Tragedi percobaan pembunuh pada 23 Mei 2019 di Shibuya, Tokyo, Jepang, benar-benar menjadi sebuah perbincangan hangat di jagat dunia maya. Pasalnya, paras cantik pelaku penusukan membuat para warganet kaget akan kenyataan bahwa sosok seperti Yuka Takaoka (21) bisa melakukan hal seperti itu. Terlebih motif di balik percobaan pembunuhan itu didasari oleh rasa cinta pada korbannya.
“Karena aku sangat mencintainya, aku tidak lagi bisa menahan diri,” ujar Yuka Takaoka.
Atas dasar hal itu, banyak warganet yang mulai memanggilnya Yandere (gabungan kata “Yamu” dan “Yanderu” yang artinya sakit (jiwa)). Paras cantik Yuka dan tindakan yang dilakukan atas dasar cintanya itu, bahkan banyak membuat para kaum adam jatuh cinta – sampai pada tahap mengkhawatirkan – sampai ingin juga dibunuh olehnya.
Berawal dari sana, banyak warganet yang mulai terganggu dan merasa jijik dengan perilaku itu dan mengakibatkan perdebatan. Banyak yang berpendapat bahwa orang-orang hanya peduli dengan parasnya saja dan cenderung untuk memaklumi perbuatan pelaku. Ditambah lagi dengan argumen bagaimana jika pelakunya memiliki paras tidak menarik atau pelakunya seorang laki-laki, pasti akan sangat berbeda pemberian perilakunya. Pendapat tersebut bisa benar dan bisa juga tidak.
Attractiveness Bias

Menurut artikel ilmiah bertajuk, “Blinded by Beauty: Attractiveness Bias and Accurate Perceptions of Academic Performance”, dari peneliti di Universitas St. Andrews, ditemukan adanya korelasi yang kuat antara ‘persepsi kompetensi akademi yang dilayangkan pada seseorang’ dengan ‘kompetensi akademi sebenarnya’ jika orang tersebut dirasa atau cenderung atraktif. Di mana hal ini membenarkan adanya korelasi antara faktor atraktif seseorang dengan persepsi yang akan didapatnya.
Ditambah lagi artikel ilmiah bertajuk “Physical Attractiveness and Judgments of Psychopathology” dari Universitas Tulsa, di mana para penelitinya berhipotesa jika seseorang akan lebih mudah mengatributkan/mengasumsikan pengidap gangguan psikologis pada orang yang tidak atraktif dibanding dengan mereka yang aktaktif dan hal itu dibuktikan oleh dua eksperimen mereka. Tetapi, eksperimen tersebut juga membuktikan bahwa orang yang pernah mengalami gangguan psikologis dan orang yang diberitahu tentang ‘tidak adanya hubungan antara faktor atraktif dengan gangguan jiwa’ tidak berhasil memediasi efek tersebut.
Dua artikel ilmiah di atas paling tidak bisa menjadi bukti bagaimana timbulnya bias pada seseorang ketika menghadapi faktor atraktif seseorang.
The Online Disinhibition Effect
Fenomena “Surat Cinta untuk Yuka” ini mungkin juga dapat diakibatkan oleh Disinhibition Effect yang terjadi di dunia maya, di mana Disinhibition adalah kurangnya pengendalian diri akibat pengabaian norma sosial, impulsif dan pertimbangan resiko yang buruk.

“The Online Disinhibition Effect” oleh John Suler cukup ringkas merangkum faktor apa saja yang menghasilkan efek ini dalam dunia maya. Tiga di antaranya yang cukup familiar dengan warganet; faktor dissociative anonymity, invisibility, dan asynchronicity. Di mana faktor anonymity dan invisibility mengakibatkan ketidakterikatan seseorang pada persona internetnya dan bisa dengan mudah membuang persona internetnya kapan saja, hal itu kemudian mengacu pada faktor ke tiga yaitu asynchronicity.
Disinhibition Effect dapat menjadi faktor kenapa seseorang bisa sangat berani untuk berujar hal sensitif maupun hal-hal yang tidak dipikirkan panjang resikonya dengan mudah di internet. Ada juga faktor kolektif di mana orang cenderung melakukan suatu hal karena orang tersebut merasa dia hanya bagian kecil dalam suara yang besar.
Surat Cinta untuk Pembunuh
Fenomena surat cinta atau rasa cinta yang ditujukan kepada para psikopat maupun kriminal bukanlah hal baru, sebagaimana dilansir dari artikel SFGATE pada tahun 2005. Di antara kasus – kasus “surat cinta untuk pembunuh” ini adalah sebagai berikut:
- Scott Peterson sudah didakwa hukuman mati karena membunuh istrinya yang sedang mengandung. Pada hari pertamanya di San Quentin State Prison setidaknya ada tiga panggilan telepon masuk yang ditujukan untuknya, di mana salah satunya adalah wanita berumur 18 tahun yang ingin menikahinya saat itu.
- Richard Allen Davis yang telah membunuh dan menculik Polly Klaas (12) pada tahun 1993, “mungkin mendapat lebih banyak surat dari yang lain,” ujar Eric Messick, juru bicara San Quentin.

- Richard Ramirez, yang membunuh 13 orang tetapi kemudian menikahi Doreen Lioy di dalam penjara, di mana Lioy sudah menulis 75 surat pada Ramirez pada waktu itu.
Eric Messick berujar bahwa “99 persen” dari orang-orang yang memiliki ketertarikan pada para terdakwa hukuman mati adalah wanita. Di mana hal ini menyangkal bawha jika pelakunya laki-laki akan terjadi respon yang lebih berbeda. Kita bisa melihat kasus Burning Sun, di mana tersangka Seungri yang merupakan personil grup boyband Big Bang juga tetap mendapat dukungan dari penggemar.
Sudut Pandang
Kathrine Ramland, seorang profesor psikolog forensik di Univesitas DeSales, pada artikel “Women Who Love Serial Killers” memberi keterangan pada fenomena ini. Di mana beberapa di antara para wanita yang menikahi para pembunuh berantai, mereka percaya bahwa mereka bisa mengubah seorang laki-laki yang sekejam dan sekuat para pembunuh berdarah dingin tersebut.
Mungkin hal ini dapat menjadi alasan kenapa orang-orang sangat ingin menjadi pacar Yuka Takaoka. Karena mereka mungkin berpikir bahwa mereka bisa mengubah Yuka dan efek dari persepsi yang bias didasari parasnya yang cantik. Tetapi hal ini pun masih bisa disangkal karena perbedaan psikologis antargender yang mungkin terjadi.
Mungkin juga fenomena ini pada akhirnya hanyalah kesukaan atau fetish belaka yang digaungkan para warganet, dikarenakan pakem yandere yang kental pada kasus Yuka Takaoka ini; motif cinta posesif sampai ingin membunuh, tulisan darah pada buku, sampai seberapa santai Yuka Takaoka saat duduk sambil merokok disamping korbannya.
Fetish atau Sexual Fetishism secara umum dapat diartikan sebagai sebuah ketertarikan pada objek benda, bagian tubuh tertentu maupun pada sebuah aktifitas. Sexual Fetishism dalam dunia medis disebut dengan nama Paraphilia dan memiliki nama spesifik bagi mereka yang menyukai seorang kriminal maupun pembunuh yang disebut Hybristophilia.
Kathrine Ramland, pada tulisan yang sama memberi keterangan bagaimana para ahli penyakit jiwa berpendapat bahwa fenomena ini hanyalah bentuk ekstrim sebuah fanatisme dan orang-orang yang berperilaku demikian adalah orang-orang insecure karena tidak mampu mendapatkan cinta dengan cara yang umum atau normal.

Dalam “in such a forced wholesome perspective,” orang-orang hanya ingin mengekspresikan bahwa mereka hanya ingin dicintai oleh seseorang dengan tulus, tetapi sayangnya hanya pada tingkat posesif. Mungkin karena alasan itulah mengapa karakter seperti Zero Two dari anime Darling in the FRANXX sangat diminati. Atau Yuno Gasai dari anime Mirai Nikki yang kental akan pakem karakter Yandere yang juga oleh para netizen diaplikasikan pada Yuka Takaoka.
Tentu hak setiap orang untuk memiliki selera fetish tersendiri, tetapi hanya jika itu tetap ada di ranah privat. Namun tidaklah baik untuk mengaplikasikan fetish pada seseorang yang tidak benar-benar saling mengenal dan tanpa persetujan dari orang tersebut. Apa lagi dilakukan saat ada insiden yang membuat seseorang harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis.
Saat artikel ini ditulis kasusnya masih diselidiki oleh Kepolisian Tokyo dan dikabarkan korban selamat namun berada dalam kondisi kritis. Semoga Kepolisian Tokyo juga dapat memberi ganjaran yang seadil-adilnya pada tersangka. Fenomena Surat Cinta yang terjadi sedikit banyaknya bisa dijelaskan sebagai sebuah fenomena sosial perilaku manusia yang didasari ketertarikan mereka pada fetish tertentu di ruang Disinhibition seperti internet – meskipun fenomena ini juga sudah ditemui sebelum era internet saat ini – bersamaan dengan persepsi manusia yang dapat dipengaruhi faktor atraktif seseorang.
Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.