Sesuai dengan prinsip teori ekologi media (McLuhan, 1964 dalam West & Turner, 2010), kemajuan teknologi akan selalu terhubung dan memengaruhi masyarakat dan begitu juga sebaliknya. Bila melihat dewasa ini, banyak hal yang sebelumnya harus dilakukan secara fisik dapat digantikan via daring dan terdigitalisasi—termasuk mengonsumsi komik. Kini platform jual-beli buku komik digital atau platform baca komik digital telah menjadi barang lumrah—termasuk scanlation ilegal.
Mengonsumsi komik digital menjadi sebuah tren baru karena lebih murah, tahan lama, dapat bersifat interaktif, dinamis, dan tentunya mudah diakses (McCloud, 2008 dalam Nurihayati et al., 2014). Industri perkomikan dalam negeri sangatlah terbantu keberadaan internet dan digitalisasi ini. Kita bisa ambil contoh platform baca komik digital, seperti LINE Webtoon atau Ciayo yang memberi kesempatan bagi kreator lokal. Selain platform tersebut, media sosial juga menjadi arus utama sirkulasi komik Indonesia. Hal ini wajar mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia. Contoh saja bagaimana tenarnya komik-komik strip media sosial macam Ghosty’s Comic, Tahilalats, atau Si Juki.
Baca Juga: Harapan untuk Komik Indonesia: Butuh Lebih dari Sekadar Si Juki, Gundala, dan Tahilalats
Yang menjadi menarik adalah bagaimana lakunya versi cetak fisik dari komik strip media sosial. Praktek tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru karena praktek serupa pernah diterapkan pada komik strip surat kabar. Versi fisik pun hanya menambah jumlah bab secara tidak signifikan dan penyesuaian bahasa agar sesuai standar penerbitan. Mengonsumsinya lewat media sosial harusnya sudah cukup karena hanya memerlukan paket data sehari-hari untuk mengakses dan terkesan lebih orisinil. Lalu bagaimana bisa konsumen tetap membeli versi cetak fisik, meski sudah membaca versi digitalnya sebelumnya dan bahkan tahu tak banyak perbedaan signifikan antara keduanya? Atau secara umumnya, mengapa orang tetap membeli komik fisik cetak di era digitalisasi seperti ini? Kata kuncinya adalah hedonic thermometer, konsep yang diperkenalkan Schwartz (2004).
Kepuasan Membeli Komik Cetak dan Hedonic Thermometer
Kotler (dalam Bilondatu, 2013) menyatakan bahwa konsumen akan mengutamakan faktor psikologis—yang meliputi motivasi—sebagai alasan mengambil keputusan dalam pembelian. Motivasi sendiri adalah alasan dari sebuah perilaku dan merupakan dorongan yang mengaktivasi perilaku dan memberikan alasan serta arah kepada perilaku tersebut (Hawkins & Mothersbaugh, 2010). Tujuannya jelas yaitu memuaskan kebutuhan konsumen sendiri. Sementara, Solomon (2017) membagi dua kebutuhan: utilitarian, manfaat fungsional atau praktis, dan juga hedonic, kebutuhan yang sifatnya experiential, yang meliputi respons emosional dan fantasi. Kepuasan hedonic sendiri “diukur” dengan termometer khayal, hedonic thermometer. Termometer ini tidak memiliki ukuran pasti karena kepuasan memang bukanlah sesuatu yang kuantitatif, namun bisa kita rasakan “positif-negatifnya” sesuai dengan ekspektasi yang dipatok sebelum pengalaman mengonsumsi. Sesuai dengan teori ekspektansi, tentunya kita mengonsumsi dikarenakan ekspektasi bahwa produk tersebut dapat memberikan konsekuensi positif yang diinginkan (Solomon, 2017).
Meski mengonsumsi komik digital dan fisik sama-sama bertujuan memenuhi kebutuhan hedonik, pembelian komik fisik memiliki kepuasannya tersendiri dan dianggap melebihi komik digital. Sekalipun komik digital murah dan mudah diakses, komik fisik dapat memberi romantisme kepuasan keinderaan yang melebihi komik digital—dan hal itu yang secara laten dijual. Tak hanya indra penglihatan, indra peraba dan pencium ikut bekerja saat mengonsumsi komik fisik. Pembelian komik fisik yang sebelumnya telah dikonsumsi secara digital pun dapat memengaruhi ekspektasi dan termometer hedonik kita. Bila telah mengonsumsi konten yang sama sebelumnya di media sosial, menjadi lumrah bila kita tak memasang ekspektasi yang berlebih. Bisa dibilang, kita “main aman” dengan hedonic thermometer kita saat memutuskan untuk membeli. Paling-paling, hanya mengharap adanya satu-dua judul tambahan di buku aslinya dan mendapatkan kepuasaan dari mencari perbedaan bahasa versi fisik dan digital. Kepuasan lain pun mungkin datang karena berhasil menambahkan item dalam koleksi yang memang selalu meningkatkan hedonic thermometer. Kemudian, ada satu hal yang membuat taraf kepuasan dari hedonic thermometer kita naik tinggi yakni karena telah “berkontribusi menyejahterakan pengarangnya”. Masih banyak hal lagi yang perlu dibahas soal hedonic thermometer, terlebih dengan kasus komik lokal cetak fisik.
Bagaimana dengan Komik Lokal Khususnya?
Saya dan teman saya sebenarnya pernah melakukan penelitian tentang ini. Meski tidak dipublikasikan karena sebatas tugas kuliah, setidaknya kami mendapat gambaran dari persepsi “kita” terhadap komik lokal dari responden yang kami temui.
Kita cenderung membeli komik lokal cetak fisik yang telah familar dengan kontennya—biasanya karena telah kita baca di media sosial. Hal ini merupakan cara “main aman” dengan hedonic thermometer kita, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya. Alasan yang memengaruhi kepuasan kita pun sebatas romantisme, koleksi, nostalgia, dan mengapresiasi pengarang. Pembelian komik lokal juga masih cenderung purposive; maksudnya datang ke toko buku memang diniatkan dari awal untuk mengincar komik itu, bukan karena kekhilafan. Sebenarnya, hal ini juga sangat mungkin terjadi saat memutuskan pembelian komik impor. Hanya saja, komik impor masih dianggap membawa hasutan untuk berkhilaf.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa membeli komik lokal (terutama yang kontennya belum familiar) masih sering kita labeli layaknya membeli kucing dalam karung. Kita tidak berani bertaruh kalau komik lokal yang kita putuskan beli akan menghadirkan suatu cerita yang menarik. Risiko perjudiannya masih tinggi. Kalau ekspektasi yang kita patok terlanjur tinggi, sangat mudah untuk terjerembap dalam lubang kekecewaan. Karena itulah, kita membawa tendensi untuk lebih baik menaraf rendah ekspektasi sebelum pembelian komik lokal—bahkan secara umum.
Kecenderungan ini dipengaruhi banyak faktor. Pertama, ada pengalaman pribadi yang kurang baik dengan kasus “beli kucing dalam karung” di masa lalu. Kedua, adanya imej dan stereotipe yang melekat pada komik lokal bahwa cenderung kurang baik dan sekonsisten komik impor dalam segi visual atau cerita. Bahkan, kita masih belum bicara soal pandangan kalau komik lokal kurang “khas Indonesia,” lho, ya! Ketiga, kurang berwarna dan nendang-nya genre dan plot yang ditawarkan—biasanya komedi yang terlalu receh atau romansa yang terlalu ala-ala shoujo. Keempat, sampul dan sinopsis yang tidak membawa hasutan untuk khilaf. Kelima, pengaruh pengarang. Keenam, pengaruh brand. Kami sempat menemukan responden yang tidak tertarik untuk mengonsumsi produk dari brand tertentu karena “drama” perusahaannya. Brand (bahkan platform digital) masih belum berani lari dari pasar. Sehingga serial yang sejatinya dianggap memiliki kualitas lebih sering tersingkir oleh komik yang kurang menarik namun genre dan ceritanya membawa kuantitas pembaca yang leih banyak.
Tentang Kepuasan Pembelian Komik Lokal Cetak Fisik
Kita masih cenderung melakukan pertimbangan dan riset yang lebih belibet sebelum membeli komik lokal. Sulit untuk lepas dari sikap skeptis dan stereotipe. Terlebih lagi, teaser dan juga review untuk komik lokal (terutama yang kurang mainstream) cenderung sedikit—atau malah tidak ada. Rasa gojag-gajeg karena mahar yang harus dibayarkan lebih mahal dibanding komik impor juga memengaruhi. Objektif saja kita pastinya tak mau hedonic thermometer kita negatif karena kecewa telah melakukan pembelian, bahkan untuk komik impor sekalipun. Karena itulah, pembelian komik fisik yang sudah dikonsumsi secara digital sebelumnya merupakan “langkah aman” dalam memuaskan kebutuhan hedonik kita.
Sebenarnya, menurunkan eskpektasi sebelum pembelian komik lokal cetak fisik punya sisi buruk dan baiknya. Buruknya, kita terlihat terlalu skeptis dan stereotipikal pada komik lokal. Sisi baiknya karena kita telah menurunkan taraf ekspektasi sejak awal, kita bisa mendapatkan kepuasan yang melebihi ekspektasi yang dipatok sebelumnya. Bahkan dengan cerita dan visual yang “biasa saja”, kepuasannya malah dapat menjadi pelengkap empat kepuasan utama pembelian komik fisik: romantisme, koleksi, nostalgia, dan apresiasi.
Status quo yang dialami konsumen saat ini bukan kemudian dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk tidak meningkatkan kualitas komik lokal saat ini. Perlu adanya peningkatan kualitas setidaknya agar stereotipe dan keskeptisan audiens atau calon konsumen terhadap komik lokal hilang. Setidaknya, dapat memiliki efek penghasut khilaf yang sama dengan komik impor. Mungkin, sedikit memperluas trope dan genre dapat membantu mendapatkan niche pasar yang baru. Hal ini juga demi konsumen sendiri—demi “angka” positif dalam hedonic thermometer mereka—dan juga meraup kapital yang lebih banyak.
Referensi
- Bilondatu, M. R. 2013. Motivasi, Persepsi, dan Kepercayaan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pada Sepeda Motor Yamaha di Minahasa. Jurnal EMBA Vol. 1 (3): 710-720
- Hawkins, D. I. & Mothersbaugh, D. L. 2010. Consumer Behavior : Building Marketing Strategy Eleventh Edition. New York : McGraw-Hill
- Nurinayati, F., Sartono, N., Evriyani, D. 2014. Pengembangan Media Pembelajaran dalam Bentuk Komik Digital pada Materi Sistem Imun di SMA Negeri 13 Jakarta. Biosfer VII (2): 47-52.
- Schwartz, B. 2004. The Paradox of Choice: Why More is Less. HarperCollins. NY. US.
- Solomon, M. 2017. Consumer Behavior: Buying, Having, and Being. Twelfth Edition. Pearson. England.
- West, R. & Turner, L. H. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Fourth Edition. McGRaw-Hill. NY. US.
Ditulis oleh Rizki Maulana A | Penulis adalah mahasiswa FISIPOL UGM dan hobi mengonsumsi anime serta manga | Artikel ini adalah pendapat pribadi dari sang penulis dan tidak berarti merefleksikan kebijakan maupun pandangan KAORI Nusantara.
KAORI Nusantara membuka kesempatan bagi pembaca untuk menulis opini tentang dunia anime dan industri kreatif Indonesia. Opini ditulis minimal 500-1000 kata dalam bahasa Indonesia/Inggris dan kirim ke [email protected]