Oneshot: Cangkir Mungil, by Shisa
Cangkir mungil menangisi ujung mereka yang retak. Mengucap sesal pada cuilan-cuilan kecil yang terjatuh kala tahun berdetak dan terlalu banyak bibir telah mengecup.
Cangkir mungil menghapus sedih kala garis-garis noda terbentuk; melingkar coklat di penghujung mulut, diukir oleh ribuan tuangan kopi yang datang dan tandas seiring waktu.
Cangkir mungil, yang dulu berdenting manis di atas meja, bertemu ribuan jemari, perlahan merapuh, secuil demi secuil, hingga kini usang dan terasing di ujung lemari bersama porselen-porselen cina yang tidak pernah bertemu siapapun juga—mereka ada untuk dipandang kemolekannya saja.
Cangkir mungil memulai pertemuan mereka dengan sunyi. Perlahan, setelah laba-laba mulai menenun jaring-jaring diantara mereka, cangkir mungil bercerita mengenai dunia di luar lemari kaca.
Tapi porselen-porselen cina tidak mendengar, tidak tertarik. Yang porselen cina mau, adalah disentuh ribuan jemari dan bertemu ribuan bibir.
Maka itu, cangkir-cangkir mungil berhenti bercerita mengenai dunia di luar lemari kaca, dan berkisah mengenai pasang-pasang jemari kecil yang dulu mengecupnya di sebuah ulang tahun berlilin 10.
“Tidakkah aku telah besar kini? Umurku 10! Berikan aku segelas kopi, ayah. Kau selalu minum mereka tiap pagi,”
Cangkir mungil tertawa geli ketika segelas kopi decaf dituang, dan jemari-jemari kecil meraihnya hati-hati, menyeruput cairan hitam di dalamnya dengan wajah merengut namun bahagia.
Jemari-jemari mungil yang sama bertumbuh seiring musim, kala salju bertemu salju dan semi menggandeng semi. Diam-diam 10 tahun bertambah menjadi 15, dan jemari-jemari yang mulai lentik datang bergerombol bersama jemari-jemari lain.
“Satu Caramel Macchiato, please. Dan Cafe Latte untuk um…”
Cangkir mungil tersenyum lembut saat manisnya caramel menyaru pada dasar dirinya, mengendap manis kala pemilik jemari menyeruputnya seraya melirik pada kekasih pertamanya.
Samar-samar, cangkir mungil mendengar bahwa pemilik jemari itu berpisah dengan sosok penyeruput Cafe Latte. Waktu kembali silih berganti, saat rasa asin berhenti menemui bibir dan jemari-jemari yang sama kembali datang bersama seorang lain.
“Dapatkah aku memesan segelas Cafe Latte?”
Cangkir mungil mengerutkan kening, tidak menyutujui bahwa jemari-jemari itu nampak belum beranjak dari kekasih pertamanya. Hanya, ia tidak menyadar akan cincin yang tersemat pada dua jari manis yang saling bertaut, saat pemilik jemari itu menyeruput kopi bercita rasa susunya.
Sepuluh tahun telah berlalu rupanya.
Awan menggantung gelap suatu waktu, saat pintu cafe menderit berat, dan sosok berkabung menggeret masuk. Hari itu, jemari-jemari tersebut basah dengan air, menetes di lantai kayu.
Cangkir mungil diisi dengan espresso serta gelapnya suasana berkabung. Pemilik jemari menangisi ayahnya yang telah tiada dan ibunya yang mengalami kemunduran akibat duka. Pada kubangan gelap pahit, cangkir mungil dialiri asin yang mencekik.
Ia turut berduka. Padahal sosok itu baru mencapai umur 33.
Cangkir mungil mendengar langkah berat terseret, ketika jemari-jemari itu beranjak pergi seiring dengan wajah khawatir istrinya.
“Satu kopi decaf untuk anak ini dan satu mocha untukku, terima kasih,”
Cangkir mungil mencecap manis pahitnya coklat, saat seorang meninggal dahulu dan kini satu terlahir baru. Pemilik jemari itu mulai mengeriput, dan 7 tahun telah berlalu semenjak hari duka.
Salju telah meleleh, dan pepohonan mulai bergemerisik lagi. Syal-syal tebal mulai dilepas dan aroma hangat kopi kembali menguar. Cangkir mungil telah lama tidak bertemu jemari-jemari itu, dan nampaknya pula hari itu adalah yang terakhir, sebagaimana ia telah usang, dan mulutnya telah cuil.
Cangkir mungil diasingkan menuju sebuah lemari, dan begitulah bagaimana ia bersua dengan porselen-porselen cina; berbagi cerita.
Waktu berselang, dan cangkir mungil telah habis cerita. Cangkir mungil dan porselen-porselen cina menghabiskan waktu dalam hening teduh gerakan kaki laba-laba penenun. Menatap jendela-jendela yang mulai retak dan pecah, kemudian menggigil ketika udara dingin merambah melewati pintu lemari yang sempla.
Laba-laba penenun kemudian ditemui telah lama tiada, dan cangkir mungil berteduh sepi dalam pecahan-pecahan dirinya yang makin lama makin banyak. Sekali ia terbatuk akibat debu, sebagaimana aroma kopi telah berhenti menguar dari tempat itu.
Dan tempat itupun gelap, meja dan kursi berserak. Cangkir mungil telah menjadi kepingan bersama porselen-porselen cina. Entah berapa tahun telah berselang, namun samar-samar diantara tebalnya debu pada lemari kaca, cangkir mungil melihat sosok-sosok jemari itu kini terduduk di kursi roda, menggenggam segelas kopi tubruk dalam gelas kertas, didorong melewati cafe kuno tempatnya berada oleh anaknya yang kini dewasa.
Cangkir mungil kemudian berhenti menangisi cuilan-cuilan dirinya yang tersebar, mengakhiri segala penyesalan. Porselen-porselen cina masih ingin disentuh jemari, dikecup bibir, dan mendengar cerita. Tapi cangkir mungil sudah lelah, dan hanya tersenyum kala retakannya dituangi memori, saat jemari-jemari keriput menyentuh dirinya untuk yang terakhir kali.
Sebelum ia melebur diantara gerusan gigi mesin, bersama cangkir-cangkir mungil lain, porselen cina, dan berbagai cerita; untuk menampung ribuan tuangan kopi yang datang dan tandas seiring waktu.
***
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : Cangkir Mungil