dalam diskusi ini. Mohon maaf jika ada kekurangan dan masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Sekian dulu untuk sesi diskusi kali ini, sampai bertemu di kesempatan selanjutnya.
Bacaan Lebih Lanjut:
• McGray, Douglas. “Japan’s Gross National Cool.” Foreign Policy, 1 Mei 2002. http://foreignpolicy.com/2009/11/11/japans-gross-national-cool/
• METI. “Proposal of the Public-Private Expert Panel on Creative Industries.” 12 Mei 2012. http://www.meti.go.jp/english/press/2011/0512_02.html
• ——-. “The Cabinet has Approved a Cabinet Order Specifying the Effective Date of the Act on Establishment of the Japan Brand Fund.” 10 September 2013. http://www.meti.go.jp/english/press/2013/0910_01.html
• JETRO. “Cool” Japan’s Economy Warms Up. Maret 2005. https://www.jetro.go.jp/en/reports/market/pdf/2005_27_r.pdf
• MOFA. “Creative Industry: a key to solidify bases for regional cooperation in Asia.” Hong Kong, 15 November 2004. http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/speech0411.html
• ——-. “Inauguration Ceremony of Anime Ambassador.” 19 Maret 2008. http://www.mofa.go.jp/announce/announce/2008/3/0319-3.html
• ——-. “Introduction of the KAWAII Ambassadors,” 12 Maret 2009. http://www.mofa.go.jp/announce/press/2009/3/0312.html
• ——-. “World Cosplay Summit 2013 Conferment of Foreign Minister’s prize.” 27 Agustus 2013. http://www.mofa.go.jp/policy/culture/page5e_000020.html
• Grunebaum, Dan. “Is Japan losing its cool?” The Christian Science Monitor, 8 Desember 2012. http://www.csmonitor.com/World/Asia-Pacific/2012/1208/Is-Japan-losing-its-cool/(page)/2
• Snow, Nancy. “Uncool Japan: Japan’s Gross National Propaganda.” Metropolis, 7 November 2013. http://metropolis.co.jp/features/the-last-word/uncool-japan/
• Laman kebijakan Cool Japan di website METI: http://www.meti.go.jp/english/policy/mono_info_service/creative_industries/creative_industries.html
• Website program Cool Japan di NHK: http://www6.nhk.or.jp/cooljapan/en/index.html
• Website Cool Britannia: http://www.coolbritannia.com/
KAORI Newsline | Halimun Muhammad adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis.
hai.. summary dari diskusi ilmiah ini sangat menarik.
bolehkah saya memiliki kontak (surel/email/phone/socmed) dari pemateri yang telah disebutkan diatas?
jika berkenan, mohon emailkan ke: aderu.mail@gmail.com
Terima Kasih