Industri animasi Jepang sangat aktif. Dalam setahun bisa ada lebih dari 300 judul anime yang diproduksi dengan genre yang beragam bagi berbagai kalangan usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Animasi Jepang juga diminati oleh penggemar dari berbagai negara, dari negara-negara lain di Asia, Timur Tengah, Eropa, hingga Amerika. Sebagai medium kesenian yang luas dan mampu terhubung dengan begitu banyak penggemar melintasi perbedaan-perbedaan budaya, mengkaji anime secara kritis memiliki nilai yang signifikan untuk menghasilkan interpretasi yang dapat memandu pemirsa dalam memaknai narasi yang mereka saksikan dari medium ini.
Salah satu buku yang telah turut memberi kontribusi kepada kajian anime di luar Jepang adalah buku Anime from Akira to Princess Mononoke: Experiencing Contemporary Japanese Animation. Buku yang ditulis oleh Susan Napier, profesor program studi Jepang di Universitas Tufts ini terbit di tahun 2001. Meskipun buku ini sudah cukup berumur dan tidak up to date dengan perkembangan-perkembangan terkini dari tren industri anime dan fandom yang bisa dilengkapi dengan kajian-kajian lebih lanjut yang telah tersedia di kemudian hari; buku ini tetap menghadirkan kerangka analisis yang masih cukup berguna sebagai pijakan awal untuk menganalisis anime terkini, maupun untuk merefleksikan perkembangan kajian anime selama dua dasawarsa terakhir.
Berangkat dari fleksibilitas medium animasi yang mengandalkan gambar yang berubah-ubah rupa melalui gerakan, anime dapat memainkan beragam mode ekspresi. Bahasan Napier kemudian berkisar kepada tiga mode yang dilihatnya tampil secara signifikan dalam anime, yaitu mode apokalips, mode festival, dan mode elegi. Napier membahas bagaimana mode-mode tersebut tampil dalam berbagai judul anime dari beragam genre yang berbeda-beda. Dan sebagaimana nampak dalam pembahasan-pembahasannya, ketiga mode ini tidak selalu tampil sendiri-sendiri secara terpisah, tetapi bisa juga saling berkelindan dalam satu anime yang sama, menjadikannya suatu ekspresi yang lebih kompleks.
Bicara soal apokalips, banyak orang yang mengasosiasikan istilah ini dengan bencana dan kehancuran fisik. Namun, sebagaimana dibahas oleh Napier, kata yang berasal dari bahasa Yunani ini aslinya berarti “penyingkapan tabir,” atau dengan kata lain merujuk kepada terungkapnya kebenaran akan hakikat segala sesuatu. Karena itu, dalam membahas mode apokalips, yang perlu lebih diperhatikan adalah bagaimana penggambaran keruntuhan atau memudarnya lingkungan fisik dan non-fisik dalam anime membawakan kesadaran pada karakter ataupun penonton akan kenyataan mengenai kefanaan dunia, atau mengenai krisis yang dialami masyarakat dan peradaban.

Mengenai mode festival, Napier mengembangkannya dari konsep “karnaval” dari pemikir sastra Rusia Mikhail Bakhtin, dan matsuri dalam kebudayaan Jepang. Festival dideskripsikan sebagai situasi yang cair, ketika aturan-aturan yang lazim berlaku dapat diabaikan dulu, meruntuhkan hirarki dalam suasana perayaan dan permainan yang bebas. Anime, menurut Napier, terutama memainkan mode festival ini melalui motif transformasi, baik transformasi penampilan dan fisik karakter (seperti dalam genre mahou shoujo), maupun transformasi lingkungan, yang memungkinkan anime bermain-main dengan peran-peran di luar ekspektasi sosial yang baku.
Sementara mode elegi adalah mode yang berkaitan dengan kehilangan. Jika kedua mode lainnya lebih mengandalkan apa yang dapat ditampilkan oleh seni gambar, mode ketiga ini justru berpijak pada apa yang tidak ada, tidak hadir. Anime dapat memikirkan mengenai kehilangan dengan menggambarkan bagaimana memori karakter-karakter mengingat apa yang tidak tersedia bagi mereka.
Dalam buku Anime from Akira to Princess Mononoke, Napier turut mengeksplorasi bagaimana melalui ketiga mode ini, anime berfungsi memediasikan identitas, memproses pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas individu, identitas gender dan seksual, identitas sosial, identitas nasional, identitas kultural, hingga identitas biologis manusia. Dengan mengulik narasi visual yang digunakan, seperti pada skenario cyborg, perubahan wujud, dan lain-lainnya, menganalisis anime dapat menyibak proses bagaimana identitas-identitas tersebut dibentuk, dipertahankan, maupun mengungkap ketidaknyamanan akan identitas dan membayangkan dibongkarnya identitas yang dominan.
Peneliti media Thomas Lamarre (2004) pernah mengutarakan kritik bahwa kajian anime di Amerika Utara cenderung terpaku pada film-film bioskop, terutama dari kreator-kreator yang telah memiliki prestise internasional seperti Hayao Miyazaki, Katsuhiro Otomo, Mamoru Oshii, atau Satoshi Kon. Sementara anime televisi yang jumlahnya sangat banyak cenderung dikesampingkan atau diabaikan karena tidak memiliki prestise serupa, padahal anime-anime tersebut juga memiliki nilai kultural yang signifikan untuk dipahami justru karena sifatnya yang pasaran (keresahan serupa juga disampaikan oleh Andrew Osmond dalam ulasannya mengenai buku Interpreting Anime dari Christopher Bolton).
Melihat judul-judul anime yang disebut dalam judul buku Napier ini, mungkin akan timbul kesan bahwa Anime from Akira to Princess Mononoke juga terjebak dalam pola pikir tersebut (Akira adalah karya Katsuhiro Otomo sementara Princess Mononoke adalah karya Hayao Miyazaki). Dan memang cukup banyak karya-karya yang dibahas merupakan film anime. Tetapi itu bukan berarti anime televisi sama sekali diabaikan dalam buku ini. Napier bahkan turut membahas anime televisi yang bertemakan komedi romantis, bukan fiksi ilmiah yang berat, seperti Ranma ½, Urusei Yatsura, dan Aa Megami-sama!, dan menyoroti nilai dan norma yang dapat dibaca secara tersirat dari judul-judul tersebut. Bahkan Napier sendiri berkomentar bahwa dalam bentuk yang paling pasaran pun, anime tetap menyajikan variasi yang memberikan potret kompleks akan masyarakat dan budaya (hlm. 33).
Napier bahkan tidak sungkan membahas anime bermuatan pornografi, walaupun judul-judul yang dipilihnya masih yang memiliki unsur-unsur fantastis seperti Urotsukidouji, La Blue Girl, atau Wicked City. Analisis yang dihadirkan oleh Napier juga mungkin masih perlu dibandingkan dengan kajian-kajian lain yang lebih mendetil mengenai fantasi seksual dan respon pemirsa terhadap konten seksual dalam media. Meski demikian, analisis di buku ini telah berperan dengan baik sebagai awalan dalam mengarahkan bagaimana kita dapat memikirkan secara serius mengenai ekspresi seksualitas dalam media dua dimensi, dan tidak sekadar dengan mudahnya mengesampingkan anime pornografi sebagai konten eksploitatif.

Konsep-konsep yang cukup sederhana dan disampaikan dengan mudah dipahami menjadikan buku Anime from Akira to Princess Mononoke sebagai bacaan yang direkomendasikan bagi pembaca yang mencari dan memerlukan kerangka pemikiran untuk membahas anime secara kritis, sebelum beranjak lebih lanjut ke kajian-kajian lain terhadap anime yang terus berkembang dan tersedia sesudahnya. Sayangnya, buku ini belum tersedia dalam bahasa Indonesia, sehingga masih harus dibaca dalam bahasa Inggris.
Referensi:
- Laporan Industri Animasi (2018) dari Associations of Japanese Animations.
- Lamarre, Thomas (2004), “An Introduction to Otaku Movement,” dalam EnterText 4.1, hlm. 151-187.
- Osmond, Andrew (2019), “Books: Interpreting Anime,” ulasan buku di All the Anime.
KAORI Newsline | Oleh Halimun Muhammad